Dalam balutan gaun panjang merah hati yang memamerkan lengan dan punggung telanjang, Andrea Corr adalah jelmaan keindahan yang nyaris tanpa cacat. Tapi penampilan The Corrs di hadapan enam ribu penonton lebih, Rabu malam pekan silam, boleh jadi mengingatkan orang pada Jigglypuff. Ini bukan nama bidadari, tapi monster mungil merah jambu dalam film kartun Pokemon. Jigglypuff mahir membuat musuhnya tak berdaya dengan nyanyian dan suara yang mirip buluh perindu—seperti yang dilakukan Andrea Corr dalam The Corrs Jakarta "In Blue" Concert di Plenary Hall Jakarta Convention Center. Ditambah gerak-gerak yang manja dan jatmika, Andrea membuat ribuan penonton Jakarta seperti tersihir. Padahal, band keluarga asal Irlandia ini terlihat lelah setelah rangkaian pertunjukan mereka di Australia dan Filipina yang banyak menguras tenaga.
Tapi begitulah. Namanya juga penonton kadung rindu. Tanpa banyak kesulitan, The Corrs menuai tepuk tangan yang bertalu-talu. Grup ini sudah dua kali dijadwalkan tampil di Jakarta, tapi batal melulu. Pertama karena Andrea sakit, kedua karena situasi keamanan. Maka, ketika tembang Only When I Sleep yang kental dengan nuansa Keltik itu bergulir, penonton langsung menyambut dengan teriakan gembira. Teriakan itu kian membahana tatkala Sharon Corr menggesek biolanya dan Andrea memainkan tin whistle, serunai kecil khas Irlandia. Penonton bahkan tak ambil pusing saat Caroline Corr beberapa kali menggebuk drum dalam ketukan yang tidak tepat.
Penonton yang datang ke konser The Corrs memang tidak semata ingin menonton pertunjukan musik. Mereka juga ingin memanjakan mata dengan menatap langsung sosok jelita tiga personel wanita The Corrs. Malam itu, harapan tersebut tak meleset. Andrea, Sharon, dan Caroline naik panggung dengan gaun terusan, dengan lengan dan punggung terbuka yang memamerkan kulit indah mereka. Andrea memakai gaun merah hati, Sharon memilih warna keemasan, sementara Caroline mengenakan warna hitam. Tak berlebihan jika majalah Rolling Stone pernah menulis The Corrs adalah "komoditi ekspor" terbaik Irlandia setelah Irish whiskey.
Apa boleh buat, Jim Corr—saudara lelaki dari ketiga bidadari The Corrs— yang memainkan gitar dan keyboard, nyaris sebagai pelengkap. Tampaknya, ia juga bisa digantikan musisi siapa saja tanpa perlu khawatir ada penonton yang protes. Lagu-lagu The Corrs berkisah seputar cinta, dari kasmaran, patah hati, sampai janji setinggi bintang. Menu ini tak ubahnya yang disuguhkan grup Abba sekian tahun lalu. Bedanya, dalam The Corrs ada suara biola yang dominan. Selain itu, unsur musik tradisional membuat grup ini jauh lebih memikat ketimbang grup pop lainnya. Tengok nomor instrumental Toss The Feather yang dinamis, terutama saat Caroline "bermesraan" dengan bodhran, rebana kulit kambing. Sesi akustik jadi bagian terbaik dalam konser ini. Penonton, misalnya, ikut bernyanyi bersama dalam lagu Runaway. "Kalian semua penyanyi yang luar biasa," Andrea memuji penonton di sela-sela pertunjukan.
Dan para penonton bukan hanya ikut menyanyi. Mereka juga mengaku puas. "Saya tak menyesal membayar mahal," kata Shirley Margaretha. Mahasiswa asal Bandung itu menonton di kelas festival seharga Rp 300 ribu. Komentar senada juga dilontarkan penonton lain. Yang paling puas tentu Adrie Subono, promotor dari Java Musikindo. Dana sekitar US$ 150 ribu (Rp 1,5 miliar pada kurs Rp 10 ribu) yang dia keluarkan untuk mendatangkan grup ini telah kembali sebelum konser—lewat penjualan tiket serta sponsor. Berapa laba yang masuk ke kantong Adrie? "Tidak banyak, karena kita tak boleh untung lebih dari 20 persen dari total biaya produksi," kata Adrie.
Sukses The Corrs adalah racikan menu musik yang pas ditambah keberuntungan. Dibentuk pada 1990 di Dundalk, kota kecil sekitar 80 kilometer utara Dublin, grup ini mengusung pop rock dengan bumbu musik tradisi Irlandia sejak awal. Tak lama setelah terbentuk, mereka bertemu John Hughes, yang kelak menjadi manajer grup ini. Hughes menyarankan agar mereka ikut berpartisipasi dalam pengisian musik film The Commitments yang disutradarai Alan Parker. Saat diadakan konser langsung musik film ini, The Corrs beruntung ditonton Duta Besar Amerika Serikat untuk Irlandia, Jean Kennedy Smith. Diplomat itu mengundang grup ini untuk bermain di Boston sebagai bagian dari perayaan Piala Dunia sepak bola di Amerika pada 1994.
Lawatan ke Amerika tersebut mendatangkan berkah besar. The Corrs dikontrak Atlantic Record, yang merilis debut album mereka, Forgiven Not Forgotten (1995). Album ini langsung terjual 8 juta keping di Eropa dan Australia. Tur mereka pun dibanjiri penonton. Satu contoh, sekitar 50 ribu orang memadati Taman Fishbury, London, pada 1996, saat mereka bernyanyi di hadapan publik Inggris. Album kedua mereka, Talk on Corners (1997), tak kalah sukses. Total, dengan mengikutkan album Unplugged (2000) dan album terbaru In Blue (2001), 22 juta keping rekaman telah mereka jual di seluruh dunia. Di Indonesia, angka penjualan mereka mencapai 700 ribu keping.
The Corrs menambah deretan musisi Irlandia yang berjaya di panggung dunia. Sebelumnya, pencinta musik telah mengenal U2, Enya, ataupun The Cranberries. Menurut pengamat musik Remy Silado, fenomena ini bukan kebetulan semata. Pasalnya, musik Irlandia secara tradisi sudah jadi dasar lagu gospel di Gereja Protestan. Sosok teolog Martin Luther tak bisa dilepaskan dari perkembangan musik ini. Pada masa itu, Luther mencari musik ibadah yang merakyat dan tidak berbelit seperti nyanyian ibadah penganut Katolik. Ketemulah musik Irlandia ini, yang kelak juga jadi tiang dari folksong Amerika. Dengan kata lain, progesi nada lagu tradisional Irlandia memang sudah akrab di kuping pencinta musik.
The Corrs punya keuntungan ganda. Keindahan ragawi mereka paralel dengan melodi manis yang mereka tawarkan. Maka, ketika kerling mata Andrea bermain saat ia melantunkan What Can I Do to Make You Love Me, penonton tak bisa berbuat lain kecuali terkesima. Dengan serunai di tangan, bidadari Irlandia itu telah meluluhkan Jakarta.
Yusi Avianto Pareanom dan Arif Adi Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini