Sedan BMW itu berhenti di depan Gelanggang Olahraga Bulungan di bilangan Jakarta Selatan. Pria yang duduk di balik kemudi menurunkan kaca pintu mobil. Sosoknya segera menarik satu wanita langsing berkulit kuning dan berpenampilan modis yang sedang berdiri di tepi jalan itu. Sang wanita mendekat, menyandarkan tubuhnya ke mobil. Keduanya berbicara sejenak. Beberapa saat kemudian, si pria melambaikan tangan: isyarat penolakan, sembari kakinya menekan pedal gas mobil. Sesaat kemudian, deru BMW itu menghilang dalam udara dinihari.
Paras wanita muda itu menampakkan rasa kecewa. Ia masuk ke sebuah warung, lalu memesan roti bakar. Menemui sesama temannya yang mengais rezeki dengan "mencegat mobil-mobil" di pinggir jalan, wanita itu tak lupa menyapa seorang pria berambut gondrong yang tengah duduk-duduk di warung tersebut. Pria itu, Aria Kusumadewa, 38 tahun, membalas senyuman wanita kenalannya itu. Menurut Aria, perempuan ini pernah menjual anak yang ia lahirkan tanpa ayah. Kehidupan malam di Bulungan memang akrab dengan Aria Kusumadewa. Ia dan Bulungan sudah seperti ikan dan air. Keriuhan dan kesunyian Gelanggang Bulungan—sebuah fasilitas olahraga dan kesenian untuk umum dekat terminal bus Blok M—seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari sutradara film Beth ini. "Mereka yang sudah terbiasa dengan keanehan di sini tak bisa tinggal di tempat lain kecuali di Bulungan," ujarnya kepada TEMPO.
Ide-ide kreatif Aria—sutradara ini dianggap potensial untuk menggarap film-film hitam Indonesia—banyak mendapat inspirasi dari lingkungan Bulungan yang keras, seperti Si Luet (1996), Aku, Perempuan dan Lelaki itu (1996), atau Bingkisan untuk Presiden (1999), bahkan Beth (2000), film terbarunya yang mengeksplorasi kegilaan.
Di Bulungan, ia juga memiliki Komunitas Gardu. "Kantor" komunitas itu adalah dua gubuk bambu lembap dengan penerangan seadanya. Terletak di bawah tandon air yang sudah mati, kedua gubuk itu diapit gardu listrik PLN dan gelanggang. Dulu, pojok ini menjadi tempat pembuangan sampah. Kini ia sudah dihias dengan tanaman sekadarnya serta bambu Jepang—yang kadang-kadang terpaksa dipotong untuk membubarkan tawuran pelajar.
Anggota komunitas itu sebagian besar adalah orang yang pernah hidup di Bulungan. Latar belakang mereka macam-macam. Umpamanya, Irfan Melayu—bekas aktifis teater SMA 70—yang kemudian jadi pengacara. Atau, orang yang sekadar menumpang hidup sebagai tukang parkir, seperti Jumadi Effendi alias Bob Stylloh. Artis Lola Amaria dan Ine Febriyanti, meski tak pernah aktif di Bulungan, kini menjadi anggota komunitas berlambang kecoa itu. Kedua nona cantik itu kini bisa ditemukan di sana, malam-malam. Adapun Aria, si pendiri komunitas ini, bukan cuma pernah hidup di Bulungan. Ia pernah hidup di jalanan setelah melarikan diri dari rumah keluarga orang tuanya di Lampung.
Komunitas Gardu (mengambil nama dari gardu listrik PLN itu) berdiri pada 1996. Namun, ia seolah menyambung sejarah panjang kreativitas di Gelanggang Olahraga Bulungan. Dari era 1970-an hingga 1980-an, gelanggang yang didirikan oleh Gubernur Ali Sadikin itu menjadi tempat berkumpul beberapa seniman seperti Teguh Esha. Pengarang novel Ali Topan Anak Jalanan inilah yang memperkenalkan Aria pada Bulungan, suatu hari di tahun 1991. Segera saja, tempat itu menjadi "rumah" bagi pria kelahiran Bandarlampung yang selalu gelisah ini.
Lingkungan Bulungan yang paradoksal memang menyajikan rupa-rupa drama tentang kehidupan dan manusia. Hanya sekitar 200 meter dari gelanggang, berdiri Kejaksaan Agung. Tapi, begitu malam bergulir, di sekitar lokasi kantor yang mengurus penegakan hukum itu puluhan pekcum (gadis nakal) menjajakan diri. Transaksi seks dan narkoba terbuka di jalan-jalan umum. Satpam-satpam toko mencari tambahan dengan menyewakan sudut toko untuk nyepet (menyuntik heroin). Sesekali aparat keamanan dan keterbitan atau polisi merazia tempat itu. Tapi yang ditangkap bisa segera membeli kebebasannya dengan menyetorkan sejumlah "uang pungli".
Dari dua gubuk Komunitas Gardu di Bulungan, Aria bisa meneropong semua nuansa itu dengan leluasa. Tak mengherankan kalau ia sampai berkata: "Gardu ini bukan hanya tempat berteduh atau berbincang. Di sini kami juga merenungkan diri, merenungkan kegilaan ataupun peristiwa-peristiwa hitam." Lalu, ia menyambung: "Siapa saja boleh datang kemari asalkan bersedia kembali ke titik nol."
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini