Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang dahsyat diam-diam terjadi di Jakarta. "Diam-diam", karena ini menyangkut sebuah medium yang termasuk paling diremehkan: komik. "Dahsyat", karena perkembangan paling hip dari medium ini, yang bahkan di Amerika pun hip itu masih terhitung baru, telah masuk Jakarta.
Cobalah naik ke lantai 5 Sogo Plaza Senayan, ke toko buku Kinokuniya yang meliputi separuh lantai Sogo. Dalam satu rak besar di belakang kasir, terpampang deretan komik tebal. Dari sampul sebagian komik itusayangnya, komik-komik itu dalam plastik dan ada label "No browsing, Thank You"tampak sesuatu yang tak biasa kita lihat pada komik-komik biasa: kesadaran artistik yang tinggi, style yang kuat, desain yang mumpuni, dan corak tema yang dewasa. Sampul-sampul itu bak desain sampul bagi buku-buku novel dari sastrawan dunia.
Banyak judul dan nama yang mungkin asing di rak itu. Dave Sims, dengan sederet buku tebal seri Cerebus. Craig Thompson (Blankets), Joe Sacco (Notes of A Defeatist), Marjane Satrapi (Persepolis). Antologi Drawn & Quarterly dan Blab! dengan desain buku yang cutting edge layaknya buku desain mutakhir atau buku sastra garda depan. Rak itu bertajuk Graphic Novels, novel grafis.
Novel grafis adalah sebuah makhluk aneh. Sebagai istilah, ia lahir dan tumbuh di Amerika. Di sana pula ia dicerca: makhluk tak jelas kelaminnya, istilah oportunistik, buah minder akut para komikus di hadapan medium lain seperti sastra atau seni rupa. Secara resmi, istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Will Eisner.
Eisner (The Spirit) adalah komikus senior, "bapak" buku komik di Amerika. Setara dengan Osamu Tezuka (Astro Boy) sang bapak manga, Hergé (Tintin) sang bapak komik modern Eropa, atau R.A. Kosasih sang bapak buku komik di Indonesia. Di usia pensiun, Eisner malah melahirkan inovasi. Pada 1978, ia menerbitkan A Contract With God dan menyebutnya sebagai "novel grafis".
Karya ini terasa "baru" bagi publik Amerika, karena ditulis tanpa batasan halaman seperti lazimnya komik di sana. Komik ini pun secara sadar membahas tema dewasaragam cerita dan derita orang biasa (bukan "superhero"), sebuah roman sejarah tentang kaum migran Yahudi di Bronx, New York, pada 1930-an. Layaknya sebuah novel, karya ini mengandung kesadaran naratif, ide, pendalaman karakter, dan komplikasi plot. Eisner meniatkan karyanya sebagai novel, tapi berbentuk komik.
Di tangan Eisner, seperti terungkap dalam karya meditatifnya, Comics and Sequential Art dan Graphic Storytelling, komik memang adalah penjelajahan grafis. Bagi Eisner, komik terdiri banyak elemen grafis yang potensial membangun kisahan. Dalam warna hitam putih, Eisner bukan hanya menjelajah logika bayangan, tapi juga angle, physiognomy (ilmu bahasa tubuh), balon kata, "sound effect", font, bentuk panel, penderetan panel, dan banyak lagi. Agaknya, logis saja baginya untuk menabalkan istilah "novel grafis" (tentang istilah semacam ini, lihat Banyak Nama Menuju Komik).
Terbukti, istilah ini efektif menjawil pasar. Marvel Comics segera saja mengeluarkan "novel grafis"-nya yang pertama, The Death of Captain Marvel (Jim Starlin) pada 1980-an. Walau kisah ini memang di atas rata-rata komik superhero, terasa benar pembajakan istilah tersebut untuk alasan komersial. Terbukti, setelah itu Marvel rajin mengeluarkan kisah superhero kacangan dengan label "novel grafis". Sebuah alasan bagi Marvel untuk mengeluarkan lini produksi komik dalam format "album" model komik Prancis, Belanda, atau Belgia.
Alasan Marvel jelas: ingin melebarkan pasar. Sejak 1970-an hingga 1980-an, pasar utama komik Amerika telah tenggelam ke bawah tanah. Mereka mengalir dalam sungai-sungai kecil berlabel jalur distribusi khusus, di jejaring toko-toko khas komik yang lazimnya didirikan oleh para fans komik. Akibatnya, yang arus utama dalam industri komik Amerika bukanlah arus yang sebenarnya dalam industri buku di sana. Jelasnya, komik tak mendapat tempat di toko buku umum.
Dibutuhkan dua tonggak untuk menempatkan komik di jalur mainstream buku. Pertama, seri Sandman (Neil Gaiman) dari DC Comics. Kedua, Maus (Art Spiegelman) yang memenangi kategori khusus Pulitzer pada 1992. Cukup jelas kenapa Maus membetot perhatian publik, sementara Sandman, yang meramu mitologi gado-gado Yunani dengan berbagai mitologi lainnya, mendapat tempat secara bertahap. Mulanya, seri ini terbit sebagai komik Amerika biasa: 32 halaman, diselingi iklan dan surat pembaca.
Baru setelah penerbit DC Comics membukukan seri ini, mengumpulkan beberapa cerita jadi satu, Sandman mulai terbaca sebagai novel grafis. Para pembaca yang telah lama meninggalkan komik karena beranjak dewasa (dan mereka banyak sekali!) tiba-tiba menemukan bacaan masa kecil mereka telah tumbuh dewasa juga. Gaiman, dibantu belasan penggambar dan pelukis pilihannya sendiri, mengolah tema-tema kosmologi, takdir, seks, kematian, kekerasan, dan AIDS dengan leluasa.
Pada awal 1990-an, keputusan DC memproduksi buku-buku Sandman amat berisiko: ongkos produksi yang mahal, dan entah siapa mau membelinya. Tapi sambutan pasar rupanya bagus. Dua belas judul novel grafis Sandman masuk rak toko buku umum di Amerika, dan hampir setiap tahun selalu dicetak ulang. Bahkan semua cerita Sandman dibuatkan versi hardcover yang mewah, dengan harga dua kali lipatdan laris juga. Praktis sejak 2000, novel grafis telah tumbuh jadi industri tersendiri.
Tengok saja data dari Previewkatalog resmi distributor komik Amerika terbesar, Diamondyang juga menyuplai ke Indonesia. Sampai Oktober 2004, kelompok DC Comics telah mengeluarkan lebih dari 600 judul komik sejenis novel grafis, sebagian besar berupa kompilasi berbentuk trade paperback (TPB). Marvel mengeluarkan lebih dari 200 judul. Dark Horse, yang menerbitkan seri Hell Boy dan Star Wars, mengeluarkan lebih dari 200 judul. Industri yang baru tumbuh ini telah memikat penerbit raksasa seperti Penguin, Picador, Scholastic, dan Pantheon untuk ikut menerbitkan novel grafis.
Tak mengherankan jika pasar itu pun meluber ke toko-toko buku impor di Jakarta seperti toko buku QB dan Kinokuniya. Sebuah toko/distributor khusus komik impor yang baru beroperasi awal tahun ini, Ten Comics, dengan sigap merengkuh tren novel grafis dan TPB. Mulai September, ia memperbanyak stok komik jenis ini di gerai utamanya saat ini, yakni di toko buku Maruzen Pasaraya Blok M. Ten Comics bahkan ikut memprakarsai penerbitan komik-komik TPB terjemahan, seperti seri Spawn (Todd McFarlane) dan Powers (Brian Michael Bendis dan Michael Avon Oeming).
Penikmat komik di Indonesia sebetulnya lebih terbiasa dengan bentuk novel grafis daripada para pembaca Amerika. Komik-komik wayang dari R.A. Kosasih dan Ardisoma, komik-komik silat yang kadang-kadang bisa mencapai belasan atau puluhan jilid adalah hal biasa bagi kita. Dan generasi 1990-an hingga kini terbiasa memamah manga yang punya kelaziman serupa (Penerbit Elex Media, misalnya, menstandarkan komik format manga bagi komikus lokal minimal setebal 180 halaman).
Tak aneh jika pada akhir 2004 ini ada komikus lokal yang berani mengklaim karyanya sebagai novel grafis. Beng Rahadian (Selamat Pagi Urbaz) mengaku bahwa ia dan Alfi (Mantera Pawitra) pada mulanya mencantumkan istilah itu untuk mencuri perhatian. Kedua komik mereka diterbitkan oleh lini komik penerbit Terrant yang terhitung baru. Terrant berani mencanangkan lini komiknya akan menerbitkan sebuah komik lokal ala novel grafis setiap bulan selama tiga tahun ke depan.
Baik Abdul Azis, pemimpin Terrant, maupun Beng dan Alfi, optimistis atas bentuk novel grafis ini. Setelah niat mencuri perhatian dengan istilah itu, Beng mengungkapkan bahwa ia mencoba menampilkan komplikasi perkembangan karakter rekaannya dalam Selamat Pagi Urbaz Karena itu, ia merasa istilah ini tak jauh meleset untuk menyebut karyanya.
Alternatif narasi grafis ini, agaknya, akan memicu kebangkitan komik nasional.
Hikmat Darmawan, pengamat komik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo