BETH
Sutradara : Aria Kusumadewa
Pemain : Ine Febriyanti, Bucek Depp, Nurul Arifin, Lola Amaria
Alkisah, Elizabeth adalah warga sebuah rumah sakit jiwa. Dia bertemu dengan Pesta (Bucek Depp), pemadat, mantan kekasihnya yang sama-sama berstatus pasien. Ingatan mereka akan masa lalu berkelebatan. Dan seekor kecoa pun dikecup. Selama lebih dari satu jam, film garapan Aria Kusumadewa, sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta itu, menyodorkan "pertemuan kembali" sepasang kekasih itu bersama kehidupan abnormal rumah sakit jiwa.
"Suster, kenapa Nabi Sulaiman bisa bicara dengan binatang." Pertanyaan ganjil itu meluncur dari bibir mungil Beth—demikian nama panggilannya—kepada suster rumah sakit. Perempuan depresi yang diperankan Ine Febriyanti ini lebih ingat kepada sang anjing daripada orang tuanya. Lalu kamera menyorot adegan muskil: Beth menelepon, bercakap-cakap dengan sang anjing ke-sayangan.
Film ini lebih mirip bazar tingkah-tingkah sinting. Manusia memainkan ketapel dengan target sang bulan; menyanyi lagu rock dengan sikap ala Nazi; menyusuri koridor dengan skate board, dan meracaukan kalimat Nietzsche. Sesuatu yang terlalu gaduh dan tampaknya tak mungkin terjadi di panti rumah sakit jiwa sesungguhnya.
Namun, sejak dini, penonton telah diberi sebuah adegan yang menampilkan nama rumah sakit jiwa: RSJ Manusia (oleh para pasien papan namanya diubah menjadi RS Anus). Aria ingin menegaskan kehidupan dalam film itu adalah sebuah fiksi: parodi hitam atas kegilaan. Dan alangkah me-lesetnya jika penonton membandingkan ketidakwarasan tokoh-tokoh film ini dengan kegilaan Jack Nicholson dalam One Flew over the Cuckoo's Nest. Film yang dibintangi Nurul Arifin, Lola Amaria, Paquita Widjaja, Ine, Bucek Depp, dan seniman dari Bulu-ngan ini tidak mengekspresikan abnormalitas dalam arti psikologis sesungguhnya, melainkan pada permainan dan asosiasi-asosiasi kegilaan.
Pendekatan Aria kali ini berbeda dengan film terdahulunya yang realis: Bingkisan untuk Presiden, meski keduanya menunjukkan minat yang sama, yaitu problem suatu komunitas yang tak mampu hidup di ruang lain. Bingkisan untuk Presiden berkisah tentang kehidupan konkret rumah susun yang dihuni pemadat narkoba. Mereka merasa sehat, tapi begitu keluar dari rumah susun hidup terasa janggal. Dalam bayangan Aria, baik dokter maupun pasiennya sejatinya satu logika. Dalam film Beth, Aria mengisahkan bagaimana waras dan tidak waras tumbuh menjadi satu. Ada suster yang bekas pasien, ada staf dokter dan suster yang tadinya normal berubah menjadi pasien.
Bangunan cerita sengaja tidak naratif. Eksperimen Aria bertumpu pada hubungan kata-kata yang dilontarkan antartokoh. Misalnya pasien advokator, yang selalu mencerocoskan kalimat: ras Arya, ras Arya.... Intonasi ini dimaksudkan untuk mendukung karakter ayah Beth (El Manik) yang tiran. Adapun celotehan puisi-puisi seorang pasien untuk mendukung percintaan Beth-Pesta. Sayang, jalinan ini terasa kurang kena. Sepanjang pertunjukan, yang terasa, aktor-aktor lepas memainkan "kegilaan" dirinya sendiri.
Pemeran penyair gila adalah Saut Sitompul, lulusan musik IKJ, penyair yang dikenal sering membacakan puisinya di bus. Pasien rocker adalah Eki Lamoh, bekas vokalis Edane. Dan tokoh seniman di depan rumah sakit diperankan Amin Kamil, bekas anggota Bengkel Teater. Melihat Saut tak henti-hentinya mengoceh, tak jauh berbeda menonton spontanitas pembacaan puisinya di jalanan. Tampak Aria mem-berikan ruang yang terlalu luas pada monolog bebas para tokohnya. Ia memang mengakui bahwa syuting film ini lebih berkembang dari ekspresi dan improvisasi keseluruhan aktor daripada sebuah skenario. "Ini lebih film workshop, saya hanya menjadi fasilitator," kata Aria.
Seperti Bingkisan untuk Presiden film Beth memiliki kekuatan pada adegan siluet kilas balik yang muncul secara tak terduga. Dan seperti juga pada film Bingkisan, Aria mampu menyentuh hal-hal yang Islami dengan apik. Dalam film Bingkisan, Aria menampilkan adegan keranda yang diusung dari tangga ke tangga sembari melantunkan tahlilan. Adapun dalam film Beth, tokoh Pesta mencoba menyodok kecoa di eternit dengan sebuah galah. Kamera menyorot galah yang tembus genting rumah. Berkas sinar matahari masuk, menusuk wajah Pesta bersamaan dengan merdunya suara adzan. Puitis.
Inilah suatu upaya spartan memperjuangkan selera film yang lain. Keberanian untuk patungan, mengedarkan di bioskop Studio 21 tanpa promosi komersial yang gencar, para pekerja film ini patut dicatat. Untuk sang sutradara, film ini adalah bagian dari pergumulan kreatifnya yang tengah men-dalami persoalan ruang urban.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini