Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sembilan dengan Gitar

Sebuah konser gitar klasik menampilkan sembilan alumni Institut Kesenian Jakarta. Penonton meluap. Ada barter yang ikhlas.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesudah dengan telak menundukkan serangkaian not bertempo cepat, Heru D. Priyono menggelincirkan jari kirinya di atas dawai dan menghentikannya tepat di sebuah not tunggal hampir di ujung bawah papan nada. Gitaris kelahiran Jakarta yang pernah belajar pada maestro Carl Tangjong ini lalu menutup Tango en Skai karya komposer Prancis, Roland Dyens, nomor terakhir repertoarnya, dengan sebuah pukulan empat jari kanan secara beruntun dan cepat (rasguedo), yang bunyinya seketika ditahan. Penonton meledak, sebagian bertepuk tangan, sebagian memekik. Di gedung pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu itu Heru bermain rapi dan atraktif. Ia tampil setelah dua gitaris yang lebih senior, Rusdi Syarif dan Benny M. Tanto, berturut-turut mendahuluinya. Bersama enam gitaris lainnya, mereka mengisi dan meramaikan acara yang dinamai Konser Alumni Gitar IKJ. Jangan terpaku pada namanya. IKJ memang Institut Kesenian Jakarta, dan kesembilan gitaris yang menyedot minat penonton itu—yang memenuhi ruang pertunjukan berkapasitas 300-an kursi—lulusan dari berbagai tahun sekolah seni ini. Lihat sajalah gairah yang menyala pada diri para gitaris, yang tampil dalam dua babak selama dua setengah jam, dan hasrat penonton yang begitu meluap. Gairah para gitaris itu mula-mula terasa pada pilihan 21 komposisi yang mereka sajikan. Sesudahnya adalah usaha mereka menyelesaikan repertoar serapi mungkin, dengan otoritas, kepribadian, dan kegembiraan bermain. Tak seluruhnya sempurna. Tapi penonton abai: mereka royal menghamburkan tepuk tangan, juga histeria di sana-sini. Di ruang pertunjukan saat itu memang boleh dibilang terjadi sebuah barter yang ikhlas. Semua pihak merasa puas, tak peduli ada ketidaksempurnaan akibat bunyi yang terasa jauh bagi penonton di deretan belakang atau 1-2 not yang terantuk karena posisi jari tak sempurna, atau sesekali berdering telepon seluler. Maklum, pertunjukan serupa itu langka. Konser alumni IKJ itu menjadi salah satu sarana bagi para gitaris dan peminat gitar klasik tidak saja untuk saling bertemu dan mengapresiasi atau merayakan kebersamaan. Di situ pun mereka bisa menempa lagi, misalnya, keyakinan bahwa gitar—seperti kata David Qualey, komposer dan gitaris laris dari Amerika Serikat—adalah instrumen musik yang "mengandung sentuhan melankoli dan kontemplatif". Pada komposisi gitar klasik memang tak ada gemuruh. Orang terpikat justru karena keelokannya dan kekayaan teksturnya, pada melodi yang lembut bertempo pelan ataupun melodi keras beraksen yang bergerak cepat. Rusdi Syarif, lulusan pertama mayor gitar dari Jurusan Musik IKJ (1980), membuka konser dengan Prelude No. 1 karya Villa-Lobos, komposer asal Brasil, yang mengandung semua daya tarik itu. Nomor yang tergolong paling sering dimainkan dalam pertunjukan ini diawali dengan bagian melodi pada dawai terendah, yang terdengar seperti cello, dengan latar belakang ritmis, lalu di bagian tengah semakin terasa ada hidup dan drama, dan ditutup dengan mengulang bagian pembuka. Durasinya kurang dari empat menit. Rusdi mestinya bisa memainkannya lebih baik. Tapi, untuk khalayak yang dahaga, apa yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sebagai pemanasan. Sesudah Rusdi, yang sebelum kembali ke balik panggung melengkapi penampilannya dengan Prelude No. 5 (juga karya Villa-Lobos) dan Gavotta (ciptaan Scarlatti), pada babak pertama tampil berturut-turut Benny M. Tanto, Heru, R. Agung H.F., dan Riwanto. Suasana berganti-ganti dengan cepat. Sebetulnya ini lebih mirip parade dan bukan hal yang nyaman bagi penonton yang terbiasa terfokus dan menuntut intensitas—misalnya dengan hanya 1-2 pemain di panggung dan repertoar tematik. Tapi lagi-lagi keberatan mesti dibuang jauh-jauh dulu. Untungnya, babak kedua cepat datang dan persis seperti ekspektasi: penampilan tiga pasang duet, satu kuartet, dan terutama gabungan seluruh gitaris (ninetet) yang mengeroyok komposisi karya Georges Bizet, Carmen Suite, terasa lebih hidup, lebih riang, lebih eksplosif. Babak ini menunjukkan bahwa gitar, di tangan yang tepat, bisa juga menjadi sebuah ensemble yang efektif mengantarkan melodi berlapis-lapis. Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus