Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Secercah Senyum dari Balik Burqa

Foto-foto perempuan Afgan mengisi Galeri Lontar. Sebagian dari mereka telah tewas, tapi inilah sebuah dokumen optimisme kehidupan.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada kepedihan yang membekas begitu nyata dalam foto-foto itu. Dinding batu abu-abu, sekadar tembok bata yang kasar dan terkoyak, jalanan ber­debu, pohon kering, langit yang men­dung kelabu, dan wajah-wajah muram yang dihajar kemiskinan dan perang.

Lalu ada perempuan; mereka yang membalut tubuh dan kepala dengan kain. Sebagian sekadar berkerudung—dengan poni rambut cokelat atau hitam yang nongol—sebagian lain terbalut dalam kain biru yang mengurung sekujur tubuh dari kulit kepala hingga mata kaki. Pada bagian wajahnya dipasangkan kain tipis, semacam kelambu yang membuat wajah mereka samar-samar terlihat. Orang Afganistan menyebutnya burqa, atau chadri—yang di Indonesia kemudian menjadi ”cadar”.

Adalah perempuan-perempuan ini yang menjadi fokus pameran foto yang kini digelar di Galeri Lontar, Jakarta. Panorama perang masih tampak di seluruh negeri, dan para perempuan ini korban utama. Berjudul ”Women, Islam and Democracy—Voice on the Rise: Afghan Women Making the News” inilah foto-foto yang mengungkap kehidupan perempuan Afganistan—orang kebanyakan, jurnalis, aktivis, anggota parlemen, dan lainnya.

”Mereka yang berjuang menghadapi hantu sejarah masa lalu negerinya. Merekalah pendobrak; menyerukan suara melalui media, melalui karya, dan memastikan agar semua perempuan Afganistan bisa bersuara,” kurator Jean McElhone menulis.

Selama lebih dari tiga dekade, Afga­nistan—yang berarti ”tanah bangsa Afgan”—didera konflik yang tak ada habisnya. Dan foto-foto itu menjadi dokumen kehidupan sebuah negeri yang terje­pit di tengah-tengah Asia, sepotong tanah tanpa laut seluas 647 kilometer persegi (sedikit lebih luas dari Kalimantan) yang berada dalam persimpangan Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Sisi selatan dan timurnya berbatasan dengan Pakistan; Iran di barat; Turkme­nistan, Uzbekistan, dan Tajikistan (dulunya bagian dari Rusia) di utara; dan Cina di timur lautnya.

Afganistan dewasa ini adalah negeri yang hancur dihantam perang: dari invasi Soviet pada 1979 sampai invasi Amerika pada 2001, yang diikuti dengan tersingkirnya kelompok fundamentalis Taliban. ”Dulu kami tak ubahnya kota-kota di Eropa. Kini semuanya tinggal puing,” kata Safia Siddiqi Asif, anggota parlemen dalam diskusi peluncuran ­pameran di Jakarta, pekan lalu.

Safia yang pesimistis boleh jadi merupakan cermin kecemasan perempuan Afganistan akan masa depan. Simaklah foto-foto dalam pameran. Dari balik selubung kain, atau kerudung, dan se­nyuman mereka yang optimistis, kisah hidup mereka berujung pada dua titik ekstrem; bisa sukses atau tewas sia-sia di negeri yang masih berjuang menyembuhkan diri ini.

Simak cerita Rona Sherzai, manajer radio Quyaash di Maimana, Provinsi Faryab, dekat Turkmenistan. Sebagai seorang etnik Pashtun yang tinggal di desa Uzbek, dia sering menghadapi konflik etnis yang menjadikannya sasaran. Rona belajar jurnalistik di Universitas Kabul, hingga Taliban mela­rangnya sekolah. Tiga dari empat anaknya menderita cacat cerebral palsy dan tak bisa berjalan. Rona menghabiskan hari-harinya di antara rumah dan pekerjaannya sebagai wartawan. Dalam foto tampak Rona menggunakan chadri dan mewawancarai seorang kepala ­urusan pertanian setempat.

Yang sukses seperti Humaira Habib. Humaira pernah diancam aparat agar­ tak lagi bekerja sebagai wartawan di He­rat, sisi barat Afganistan. Tapi ia ber­­tahan dan menjadi direktur radio­ di provinsi­nya. Pada 2005, ia sempat­ belajar­ di Universitas McGill di Mon­treal,­ Kanada, sebelum kembali ke tanah airnya.

Atau, Ustad Mahwash. Ia adalah seniman Afgan ternama yang diberi gelar­ ”ustad” sebagai penghormatan yang be­sar. Ustad Mahwash sangat terkenal di Afganistan, sebelum ia meninggalkan negeri itu ketika invasi Soviet. Penyanyi perempuan baru muncul kembali pada Januari 2004, lama setelah Taliban jatuh, itu pun menimbulkan kehebohan besar. Meski demikian, setidak­nya pelan-pelan suara dan paras perempuan mulai kembali ke radio dan layar kaca mereka.

Ada pula Masooda Jalal, dokter yang sempat menjadi anggota parlemen darurat pada 2002 atas aktivitasnya dalam isu perempuan dan kesehatan. Dua tahun kemudian, dia menjadi perempuan Afgan pertama yang menjadi kandidat presiden. ”Di foto ini dia diwawancarai Farida Haris, produser dan reporter di stasiun nasional,” kata McElhone.

Tapi terkadang nasib mereka bisa berbalik tragis. Lihatlah senyum manis dan polos dari Shaima Rezayee di kamarnya, dengan poster film Disney Shrek yang ditempel di dindingnya. Shaima, pembawa acara musik di televisi Kabul, tewas tiga bulan setelah Tolo TV, tempatnya bekerja, menghentikan acaranya yang dianggap merusak dan kebarat-baratan. Tatkala dibunuh di rumahnya, ia baru 24 tahun. Polisi menghubungkan pembunuhan itu dengan pekerjaannya. Sedangkan ibu dan para tetangga menuding ia dibunuh oleh abangnya sendiri.

Ada pula Sheikaiba Sanga Amaaj, 22 tahun, presenter televisi yang pada Mei tahun lalu tewas di rumahnya, dalam suatu kasus yang disebut-sebut sebagai ”pembunuhan demi kehormatan”.

Dan yang tak kalah tragis, tewasnya Huma Safi, seorang penyair, wartawan, dan presenter. Ia dan Zabih, pacarnya, mendirikan sekolah rahasia untuk pe­rempuan Afgan. Pada 2004, keluarga Huma, dari suku Pashtun yang penganut Islam Sunni, melarangnya menikahi Zabih, seorang dari suku Hazara yang penganut Syiah. Dan Huma pun bunuh diri.

Seperti diungkapkan Safia, cerita perempuan Afgan tak bisa dilepaskan dari kisah selubung kain, baik burqa, chadri, maupun sekadar selendang atau kerudung. Foto mereka menjadi sebuah dokumentasi optimisme yang menyegarkan, meski bisa berujung tragis. Perjalanan mereka membalikkan sejarah yang penuh puing menjadi fondasi negeri yang bisa berujung pada dua hal: sukses atau mati sia-sia dalam perang saudara yang tak berkesudahan.

Tapi, satu hal yang senantiasa mereka kenakan sebagai identitas bangsanya. ”Burqa adalah tradisi Afganistan—bukan Islam, bukan pula Taliban. Dan ini akan jadi masalah kalau kami dipaksa menggunakannya dan dilarang ber­aktivitas, seperti yang dilakukan Tali­ban,” kata Safia.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus