Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat tangan dokter itu menguak perut pasien, yang muncul "handphone", "jam weker", dan "bom". Penonton terkekeh-kekeh .
Dua pemain pantomim muda Yogya, Broto dan Asita, menghadiahkan adegan imajinatif lucu dokter bedah itu untuk sang senior, Jemek Supardi, yang berulang tahun ke-50. Selanjutnya, Jemek bersama "kader-kader" lainnyaBroto, Asita, Win Mukti, Keken, dan Kuncoromenampilkan repertoar Selamat Datang Jakarta, Kesaksian Udin, dan Hoping Ciak Kuping, Teman Makan Teman. Sebagai selingan, tampil permainan sulap yang dibawakan oleh Tedjo Badut.
Jemek sendiri tampil lumayan kocak dalam Halusinasi Pelukis. Jemek seolah-olah melukis seorang penari. Karena fantasinya terlalu kuat, sang penari muncul di alam bawah sadar. Jemek terkesima, lalu menyentuh tubuh penari, tapi yang ditabrak bingkai lukisan. Slapstick memang, tapi gerrr .
Di kalangan seniman Yogya, Jemek Supardi sudah menjadi bagian dari khazanah "dagelan" Yogya. Semua orang senang dan tetap menyayanginya, apa pun pertunjukannya. Panitia pementasannya ini, contohnya, bak panitia orang sripah (orang meninggal). Semua teman Jemek membantu sebisanya, sukarela, bantingan uang. Ada seniman yang mengirim empat kuintal beras untuk makan kru, ada pinjaman sepeda motor. "Meski Jemek banyak kekurangan, banyak orang peduli dengannya," kata perupa Hendro Suseno, sahabat akrab Jemek.
Lebih dari 20 tahun setia berpantomim, tak punya pekerjaan tetap, adalah sesuatu yang langka di negeri ini. Trade mark-nya tetap: wajah berpupur putih seperti baru kecemplung gudang tepung, celana kombor, kepala botak mudah diingat. Lalu, satu sosok yang sesungguhnya meniru tokoh bernama Bip, badut yang diciptakan aktor pantomim dunia asal Prancis, Marcel Marceau, di tahun 1947. Telah banyak karya tunggal ataupun bersama dihasilkan Jemek. Sesungguhnya vokabuler gerak tubuh Jemek untuk menciptakan berbagai asosiasi tak banyak mengalami perkembangan berarti. Kegilaan dan orisinalitas gagasannya berpantomim di jalanan, itu yang lebih liar.
Kalangan seni Yogya masih ingat awal April 1998: Yogya diguyur hujan deras, tapi tiba-tiba muncul iring-ringan 11 peti mati membelah jalan Brigjen Katamso, Yogya, menuju kompleks Makam Kintelan. Warga Kampung Dipowinatan, Prawirodirjan, segera menghambur keluar. Tak ada yang tahu Jemek menjadi mayat di salah satu peti mati itu. Bahkan para turis asing pun banyak yang menonton. Menjelang sampai di kuburan, tiba-tiba Jemek mendobrak peti mati dan muncul mencari-cari liang lahatnya. Lalu, sang mayat kembali diusung sampai di pemakaman. Begitu sampai, Jemek keluar, membuka bajunya hampir bugil, kembali mencari lubang jenazahnya di antara makam-makam pahlawan tak dikenal, tapi tetap tak ketemu. Sebuah satire getir atas kepahlawanan di negeri ini.
Orang bisa saja menilai pentas jalanan itu sebagai sesuatu yang sensasional. Tapi, yang jelas, pentas semacam itu tak pernah direncanakan teratur oleh Jemek. Ia seorang pemain pantomim yang situasional. Pernah ia memanfaatkan lorong kereta api, berpantomim sepanjang Yogya-Jakarta. Pada Agustus 1998, ia melakukan aksi pantomim di atas kendaraan berat forklift, berjalan sekitar 12 kilometer di Jalan Malioboro. "Ide itu muncul karena sebelumnya ada demonstrasi mahasiswa," katanya. Ia ingin melakukan "protes" dengan cara dan gayanya sendiri. Teman-temannya membantu mencarikan forklift.
Dalam pentas malam itu Jemek tak membuat kejutan besar. Di usianya yang setengah abad itu, tampak ia sudah letih. "Bila stamina dan kelenturan tubuhnya terjaga, bisa lebih bagus pertunjukannya," komentar penyair Landung Simatupang, sahabatnya. Tapi Jemek adalah teka-teki. Idenya kadang tak terduga, siapa tahu nanti akan meledak lagi. Yang jelas, aktor pantomim yang suka membuatkan kopi, bahkan memasak atau membelikan makan teman-temannya, ini malam itu seolah gantian dihidangi "secangkir kopi" (tentu saja tak pahit) oleh pencintanya dalam bentuk tepuk tangan dan tawa.
Seno Joko Suyono, Lucia Idayani (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo