Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Mario Viegas Carrascalao tak mudah terlihat dari jalan besar. Bukan karena hari telah beranjak gelap, melainkan karena rumah itu tersembunyi di kompleks bangunan berpagar tinggi di tengah lahan seluas delapan hektare. Untuk memasuki rumah besar tak jauh dari Bandar Udara Presidente Nicolau Lobato itu, tamu harus melewati jalan tanah berdebu yang hanya ditumbuhi ilalang sejauh sekitar 200 meter.
Berdiri di sudut kompleks, rumah itu dihiasi beragam tanaman di halamannya. "Saya kan insinyur kehutanan," katanya sembari tertawa. Di samping kiri rumah itu ada rumah anak sulungnya, Pedro Miguel Stoffel Cidrack Viegas Carrascalao, 44 tahun. Sedangkan di depannya rumah anak kedua, Sonia Dora Stoffel Cidrack Viegas Carrascalao, 42 tahun. "Tiga anak saya sekarang tinggal di Dili semua," ujarnya. Dari ketiga anaknya, hanya Sonia yang masih warga negara Indonesia. Pedro dan si bungsu, Patricia Iliomar Stoffel Cidrack Viegas Carrascalao, 22 tahun, menjadi warga negara Timor Leste.
Pria 76 tahun itu sekarang menikmati masa tua dengan lebih santai. Setelah mundur dari jabatan wakil perdana menteri pada 2010, ia hanya aktif di lembaga yang mengurusi perencanaan pembangunan Liquica. "Sambil mengurus kebun," kata kakek tiga cucu ini.
Ketika saya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, ada ancaman terhadap saya dan keluarga besar. Itu hanya beberapa bulan sebelum jajak pendapat. Saat itu, isu Timor Timur sedang panas karena belum lama Presiden B.J. Habibie mengumumkan akan digelar jajak pendapat.
Bahkan, pada April 1999, ada sebuah upacara di depan kantor gubernur di Dili yang membahas rencana pembunuhan saya dan Manuel Carrascalao. Waktu itu, saya masih di Jakarta, sementara Manuel di Dili, tapi tidak di rumah. Ia ke bandar udara untuk menjemput istrinya. Di rumah Manuel hanya ada anaknya, Manelitto, bersama seratusan pengungsi pro-kemerdekaan. Akhirnya, mereka menjadi korban serangan oleh milisi dukungan militer Indonesia. Sejumlah pengungsi dan Manelitto dibunuh. Mayat mereka dimasukkan ke sumur di belakang rumah.
Saya tidak tahu kenapa sampai begitu. Mungkin ada yang menganggap saya pengkhianat. Padahal saya merasa selalu melakukan yang terbaik untuk rakyat. Saya juga selalu bekerja menurut peraturan. Ketika misalnya ada pegawai negeri yang ketahuan menyumbang ke kelompok perlawanan, saya memberi sanksi. Sebab, saya berprinsip, ini uang Indonesia, tidak bisa digunakan untuk melawan Indonesia.
Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung, pada 1998, saya mengajukan permintaan kepada Presiden Habibie untuk pergi ke Timor Timur mencari informasi yang benar. Saat itu situasi makin buruk. Saya melakukan pertemuan di gedung parlemen. Waktu itu, hadir 2.000-3.000 orang, termasuk Uskup Belo, dan orang-orang anti-Indonesia. Ada 40 orang yang berpidato, dan hanya ada satu orang yang berbicara pro-Indonesia, yaitu Gubernur Abilio Soares. Pembicara lain anti-Indonesia. Tapi saya heran informasi yang sampai ke Jakarta kebalikannya. Ada pejabat-pejabat yang membohongi Jakarta.
Ketika Dewan Nasional Perlawanan Timor (CNRT) dibentuk di Portugal pada April 1998, tanpa sepengetahuan saya, nama saya masuk sebagai wakil presiden. Presidennya Jose Alexandre Gusmao alias Xanana Gusmao. Saya malah tahu setelah diberi tahu orang-orang di Jakarta. Saya kira masuknya nama saya itu pesanan dari "dalam", dari Xanana Gusmao, yang berada di penjara di Jakarta.
Sebelumnya, saya bersama Zacky Anwar Makarim bertemu dengan dia. Selama Xanana meringkuk di penjara di Jakarta, saya hanya ketemu dia sekali itu. Lewat pertemuan itu, mungkin saya dianggap berkonspirasi mau melakukan sesuatu dengan dia. Jadi banyak orang marah. Padahal saya tidak melakukan apa-apa karena saya tidak tahu.
Kemudian saya mulai dicari-cari. Waktu itu, saya tinggal di Pondok Ranji. Tetangga saya mengatakan ada orang-orang yang menanyakan rumah saya. Tapi mereka tidak memberitahukannya. Orang yang bekerja di rumah saya juga ditanya apakah rumah yang dia jaga benar rumah Mario Carrascalao. Dia menjawab, "Memang benar, Pak. Tapi beberapa minggu lalu sudah dia jual ke bapak-bapak jenderal." Orang-orang yang bertanya itu kaget.
Tahu sedang diburu, saya langsung mencari tiket untuk keluar dari Indonesia. Selama lima hari, saya berpindah-pindah hotel. Terakhir saya tinggal di Hotel Regent (sekarang Four Seasons). Untung, banyak teman membantu saya selama dalam pelarian itu.
Saya dan keluarga kemudian terbang ke Makau. Sempat tinggal di sana beberapa waktu, kami melanjutkan perjalanan ke Portugal. Saya meninggalkan Jakarta sekitar tiga bulan. Saya tidak sempat pamit ke siapa pun, termasuk anggota dan pimpinan Dewan Pertimbangan Agung. Saya hanya sempat mengirim faksimile tentang upaya pembunuhan terhadap saya ke pimpinan Dewan Pertimbangan Agung. Tapi tidak ada jawaban. Saya malah membaca di media, Ketua Dewan Pertimbangan Agung A.A. Baramuli dan Achmad Tirtosudiro akan memecat saya.
Kemudian saya memutuskan kembali ke Jakarta untuk membereskan semua dokumen yang tertinggal. Dokumen itu saya masukkan ke empat tas. Tapi saya tidak memiliki cara untuk membawanya keluar dari Jakarta. Akhirnya, saya minta tolong organisasi nonpemerintah asal Portugal untuk membawa keluar dokumen tersebut.
Selama di Jakarta, saya menyelesaikan semua urusan utang dan tagihan, seperti tagihan telepon dan listrik. Setelah itu, saya kembali ke Portugal dan terus berada di sana, termasuk saat jajak pendapat pada 30 Agustus 1999.
Pada Oktober 1999, digelar pertemuan CNRT di Darwin, Australia. Di situ, saya baru bekerja sebagai Wakil Presiden CNRT. Di pertemuan itu, dilakukan restrukturisasi organisasi. Setelah itu, saya kembali ke Dili dan ikut menata negeri baru ini.
Ketika partai-partai politik bermunculan, pada 20 September 2000, saya mendirikan Partai Sosial Demokrat. Saya sempat menjadi anggota parlemen, juga terakhir wakil perdana menteri. Tapi kemudian saya memutuskan mundur dari kursi itu. Saya menulis surat kepada Perdana Menteri Xanana Gusmao menjelaskan kenapa saya mundur. Ada sekitar 100 butir alasan yang saya tulis di situ. Di antaranya korupsi yang berkembang tak terkendali.
Saya juga menyoroti tak adanya penyelesaian masalah tingginya kekerasan domestik. Tak ada pula solusi untuk angka pengangguran yang tinggi, dan sekarang bahkan belum mencapai angka puncaknya. Saat ini, 5.000-an mahasiswa Timor Leste sedang belajar di Indonesia. Belum lagi ribuan mahasiswa yang kuliah di dalam negeri. Akan kita berikan pekerjaan apa kepada mereka?
Jadi, dalam rapat di ruang perdana menteri, saya mengundurkan diri. Kini saya tak lagi duduk di pemerintahan. Saya "pensiun" dan hanya duduk di sebuah lembaga yang mengurus perencanaan pembangunan Liquica. Selain itu, saya hanya mengurusi kebun kopi. Uang pensiun dari pemerintah Portugal sebesar 1.300 euro saya gunakan untuk menggaji orang-orang yang bekerja di kebun. Sejak 1998, saya tak menerima uang pensiun dari pemerintah Indonesia, baik uang pensiun sebagai gubernur, duta besar, maupun anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Saya juga tak pernah lagi menginjakkan kaki ke Jakarta. Terakhir saya ke Jakarta pada 1999. Selain karena tak ada keperluan, hal itu untuk mencegah kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang tidak senang kepada saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo