Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahtsul masail diniyah pada mulanya adalah jantungnya Muktamar NU. Sembilan tahun pertama sejak berdiri pada 1926, para kiai NU hanya berkumpul untuk mengkaji hukum-hukum yang perlu dijalankan atas persoalan baru yang tumbuh di masyarakat. Namun, dalam perjalanannya, bahtsul masail seperti "tergeser" agenda politik yang kian sarat.
Di Boyolali, bahtsul masail selain membahas ihwal hukum suap dalam penerimaan pegawai negeri sipil, juga memutuskan beberapa hukum fikih kontemporer.
Masalah pertama adalah boleh tidaknya tes DNA (deoxyribo nucleic acid) menjadi dasar hukum penentuan nasab (garis keturunan) seseorang. Sebab, selama ini penentuan nasab menurut syariat Islam hanya dari tiga hal, yakni perkawinan yang sah, iqrar (pengakuan), dan bayyinah (kesaksian). Padahal, kejelasan nasab sangat penting untuk menentukan kepastian hukum-hukum fikih yang berkait dengan nasab. Misalnya soal perkawinan dan hak waris.
Setelah berdebat sengit, para kiai mengakui bahwa tes DNA sangat akurat. Namun mereka memutuskan bahwa tes itu hanya alat bantu penyelidikan, tapi tidak bisa menjadi dasar hukum penentuan nasab. "Kami tetap berpegang bahwa hubungan nasab hanya ditentukan melalui perkawinan sah, persaksian, dan pengakuan," kata pemimpin sidang, K.H. Dr. Aziz Mashuri Na'im, kepada Saiful Amin dari Tempo.
Para kiai pun membahas hukuman mati bagi pengedar narkotik dan obat terlarang. Mereka sepakat, hukuman mati boleh dijatuhkan dengan syarat pelaku telah mengulangi perbuatannyasebelumnya pernah dihukum. Lokalisasi prostitusi juga dikaji. Maklumlah, beberapa waktu lalu ada kiai NU yang membolehkan dengan alasan mengeliminasi maksiat. Tapi para kiai akhirnya memutuskan, apa pun alasannya, lokalisasi tetap haram.
Muncul pula desakan peserta muktamar agar Jaringan Islam Liberal (JIL) diharamkan. Mereka pun meminta para aktivis JIL dilarang menjadi pengurus NU dan badan-badan otonomnya di semua tingkat. Rupanya, sebagian muktamirin merasa gerah atas aktivitas generasi muda NU di JIL yang sering berpendapat "di luar kebiasaan NU".
Sembilan belas kiai sepuh turut mendukung dalam bentuk Ikrar Ulama Nahdlatul Ulama. K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Mas Subadar, K.H. Muhaiminan, K.H. Masruri Mughni termasuk kiai yang menandatangani ikrar. "NU harus menolak cara berpikir liberal yang menyimpang dari tradisi ahlussunah wal jamaah," begitu bunyi salah satu poin ikrar itu. Mereka memang tak mengharamkan JIL secara tegas. Tapi, kata Kiai Masruri, pernyataan mereka adalah jawaban atas pertanyaan muktamarin tentang JIL.
Masalah JIL akhirnya diserahkan ke komisi tausiyah. Komisi ini lalu merekomendasikan bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip ahlussunnah wal jamaah, NU menolak segala bentuk fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, dan aliran-aliran yang menyimpang. Tentu saja Koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, merasa kecewa karena tidak diajak diskusi dulu. "Padahal saya mondar-mandir di arena muktamar," ujar menantu K.H. Mustofa Bisri, Dewan Syuriah NU itu.
Hanibal, Sohirin, Imron
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo