Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panel konstruksi bambu itu membentuk dinding gang sempit yang mengantar penonton ke destinasi selanjutnya: ruang tengah di dalam galeri Rumah Seni Cemeti. Ada delapan sampai sembilan bilah bambu dengan panjang tiga meter yang membentuk dinding koridor itu. Yang menarik, sebagian bambu diletakkan condong ke dalam, lainnya condong ke luar. Dan ada perasaan tak nyaman jika kita berjalan di dekatnya.
Panel konstruksi bambu itu karya Eko Prawoto, 50 tahun, seorang arsitek yang juga membuat karya seni instalasi. Eko memamerkan satu karya instalasinya di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, pada 7 Agustus hingga 7 September, dan di lahan dekat rumah penyair Sitok Srengenge di Dukuh Banyutemumpang, Kelurahan Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Kedua karya itu bertajuk Leng | Lung.
Eko dikenal sebagai arsitek yang berdamai dengan alam. Ia banyak menggunakan bahan alam yang mudah diperoleh dan berlimpah, semisal bambu atau bahan bekas. Sebagaimana karya arsitek gurunya, Y.B. Mangunwijaya, karya arsitektur Eko mencerminkan kesederhanaan, baik material maupun bentuk. Tujuannya agar arsitektur tidak lepas dari akar budayanya. Karya-karya instalasinya juga menunjukkan prinsip-prinsip desain arsitekturnya.
Panel konstruksi bambu bertajuk Leng itu, bagi Eko, adalah satu ruang perenungan: ketika orang kembali melihat ke dalam dirinya. Ya, satu laku yang menuntut suasana tenang, relaks, dan khusyuk. Tapi yang muncul justru satu ketegangan ketika sambungan dua panel bambu mirip bentuk sepuluh jari tangan yang bertemu saling menyelusup. Seolah ada energi yang kuat dari sambungan itu sehingga mampu menopang konstruksi kukuh beton ruang galeri.
Mungkinkah ini satu perenungan tentang benturan antara sesuatu yang tradisional yang diwakili materi bambu dan sesuatu yang modern dari konstruksi kukuh beton yang memang selalu muncul dalam karya arsitektur Eko? Bagi Eko, harus ada kompromi antara yang tradisional dan modern. Menjadi modern tak berarti meninggalkan akar.
Tapi materi bambu dalam karya Eko ini tak sepenuhnya mencitrakan tradi-sionalisme. Panel bambu itu disusun secara formal dengan ukuran yang sangat teknis, jauh dari kesan asal-asalan, dan disatukan dengan pasak besi. ”Tradisi bukan sekadar mitos yang harus diikuti secara membabi buta,” katanya.
Panel-panel itu bak memagari ruang melingkar di bagian dalam galeri dengan kukuh. Orang yang di dalam bisa melihat ke luar, dan yang di luar dapat melihat yang di dalam. Bak raga yang terkurung, tapi jiwa bebas melayang.
Ketika materi bambu yang sama mendapat perlakuan yang berbeda di luar ruang, kesan yang muncul juga berbeda. Eko membuat karya bertajuk Lung di halaman rumah penyair Sitok Srengenge di atas kawasan perbukitan gersang dengan tanah berkapur di desa selatan Yogyakarta. Ia membangun struktur lingkar konsentris berupa tiga lapis lingkaran susunan bambu di sekitar pohon jati yang daunnya kering berguguran di tanah kerontang musim kemarau.
Struktur bambu ini lebih organik dan terbebas dari beban impitan struktur pepohonan yang ada di sekitarnya. Eko menyusun bambu yang utuh, besar di bagian bawah dan semakin kecil di bagian atas bak semburat sinar yang menyebar. Bambu itu tersusun lebih rapat yang lebih sulit ditembus pandangan, sebaliknya susunan bambu ini menggambarkan konstelasi yang membuka diri. Satu lagi kontradiksi dalam karya Eko Prawoto. Pada Leng dalam ruang galeri bermukim satu konstruksi yang tertutup tapi terbuka, sebaliknya pada Lung di ruang terbuka berdiri konstruksi yang terbuka tapi tertutup. Di dalam Leng ada Lung, di dalam Lung ada Leng.
Eko dalam pameran ini ditemani karya instalasi Nindityo Adipurnomo, Hedi Hariyanto, Iskandar, Mella Jaarsma, dan Syahrizal Koto. Mereka merespons lingkungan di rumah baru Sitok dengan materi bambu. Hedi pematung yang biasa membuat karya yang mengesankan ketegangan antara materi yang ia pakai. Kali ini ia membangun konstruksi mirip rumah keong dari anyaman bambu yang renggang. Terowongan transparan ini menyusuri jalan menuju pagar tembok masif rumah sang penyair.
Karya Hedi berjudul Lurung ini memaksa orang masuk ke rumah Sitok dengan kepala menunduk, karena bagian atapnya rendah. Situasi ini mirip tatkala orang harus membungkukkan badan ketika masuk ke rumah tradisional Jawa—suatu upaya memaksa tamu bersikap santun kepada pemilik rumah.
Iskandar meletakkan bentuk bola sepak takraw dalam ukuran jumbo di atas konstruksi kawat. Arifin membangun menara dari bambu mirip antena stasiun televisi.
Sedangkan Nindityo adalah perupa yang biasa mengeksplorasi bentuk konde dalam berbagai media (drawing, patung, instalasi). Nindityo memanfaatkan halaman depan rumah berbatasan dengan jurang yang membebaskan pemilik rumah menikmati lanskap pepohonan di dalam jurang dan punggung bukit di depannya. Nindityo membayangkan dirinya sedang berada di puncak bukit tempat wisata yang menyediakan fasilitas teropong. ”Saya terinspirasi bentuk teropong,” kata pemilik Rumah Seni Cemeti ini.
Ia membangun konstruksi dari pelat besi dalam bentuk tiga silinder yang bertumpuk. Konstruksi itu ia isi dengan batang bambu sepanjang empat meter sehingga menghasilkan bentuk silinder. Nindityo membayangkan orang bisa memanfaatkan karyanya ini untuk meditasi. Karya ini ia beri judul Teropong Meditasi, satu tempat menutup diri di tengah alam terbuka.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo