Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dschungelkind, buku hard cover berhias wajah rupawan sang pengarang, Sabine Kuegler, setebal 352 halaman (terbit pada 2005), menjadi salah satu buku favorit di Jerman. Sudah diterjemahkan ke 33 bahasa dan terjual lebih dari 1,5 juta eksemplar. Sejak pertengahan bulan lalu, Dschungelkind, seperti dialami buku-buku sukses lain, muncul di layar lebar.
Buku ini berkisah tentang pengalaman masa kecil Sabine (1980-1989)—lahir di Nepal, 39 tahun lalu—bersama suku primitif Fayu, masyarakat kanibal di Jayapura. Memanjat pohon, bergelantungan pada akar pohon, berlarian di tanah becek, main cacing, dan makan daging buaya merupakan keriaan masa kanak-kanak yang dinikmatinya bersama Ohri, anak suku setempat, yang kemudian menjadi saudara angkatnya.
Hampir tak ada kebiasaan suku Fayu yang terlewatkan: menonton upacara kematian, berburu menggunakan sumpit dan panah, atau mengenali tanaman beracun. ”Adat” Eropa sudah ia tinggalkan. Tak ada lagi jadwal makan, misalnya. Makan hanya saat perutnya lapar. Ia cuma takut bertemu dengan babi hutan. ”Binatang ini berbahaya, dan cepat larinya,” kata Sabine kepada Tempo.
”Inilah salah satu buku terbaik. Ia mengangkat satu kultur yang tidak bisa kita bayangkan lagi eksistensinya sekarang,” kata Carina, seorang pembaca. Di Buch des Hauses, toko buku terbesar di Kota Dresden, Dschungelkind diserbu. Orang pun sabar berdiri dalam antrean panjang demi segores tanda tangan si pemilik cerita pada bukunya. ”Panjangnya melebihi antrean tanda tangan Helmut Kohl,” kata pemilik toko tentang bekas Kanselir Jerman itu.
Meski begitu, buku ini tetap dikritik. Gesellschaft für bedrohte Völker (organisasi pemerhati masyarakat tertindas Jerman) menyebutkan, Dschungelkind kelewat ”romantis”—karena cuma menampilkan riak kenyamanan yang dialami sang pengarang tapi mengabaikan fakta bahwa sebetulnya suku terbelakang ini ditindas pemerintah Indonesia. Tentang ini, Sabine cuma bilang pendek, ”Sengaja tidak saya munculkan, untuk melindungi orang tua saya yang, ketika buku ditulis, masih tinggal di sana.”
Sri Pudyastuti Baumeister (Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo