Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH jurus terbaru perlawanan Indonesia terhadap vonis arbitrase Karaha Bodas. ?Kita akan mencari kemungkinan tindak pidana korupsi,? kata Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar sebulan lalu, polisi telah menyebut tiga tersangka kasus korupsi Karaha?dua di antaranya pejabat Pertamina. Tersangka lain adalah petinggi Karaha berkewarganegaraan Amerika Serikat.
Karaha Bodas memang layak ditaruh di urutan atas kasus korupsi yang perlu disidik. Jika terbukti ada patgulipat dalam pelaksanaan proyek, negara bisa terhindar dari kewajiban membayar denda US$ 299 juta (Rp 2,7 triliun). Menengok ke tahun 2000, Indonesia, melalui PLN dan Pertamina, divonis arbitrase internasional membayar ganti rugi US$ 261 juta kepada Karaha Bodas Company karena pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi pada 1988.
Keputusan ini membangkitkan rasa ketidakadilan karena keputusan penghentian datang sebagai ?obat? Dana Moneter Internasional (IMF) bagi Indonesia untuk keluar dari krisis nilai tukar. Jumlah ganti rugi yang harus dibayar kian membengkak karena lembaga arbitrase mengenakan penalti empat persen per tahun.
Meski harus menanggung denda, keputusan untuk tidak membayar tak bisa dibilang keliru. Aparat hukum yang menelisik dokumen Karaha Bodas menemukan sejumlah kartu as yang bisa dijadikan bukti baru untuk mematahkan vonis pembayaran. Jerat yang telah dipakai pemerintah adalah pajak.
Direktorat Jenderal Pajak menyatakan Karaha masih menunggak pajak sekitar US$ 126 juta, yang merupakan akumulasi tunggakan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan perusahaan dan karyawan. Karena itu, dua pekan lalu Loedito S. Poerbowasi, Komisaris Utama Karaha, dikenai paksa badan. Loedito bebas pada akhir November setelah membayar Rp 1,2 miliar. Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo, menyebut angka itu sesuai dengan saham yang dimiliki Loedito di Karaha (melalui Sumarah Daya Sakti), yaitu 10 persen.
Gugatan ganti rugi juga bisa dimentahkan dengan bukti pembayaran klaim asuransi dari Berry Palmer and Lyle kepada Karaha sebesar US$ 75 juta. Karaha diketahui mengasuransikan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan kategori political risk indemnity. Periode asuransi berlangsung 18 Juli 1997 hingga Juli 2002.
Keganjilan lain yang bisa dijadikan senjata menangkis vonis arbitrase adalah adanya pembayaran commitment fee dari mitra asing ke mitra lokal. Kesepakatan tentang uang jasa ini dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Sumarah Daya Sakti dan para mitra asingnya. Dalam persidangan arbitrase pada 1999, Christopher McCallin, saksi dari Karaha Bodas, juga mengakui adanya pengeluaran yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Setoran yang tak bisa dipertanggungjawabkan itu merebakkan bau korupsi dalam proyek ini. Kemungkinan kecurangan itu yang tengah diendus oleh pihak berwajib. Tapi, setelah hampir sebulan digodok di Markas Besar Kepolisian, baru dua pejabat Pertamina yang terjerat: seorang mantan kepala divisi panas bumi dan stafnya.
Kedua pejabat itu dianggap bersalah karena memberikan persetujuan proposal kesanggupan pengembangan Karaha pada 1997. Saat itu Karaha, yang sempat berhenti beroperasi selama tiga bulan, mengusulkan peningkatan kapasitas produksi listrik dari 55 megawatt menjadi 210 megawatt. ?Itu isapan jempol yang mereka karang,? ujar seorang sumber Tempo yang tahu banyak soal proyek Karaha.
Penyidikan kasus korupsi di Karaha menunjukkan perkembangan awal bulan lalu. Lembaga Advokasi Reformasi Indonesia (LARI), Ikatan Alumni UI, Masyarakat Profesional Madani, dan Serikat Pekerja Pertamina menyerahkan sebundel dokumen ke KPK. Isinya menyoal keterlibatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, dalam Karaha. ?Ini bukti Purnomo ikut bermain dalam Karaha Bodas,? ujar Eddy Sumarsono, Koordinator LARI.
Pada akhir 1980-an, jejak Purnomo terlihat di Sumarah, mitra lokal Karaha. Ketika itu Sumarah sedang serius melirik proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi. ?Saya ditawari oleh Atik Suwardi (pejabat Pertamina),? ujar Mariati Murman Heliarto, seorang pendiri Sumarah, menjelaskan masuknya Sumarah ke bisnis geotermal. Di masa itu, pembangkit listrik tenaga panas bumi bukanlah proyek seksi di mata investor. ?Asing tak ada yang mau, makanya ditawarkan ke perusahaan lokal,? ujar Mariati.
Sumarah didirikan Mariati bersama dua temannya di Solo, Jawa Tengah. Mariati juga mengajak saudara sepupunya, Adyanti, anak mantan wakil presiden Sudharmono serta istri Bambang Rachmadi. Peran Adyanti di Sumarah kemudian digantikan oleh Tantyo, saudara lelaki Yanti. Melalui seorang teman lamanya, Didit Hadianto, Mariati kemudian diperkenalkan ke Purnomo, yang kala itu bekerja di perusahaan konsultan REDECON.
Purnomo berkali-kali menyatakan keterlibatannya di Sumarah tak lebih sebagai konsultan. ?Saya diminta menjadi konsultan oleh Manggala Group, kelompok usaha keluarga mantan wakil presiden Sudharmono,? katanya. ?Pekerjaan saya membuat konsep kira-kira 50 halaman untuk keperluan PT Sumarah.? Pada 1992, Purnomo mengundurkan diri dari kelompok Manggala untuk mengikuti kursus reguler Lembaga Pertahanan Nasional. ?Saya ikut Lemhannas karena ingin berkarier di birokrasi,? kata Purnomo.
Mariati enggan berpolemik tentang status Purnomo. ?Mau mengaku sebagai konsultan atau apa, ya terserah. Hanya, seingat saya, Purnomo mendapat gaji setiap bulan,? katanya. Selain menjadi ?penasihat? di Sumarah, nama Purnomo juga ada di Nusantara Energi Prima, perusahaan yang masih terhitung ?saudara? Sumarah dan bergiat di usaha pencarian proyek minyak. Salinan akta notaris Ny. Sunardi Adisasmito tertanggal 18 September 1990 mencantumkan nama Purnomo sebagai pemegang saham dan direktur di Nusantara. ?Saya tak aktif dalam perusahaan itu,? kata Purnomo membantah.
Pada 1994, meledak perseteruan di antara pemegang saham Sumarah. ?Saya dikudeta,? kata Mariati. Terjadi perubahan pemegang saham yang berbuntut pada tergesernya Mariati dari kursi direktur utama (lihat timeline). Posisi Mariati digantikan oleh Loedito, yang masih terhitung kerabat Mariati karena ia menantu Sudharmono (lihat Tempo, 19 April 2004).
Kendati merasa dicurangi, Mariati toh menerima pergantian posisi itu. ?Alasan yang disampaikan ke saya waktu itu, pergantian ini bersifat sementara, sampai kontrak diteken,? katanya. Meski saat itu Purnomo sudah tidak bekerja untuk Sumarah dan telah menjabat staf ahli Menteri Pertambangan, seingat Mariati, Purnomo-lah yang menggagas pergantian itu. ?Sebaiknya yang menandatangani perjanjian itu pria,? kata Mariati, mengulang alasan Purnomo ketika itu.
?Agak sulit saya memberikan komentar kalau masih katanya,? kata Purnomo pendek ketika dikonfirmasi mengenai perannya dalam pergantian Direktur Utama Sumarah. Karena pernah lama runtang-runtung di Sumarah, LARI menyebut Purnomo tersangkut konflik kepentingan kala diangkat sebagai Ketua Tim Panas Bumi pada 1994. Di jabatan itu Purnomo bersinggungan dengan urusan penentuan harga jual listrik.
Hal itu terlihat dari nota dinas nomor 425/PMBEN/XI/1994, yang ditandatangani Purnomo sebagai penasihat menteri bidang energi. Dalam surat tertanggal 17 November 1994 dan ditujukan kepada Menteri Pertambangan dan Energi, Purnomo menulis: ?Negosiasi harga sudah selesai dengan status terakhir terlampir. Negosiasi telah terlaksana pada tanggal 17 November 1994, dipimpin kami sendiri.?
Dua pekan sebelum Tempo mendapatkan surat itu, dalam perjalanan ke Cile, Purnomo membantah dirinya tahu-menahu mengenai harga jual. ?Persoalan Karaha Bodas terjadi pada saat saya bukan apa-apa,? katanya. Akhir pekan lalu, ketika ditanya mengenai nota dinas itu, Purnomo menjawab keputusan harga ada di tangan Menteri Pertambangan dan Energi dengan masukan dari tim PLN dan Kontrak Operasi Bersama (KOB). ?Menteri tentu meminta stafnya melakukan evaluasi,? ujar Purnomo tentang perannya dalam perundingan harga.
Harga jual menjadi penting karena para pemegang saham Karaha menghitung tuntutan ganti rugi berdasarkan harga yang tercantum dalam kontrak. Dalam kontrak antara PLN dan Karaha disebutkan, harga jual yang disepakati US$ 330,10 per MWh untuk 14 tahun pertama. Delapan tahun berikutnya harga menjadi US$ 165,05 per MWh, dan selama sisa masa produksi menjadi US$ 82,53. Jika menggunakan struktur harga itu, rata-rata harga jual listrik Karaha US$ 0,82 per kilowatt hour (1 MWh = 1.000 kWh).
Harga dalam kontrak itu dipersoalkan oleh LARI karena harga penjualan listrik yang diteken itu semata merupakan usulan dari pihak Karaha. Hal itu terlihat dalam surat berkop Karaha Bodas yang ditandatangani oleh Robert E. Tucker dan Loedito S. Poerbowasi. Surat tertanggal 15 November 1994 itu ditujukan kepada Purnomo sebagai penasihat Menteri Pertambangan dan Energi.
Purnomo menampik harga jual listrik Karaha sebesar itu. ?Kami tidak memutuskan harga jual listriknya US$ 0,82 per kWh,? ujarnya. ?Itu keliru. Yang betul harganya adalah US$ 0,71 per kWh.? Purnomo menyebut harga jual itu disesuaikan dengan Keputusan Presiden No. 37/1992. Persoalannya sebaiknya memang dikembalikan ke kepolisian, yang sedang menyidik kasus ini.
Thomas Hadiwinata, M. Syakur Usman, Bambang Harymurti (Cile)
18 Juli 1988 Drg. Mariati Murman Heliarto, Ny. Sumirin, dan Ny. Indah Julianto mendirikan PT Indo Marinda Abadi (IMA). Perusahaan dengan modal dasar Rp 60 juta itu dipimpin Mariati. Pada saat hampir bersamaan, Sumarah didirikan untuk mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Karaha Bodas. Mariati mengaku tertarik masuk Karaha karena mendapat penawaran dari Atiek Suwardi, pejabat Departemen Pertambangan dan Energi divisi geotermal.
21 Juli 1989 PT IMA berganti nama menjadi PT Sumarah Daya Sakti. Modal perusahaan pada 9 Oktober 1989 ditingkatkan menjadi Rp 500 juta. Susunan pemegang saham tak berubah. Sebagai direktur utama, Mariati menunjuk Purnomo Yusgiantoro sebagai konsultan yang bertanggung jawab membuat studi kelayakan. Pada 1989 hingga 1992, Purnomo bekerja di Redecon, perusahaan konsultan yang didirikan Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
18 Desember 1989 Mariati dan Purnomo kembali bekerja sama, kali ini di PT Nusantara Energi Prima, pemilik proyek pengeboran minyak Tanjung Miring Timur di Kalimantan Timur. Di Nusantara, Mariati duduk sebagai direktur utama dan Purnomo menjabat direktur.
Awal 1990 Mariati menjajaki hubungan bisnis dengan Tantyo Sudharmono dan Loedito S. Poerbowasi dari PT Manggala Pratama. Tantyo presiden komisaris, Loedito menjabat presiden direktur.
20 Agustus 1990 Rapat Sumarah yang dihadiri para direksi dan komisaris. Loedito turut hadir dalam rapat itu. Rapat kemudian berbuntut gugatan Mariati.
Ia tidak mengakui rapat itu sebagai rapat umum pemegang saham yang mengagendakan perubahan susunan komisaris. Mariati juga menggugat isi Akta No. 33 tertanggal 9 Oktober 1990 mengenai pengangkatan Loedito sebagai komisaris utama Sumarah berdasarkan ?rapat umum pemegang saham? itu. Mariati pun keberatan atas pengalihan saham Sumarah milik Indah Yulianto kepada Manggala, Jose Rizal, dan Rumsurati?masing-masing 100 lembar. Sebanyak 50 lembar saham Sumarah milik Mariati dalam ?RUPS? itu juga ?dialihkan? ke Manggala.
1992 Purnomo mengikuti kursus Lembaga Ketahanan Nasional. Setelah itu, ia non aktif dari Sumarah dan Manggala.
28 Oktober 1992 PT Manggala Pratama mendapat ?hibah? 50 persen saham Sumarah. Berdasarkan Akta Nomor 95, disebutkan Manggala mengantongi 1.000 dari 2.000 lembar saham Sumarah. Pengalihan saham itu disebut ?hibah? karena dilakukan tanpa pembayaran dan tanpa akta hibah.
1993 Purnomo diangkat sebagai staf ahli Menteri Pertambangan dan Energi. Tahun berikutnya, Purnomo ditunjuk sebagai ketua tim panas bumi. Purnomo menjabat staf ahli Menteri Pertambangan dan Energi hingga 1998.
13 Oktober 1994 Sumarah, yang diwakili Mariati, Sumirin, dan Mohammad Bawazeer, menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Caithness Resources Inc. untuk menggarap proyek panas bumi Karaha Bodas. Caithness masuk ke konsorsium penggarap Karaha Bodas menggantikan posisi Magna Power Co. sebagai mitra asing. Setelah itu, Caithness dan Sumarah sepakat mendirikan Java Geothermal Company LLC berdasarkan Undang-Undang Delaware, negara bagian di Amerika Serikat.
9 November 1994 PT Karaha Bodas Company (KBC) terbentuk. Caithness kemudian melepas sebagian sahamnya kepada Florida Power and Light. Susunan saham KBC setelah penjualan adalah Caithness (40,5 persen), Florida (40,5 persen), Tomen Corp. (9 persen), dan Sumarah (10 persen).
23 November 1994 Terjadi perombakan susunan direksi dan komisaris Sumarah. Loedito naik sebagai direktur utama, Mariati tergeser ke kursi direktur. Jajaran komisaris diisi oleh Sri Rumsurati dan Mohammad Bawazeer, dengan Sri Murwati (Ny. Loedito) sebagai komisaris utama.
28 November 1994 Loedito dan Bawazeer ditunjuk sebagai wakil resmi Sumarah di KBC. Penunjukan itu didasarkan pada resolution in writing of the sole director of the company yang ditandatangani di depan Notaris Barry Smith di Kepulauan Cayman.
2 Desember 1994 KBC dan PLN menandatangani energy sales contract. Sebelumnya, dalam Pertemuan APEC di Bogor, November 1994, telah ditandatangani joint operation contract antara KBC dan Pertamina. Pertamina diwakili Faisal Abda?oe, sementara James D. Bishop dan Loedito S.P. membubuhkan tanda tangan sebagai investor.
20 September 1997 Pemerintah menunda pelaksanaan 75 proyek infrastruktur, termasuk Karaha Bodas. Keputusan Presiden No. 47/1997 menyatakan Karaha diperbolehkan berlanjut. Namun keputusan itu ditarik dengan Keppres No. 5 Tanggal 10 Januari 1998, yang menyatakan Karaha harus dihentikan.
10 Februari 1998 KBC menyatakan kepada Pertamina dan PLN akan menghentikan kegiatan serta menyatakan klausul force majeure.
30 April 1998 KBC mengajukan gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN melalui lembaga arbitrase internasional (Uncitral).
2000 Purnomo diangkat Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Ketika Megawati menggantikan Abdurrahman, Purnomo tetap berada di posisinya, namun departemennya berubah menjadi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. (Purnomo masih bertahan di posisinya hingga kini).
18 Desember 2000 Uncitral menyatakan Pertamina dan PLN wajib memberikan ganti rugi US$ 261 juta kepada Karaha Bodas.
THW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo