Dibandingkan dengan pengutang kasbon Bank Indonesia lainnya, aset-aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memang tergolong paling bagus. Namun, tidak semua aset Salim di PT Holdiko Perkasa laris manis. Salah satunya adalah Grup Sulfindo, yang ternyata dihargai terlalu rendah sehingga penjualannya terpaksa dibatalkan.
Pada Mei 2001, Holdiko menawarkan terlebih dahulu kepada Sumitomo dan Tosoh dari Jepang, mitra kerja sama asing (joint venture partner) Grup Sulfindo selama ini. Setelah itu, penawaran baru dilanjutkan lewat proses seleksi awal calon investor (short-listing) dan due diligence. Namun, penawaran akhir yang diterima Holdiko jauh di bawah penawaran awal dan kisaran penilaian yang diberikan oleh penasihat keuangan perusahaan, JP Morgan dan PT Bhakti Capital Indonesia. "Saat ini kami dan BPPN tengah mengkaji berbagai langkah yang dapat diambil untuk menaikkan tingkat pengembalian aset ini," kata Direktur Holdiko, Scott Coffey. Yang jelas, gagalnya penjualan Sulfindo akan mempengaruhi pendapatan BPPN, yang tahun ini ditargetkan mesti meraih Rp 27 triliun.
Grup Sulfindo terdiri dari tiga perusahaan, PT Sulfindo Adiusaha, PT Satomo Inodvyl Monomer, dan Satomo Indovyl Polymer. Sulfindo Adiusaha yang memproduksi chlorine dan caustic soda. Satomo Indovyl Monomer memproduksi ethylene dichloride dan vinyl chloride monomer. Satomo Indovyl Polymer memproduksi poly vinyl chloride. Dalam tiga perusahaan itu Holdiko memiliki saham masing-masing sebesar 98,6 persen, 74,3 persen, dan 49,3 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini