Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Jet Lee', Bekas Penggali Kubur

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada ataupun tak ada pantomim, kehidupan Jemek sudah menarik karena hidupnya memang sudah berteater." Kata-kata perupa Yuswantoro Adi ini tepat menggambarkan kehidupan Jemek

Memang hidup sehari-hari laki-laki kelahiran Pakem, Sleman, ini pun penuh spontanitas mengagetkan. Suatu kali, misalnya, Jemek diundang bermain di panggung hiburan Rumah Sakit Jiwa Magelang. Kebetulan kepala rumah sakit itu, Dokter Inu Wicaksono, adalah teman Jemek semasa SLTP. Dari Yogya, Jemek sudah ber-make-up serba putih, naik bus menuju Magelang. "Wah, sing edan kuwi sopo (wah, yang gila itu siapa)," seloroh pegawai Rumah Sakit Jiwa Magelang.

Jemek ketawa saja ketika ditanya pengalamannya yang aneh-aneh, serileks bila ia dianggap gila saat berimprovisasi di jalanan. Pernah pada suatu acara hiburan Eksotika Karmawibhangga, di Puncak beberapa tahun lalu, ia disewa untuk berpantomin tunggal di antara banyaknya muda-mudi yang hadir. Tapi terlihat mereka yang datang tak menggubrisnya, sampai ia capek sendiri, lalu duduk sendirian di dekat pepohonan. Tapi, ketika lapar, ia bingung: mau beli bakso apa tetap harus berpantomim?

Kini ia muncul dengan penampilan mutakhirnya: separuh rambut ikalnya dipangkas habis, bagian belakang dibiarkan memanjang sebatas bahu. Persis gaya Jet Lee, pendekar dari negeri Cina. Jemek bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N. pada tahun 1975. Lalu Teater Boneka, Jullie Taymor, dan Teater Dinasti. Namun, karena pelupa, sulit menghafal dialog, akhirnya ia memilih jalur pantomim. "Kesetiaan Jemek tidak hanya pada kesenian, tapi juga pada teman-temannya. Itulah yang membuat Jemek dicintai teman-temannya," tutur Hendro Suseno.

Lahir dari keluarga penjual peti mati di Jalan Brigjen Katamso (di depan taman hiburan rakyat), ia menjalani masa mudanya yang bengal. Ia pernah menggali kuburan orang Belanda, hanya untuk mengambil cincin di jari maya. Ia juga pernah mengambil tengkorak dari kuburan untuk dijual ke Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Jemek selalu menjadi ledekan, bahan keusilan teman-temannya. Bimo Wiwohatmo, penari Yogya, bercerita tentang pengalamannya naik kereta senja utama yang sesak ke Jakarta, menjelang Lebaran. Ketika merasa ingin buang air kecil, Bimo tidak bisa jalan ke kamar kecil. Ia kencing di gelas. Ketika itu Jemek sedang tidur lelap di bawah jok. Saat bangun, masih setengah mengantuk, ia meminta minum, dan tanpa ragu mereguk "air" di gelas itu.

Jemek jarang marah. Bimo mengaku salut dengan Jemek karena dia selalu kuat dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Masalah yang dihadapi selalu dilewati dengan guyon sehingga masalah itu menjadi ringan. Suatu ketika, dengan wajah tanpa beban dan sambil tertawa-tertawa, Jemek bercerita tentang kesedihan istri dan anaknya. "Teman-teman yang mendengar terenyuh, tapi dia sendiri menghadapi dengan sangat tenang," kata Bimo Wiwohatmo. Di separuh bayanya kini, "Jet Lee" masih seperti dulu. Ketika banyak para temannya sudah menikmati proyek, ia tetap saja jauh dari "rezeki". Ibarat sebuah terminal, Jemek telah mengantar banyak penumpang ke tempat tujuan, tapi ia sendiri tetap teguh di tempat.

Seno Joko Suyono, Lucia Idayani (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus