10 tahun yang lalu, wartawan TEMPO, Slamet Djabarudi yang
bekerja sebagai wartawan Pelopor Jogja, mengungkapkan kasus
pemerkosaan Sum Kuning. Dia ditahan polisi. Karena agaknya
banyak yang tidak lagi mengetahui kasus ini, di bawah ini
penuturannya:
POLISI Yogya waktu itu sedang diuji. Bulan Juni 1970 terjadi
perkosaan pada guru Stella Duce. Kasus itu tidak jelas
penyelesaiannya hingga kini.
Tiga bulan kemudian kasus perkosaan timbul lagi. Korbannya
seorang gadis penjual telur di Desa Jetak, Godean, di Kabupaten
Bantul. Yang pertama kali memuat berita perkosaan ini harian
Kedaulatan Rakyat, berdasarkan laporan wartawati Tut Sugyarti
Sayogyo.
Apa tindakan polisi? Sebulan kemudian diadakan jumpa pers.
Desas-desus kuat menyebutkan bahwa pemerkosanya anak-anak
pejabat tinggi di Yogya.
Tapi polisi ternyata bikin kejutan. Bukannya nama para pemerkosa
yang diumumkan, melainkan pernyataan gadis itu bahwa ia tidak
diperkosa. Dengan demikian polisi akan mengajukan penjual telur,
Sumariyem. Tuduhan: karena dianggap menyebarkan kabar bohong.
Ragu akan hasil jumpa pers itu, saya, yang waktu itu bekerja di
Pelopor Jogja, berniat menyelidiki peristiwa sebenarnya. Rasanya
ada yang mendorong saya menemui Sum di rumahnya padahal masih
disangsikan, apakah ia sudah dilepas dari tahanan.
Dengan sepeda butut saya menemui Sum di Jetak, sekitar 11 km
dari Kota Yogyakarta. Alhamdulillah ia ada di rumah. Kedua
orang-tuanya dengan senang hati menerima saya. Dan mereka
berterus terang.
Menilik umurnya dan kesederhanaannya, saya yakin bahwa ucapan
Sum di depan polisi karena terpaksa. Dengan modal itu, plus
sedikit informasi berdasar wawancara lain, saya beranikan
menulis versi lain tentang kasus itu.
Tulisan pertama yang lunak disusul tulisan-tulisan berikutnya
yang nadanya lebih keras. Pemimpin Redaksi Pelopor Jogja segera
memperingatkan agar tulisan tentang Sum dihentikan saja. Toh
perkara sudah dibawa ke pengadilan.
Karena sejak pernyataan resmi versi polisi itu tak ada pers yang
memuat versi lain, terpaksa saya tidak taat pada atasan.
Larangan dilanggar. Tulisan yang kurang perlu saya ganti dengan
artikel saya. (Maklum, selain mencari herita, saya juga mengurus
naskah di percetakan sampai koran terbit).
Peringatan juga diberikan kakak saya yanr melihat naskah yang
saya ketik di rumah. Tapi perasaan "seperti orang gila" lebih
kuat daripada peringatan itu.
Itu semua menyebabkan polisi Yogya turun tangan. Selama 9 hari
(2 s.d. 11 Desember 1970) saya menginap di Suryoputran.
Terdorong untuk segera mengetahui persis kesalahan, saya minta
kapten polisi memeriksa sampai saya lelah. Sekitar pukul 2
dinihari permeriksaan pertama selesai.
Polisi memberi sebuah ruang kantor Komdin 96, di Jalan
Malioboro, untuk tidur. Saya, beralaskan meja dan berteman
dengan nyamuk, sulit memejamkan mata. Selimut tidak saya bawa,
dengan perkiraan toh pemeriksaan hanya sebentar.
Siang dan malam pemeriksaan berputar-putar pada serial tulisan
saya di mingguan Pelopor Jogja. Dalam tulisan sebanyak empat
kali, memang saya paparkan analisa tentang kasus itu. Juga saya
beri saran agar polisi tidak meneruskan perkara Sum Kuning yang
sedang megghangat waktu itu.
Tapi rasa sedih selama dikawal polisi terobati ketika Hakim Ny.
Lamyah Moeljatno SH membebaskan Sum dari tuduhan dan tuntutan
hukum. Yang sukar terobati ialah nafsu makan. Sampai tiga tahun,
saya tak pernah bisa menghabisi satu porsi nasi ukuran buat
orang tahanan.
Yang mengganjal sekarang ialah film Perawan Desa. Ia antara lain
menggambarkan kegigihan wartawan Kedaulatan Rakyat dari saat
membongkar kasus sampai menelanjangi polisi. Beberapa wartawan
Yogya sendiri main sebagai wartawan pembongkar, wartawan biasa
dan wartawan figuran Tidakkah mereka risau dengan fakta waktu
itu yang berbeda?
Slamet Djabarudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini