Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dan slamet pun ditangkap

Wartawan slamet jabarudi, mengungkapkan kasus pemerkosaan sum kuning 10 th yang lalu. ia ditahan karena tulisannya di koran. kasus ini kemudian difilmkan "perawan desa" yang tidak sesuai dengan faktanya.

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

10 tahun yang lalu, wartawan TEMPO, Slamet Djabarudi yang bekerja sebagai wartawan Pelopor Jogja, mengungkapkan kasus pemerkosaan Sum Kuning. Dia ditahan polisi. Karena agaknya banyak yang tidak lagi mengetahui kasus ini, di bawah ini penuturannya: POLISI Yogya waktu itu sedang diuji. Bulan Juni 1970 terjadi perkosaan pada guru Stella Duce. Kasus itu tidak jelas penyelesaiannya hingga kini. Tiga bulan kemudian kasus perkosaan timbul lagi. Korbannya seorang gadis penjual telur di Desa Jetak, Godean, di Kabupaten Bantul. Yang pertama kali memuat berita perkosaan ini harian Kedaulatan Rakyat, berdasarkan laporan wartawati Tut Sugyarti Sayogyo. Apa tindakan polisi? Sebulan kemudian diadakan jumpa pers. Desas-desus kuat menyebutkan bahwa pemerkosanya anak-anak pejabat tinggi di Yogya. Tapi polisi ternyata bikin kejutan. Bukannya nama para pemerkosa yang diumumkan, melainkan pernyataan gadis itu bahwa ia tidak diperkosa. Dengan demikian polisi akan mengajukan penjual telur, Sumariyem. Tuduhan: karena dianggap menyebarkan kabar bohong. Ragu akan hasil jumpa pers itu, saya, yang waktu itu bekerja di Pelopor Jogja, berniat menyelidiki peristiwa sebenarnya. Rasanya ada yang mendorong saya menemui Sum di rumahnya padahal masih disangsikan, apakah ia sudah dilepas dari tahanan. Dengan sepeda butut saya menemui Sum di Jetak, sekitar 11 km dari Kota Yogyakarta. Alhamdulillah ia ada di rumah. Kedua orang-tuanya dengan senang hati menerima saya. Dan mereka berterus terang. Menilik umurnya dan kesederhanaannya, saya yakin bahwa ucapan Sum di depan polisi karena terpaksa. Dengan modal itu, plus sedikit informasi berdasar wawancara lain, saya beranikan menulis versi lain tentang kasus itu. Tulisan pertama yang lunak disusul tulisan-tulisan berikutnya yang nadanya lebih keras. Pemimpin Redaksi Pelopor Jogja segera memperingatkan agar tulisan tentang Sum dihentikan saja. Toh perkara sudah dibawa ke pengadilan. Karena sejak pernyataan resmi versi polisi itu tak ada pers yang memuat versi lain, terpaksa saya tidak taat pada atasan. Larangan dilanggar. Tulisan yang kurang perlu saya ganti dengan artikel saya. (Maklum, selain mencari herita, saya juga mengurus naskah di percetakan sampai koran terbit). Peringatan juga diberikan kakak saya yanr melihat naskah yang saya ketik di rumah. Tapi perasaan "seperti orang gila" lebih kuat daripada peringatan itu. Itu semua menyebabkan polisi Yogya turun tangan. Selama 9 hari (2 s.d. 11 Desember 1970) saya menginap di Suryoputran. Terdorong untuk segera mengetahui persis kesalahan, saya minta kapten polisi memeriksa sampai saya lelah. Sekitar pukul 2 dinihari permeriksaan pertama selesai. Polisi memberi sebuah ruang kantor Komdin 96, di Jalan Malioboro, untuk tidur. Saya, beralaskan meja dan berteman dengan nyamuk, sulit memejamkan mata. Selimut tidak saya bawa, dengan perkiraan toh pemeriksaan hanya sebentar. Siang dan malam pemeriksaan berputar-putar pada serial tulisan saya di mingguan Pelopor Jogja. Dalam tulisan sebanyak empat kali, memang saya paparkan analisa tentang kasus itu. Juga saya beri saran agar polisi tidak meneruskan perkara Sum Kuning yang sedang megghangat waktu itu. Tapi rasa sedih selama dikawal polisi terobati ketika Hakim Ny. Lamyah Moeljatno SH membebaskan Sum dari tuduhan dan tuntutan hukum. Yang sukar terobati ialah nafsu makan. Sampai tiga tahun, saya tak pernah bisa menghabisi satu porsi nasi ukuran buat orang tahanan. Yang mengganjal sekarang ialah film Perawan Desa. Ia antara lain menggambarkan kegigihan wartawan Kedaulatan Rakyat dari saat membongkar kasus sampai menelanjangi polisi. Beberapa wartawan Yogya sendiri main sebagai wartawan pembongkar, wartawan biasa dan wartawan figuran Tidakkah mereka risau dengan fakta waktu itu yang berbeda? Slamet Djabarudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus