Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalau Tentara Swasta Bergerak

Kantor Kontras dan PBHI di Jakarta dirusak massa yang berpakaian Pemuda Panca Marga. Imbas dari perang Aceh?

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seratusan massa yang mengenakan seragam loreng dari Pemuda Panca Marga (PPM) menghancurkan dan mengobrak-abrik kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jalan Cisadane, Jakarta Pusat, pekan lalu. Polisi tak berdaya menghadapi tindak kekerasan ini. Namun pada hari itu pula Polisi Resor Metro Jakarta Pusat memeriksa para pelaku perusakan. Kali ini polisi tak "memberi angin" kepada pelaku perusakan itu. Tiga dari 12 anggota PPM yang diperiksa polisi, yakni William Garpes, Achmad Rozali, dan Furqon Herawan, ditahan. Menurut Kepala Polres Resor Metro Jakarta Pusat, Ajun Komisaris Besar Sukrawardi Dahlan, polisi telah mengumpulkan bukti dan keterangan dari para saksi. "Kejadian itu merupakan tindakan kriminal dan melanggar hukum," kata Sukrawardi. Para pelaku nantinya dituduh melanggar Pasal 170 KUHP, pengeroyokan, dan perusakan, dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. Seharusnya polisi bisa mencegah perusakan itu. Sebab, sehari sebelumnya para anggota PPM sudah beraksi dan membakari beberapa spanduk yang terpasang di kantor Kontras. "Saya tak puas dengan penanganan polisi. Harusnya polisi bisa mengamankan masyarakat, karena sehari sebelumnya empat polisi tahu adanya ancaman dari Pemuda Panca Marga," kata Koordinator Kontras, Ori Rahman. Ori, pada saat penyerbuan itu, menjadi korban keganasan para pemuda yang mengaku putra-putri veteran pejuang Republik Indonesia itu. Ori dipukuli hingga memar di bagian perut, dada, dan mukanya, karena salah saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. "Artinya, dia itu tidak nasionalistis," kata seorang koordinator lapangan PPM, yang diperiksa di kantor polisi. Sebenarnya, seperti aksi mereka sebelumnya, seratusan massa PPM itu mencari Munir, bekas Koordinator Kontras. Dalam orasi di halaman kantor Kontras, seorang anggota PPM menyatakan, PPM tak bisa menerima pernyataan Munir yang menentang operasi militer di Aceh. "Orang-orang yang berada di Kontras tidak pernah cinta negara. Mereka juga tak pernah melakukan advokasi jika korbannya TNI dan Polri," ujar salah seorang peserta penyerbuan itu. Menurut Ketua Umum Pemuda Panca Marga, Erdin Odang, penyerangan yang dilakukan anak buahnya masih dalam batas wajar. "Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Batam, ketika menghadapi para penentang pemerintah daerah. Kami buang ke laut," kata Erdin, yang juga pengusaha realestat di Batam. Para penyerbu itu kebanyakan datang dari Jawa Barat. Mereka datang dengan bus dan Isuzu Panther milik Perusahaan Daerah Air Minum Bogor. Ternyata direktur perusahaan daerah itu, Helmi Sutikno, berada bersama-sama para penyerbu. "Saya menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada polisi. Saya siap datang jika sewaktu-waktu dipanggil polisi," kata Helmi. Para anggota PPM yang marah di kantor Kontras juga datang ke kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), yang hanya berjarak 700 meter. Di kawasan perkantoran Cikini itu mereka mencari Ketua PBHI, Hendardi. Seperti halnya Munir, yang dicari juga tak ada di kantor itu. Massa marah, lalu merusak patung kertas berwajah Ketua Partai Golkar Akbar Tandjung yang ada di kantor itu. "Gambar bos gua lo giniin,'' kata anggota PPM marah, melihat patung berhidung mancung itu. Seorang staf PBHI, Hendri, juga dipaksa menyanyikan Indonesia Raya dan diperlakukan seperti Ori Rachman ketika ragu-ragu menyanyikan lagu kebangsaan itu. Hendardi menduga aksi penyerangan ke kantornya dan Kontras merupakan upaya agar operasi militer di Aceh bisa bebas dari kritik dan kontrol. "Saya pikir ini merupakan grand design untuk merepresi pihak-pihak yang kritis terhadap operasi militer di Aceh, bukan hanya pada kami, pada pers, aktivis kemanusiaan dan hak asasi manusia diperlakukan sama oleh militer dan pendukung-pendukungnya," kata Hendardi kepada Agricely dari Tempo News Room. Melihat aksi penyerangan seperti ini sering terjadi, Hendardi mempertanyakan kewibawaan pemerintah. "Ini penghancuran demokrasi yang dilakukan dan dilindungi oleh negara. Bagaimana ada demokrasi, kalau ada orang berbeda pendapat malah dikerasi?" kata Hendardi. Beberapa tokoh hak asasi manusia seperti Benny Biki, Asmara Nababan, dan Romo Sandyawan, juga mengecam aksi teror itu. "Itu tindakan fasisme," kata Asmara Nababan. Komentar lain datang dari Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto. "Kontras kami harap introspeksi diri, mengapa mereka sampai bisa diserang," kata Jenderal Endriartono. Jadi, penyerangan ini memang imbas dari "perang Aceh".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus