Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Karya Baru Seniman Baru di ArtJog

Perhelatan seni tahunan Artjog. Menampilkan karya baru seniman baru.

16 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH bergaya limasan Cemeti Institute beserta isinya seakan-akan pindah ke Jogja National Museum. Pendiri Artjog, Heri Pemad, memboyong konsep hunian tradisional Jawa milik Cemeti dengan membangun limasan berukuran 7 x 8 meter beratap genting keripik yang ia beli dari penduduk Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemudian seniman Mella Jaarsma mengisi rumah tanpa dinding itu dengan empat limasan mini yang beratap bambu dan ijuk. Kaki-kaki dua limasan kecil dia pasangi roda supaya bisa digerakkan ke sana-kemari. Outskirts, perupa 63 tahun itu memberi judul karyanya. Artjog menjadikan karya Jaarsma sebagai karya utama yang dipajang pada 30 Juni-27 Agustus 2023. Kurator Artjog, Hendro Wiyanto dan Nadiah Bamadhaj, menilai selama empat dasawarsa terakhir Jaarsma punya kontribusi penting bagi perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Festival seni yang telah berjalan 16 tahun itu menampilkan total 73 karya seniman, termasuk karya seniman muda. Karya seni instalasi terlihat mendominasi ruangan pamer. Penyelenggara mengambil tema "Motif: Lamaran". "Motif" berarti kesadaran atau motif seniman dalam berkarya. Adapun "lamaran" berarti metode kurator mendekati seniman dengan cara datang langsung menemui seniman di studio dan berkomunikasi secara daring. 

Karya Mella Jarsma di Artjog di Jogja National Museum Yogyakarta, 6 Juli 2023/Tempo/Shinta Maharani

Mayoritas seniman baru berpameran pertama kali di Artjog dengan tujuan menyajikan kebaruan atau kesegaran, satu di antaranya gambar bertema hantu ciptaan Goenawan Mohamad. Ada juga karya seniman muda asal Medan, Franky Pandana, yang menggambarkan pesan teks pendek telepon seluler yang dia kirim setiap hari. Sebagai karya utama, tema yang Jaarsma bawa dalam Outskirts boleh dibilang bukan sesuatu yang baru. Dia masih setia menempatkan obyek berupa kostum dan instalasi dalam limasan itu. 

Pakaian yang membalut tubuh seorang perempuan atau model yang berdiri di rumah limasan mini menggunakan kulit kayu pohon lantung khas Sumatera yang ia beli di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Separuh atapnya berupa ijuk yang biasa warga Bali gunakan untuk bubungan pura kecil. Ada juga kostum dari kulit durian. Limasan tak jauh dari tema identitas tubuh, budaya, sejarah, dan antropologi kolonial. “Arsitektur Jawa berangkat dari tubuh manusia dan punya filosofi keseimbangan,” ujar Mella Jaarsma yang ditemui di Jogja National Museum, Kamis, 6 Juli lalu.

Perupa asal Belanda itu juga menyuguhkan umpak atau fondasi berupa batu granit berbentuk kaki manusia yang dia lubangi agar pengunjung bisa memasukkan kakinya. Jaarsma melibatkan pemahat batu dari Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, untuk mengerjakan umpak yang membutuhkan waktu hampir empat bulan itu. Umpak itu menopang tiang-tiang limasan yang menyertakan bulir-bulir padi dan bendera Merah Putih pada bagian bubungan. 

Karya Mella Jarsma berjudul "Outskirts" di ArtJog, Jogja National Museum Yogyakarta, 6 Juli 2023/Tempo/Shinta Maharani

Peraih The John D. Rockefeller 3rd Award, penghargaan praktisi seni, itu menyebutkan ide menciptakan limasan bermula dari kedatangan Pemad ke studio seni Cemeti, Desember tahun lalu. Jaarsma sepakat membawa konsep limasan Cemeti ke Artjog. Dia kemudian menyusun konsep atau gagasan dengan membuat sketsa yang juga dia tampilkan di dalam limasan itu. “Saya bukan tipe yang tiba-tiba bikin karya, tapi membutuhkan hasil riset panjang dan kontemplasi,” tuturnya. 

Observasi itu dia lakukan setiap pekan dengan cara berjalan kaki menyusuri desa-desa di Yogyakarta. Limasan Cemeti pada bagian depan dia beli dari seorang petani pada 1999. Dalam menciptakan limasan itu, Jaarsma kerap berdiskusi dengan perupa sekaligus arsitek, Eko Prawoto. Sayangnya, limasan itu tidak menggunakan lantai dari tanah seperti pada limasan di pelosok desa. Bila menggunakan tanah, limasan itu akan terasa lebih hidup dengan kaki menjejak pada bumi, bukan lantai berbahan modern. Kurator Artjog, Hendro Wiyanto, menyebutkan lantai itu dibuat untuk alasan praktis. “Supaya limasan-limasan kecil bisa dipindahkan dari satu sudut ke sudut lain dan memudahkan mobilisasi pengunjung,” ucap Hendro. 

Selain limasan, Artjog memajang karya-karya Jaarsma buatan 2000-2017 bertema citra selubung tubuh di dua ruangan dengan bahan bangunan modern. Karya-karya tersebut merepresentasikan problem identitas politik dan budaya, relasi gender yang tampak dan yang tersembunyi, serta berbagai selubung identitas. Jaarsma menyebutnya sebagai praktik dengan pandangan kritis seniman melalui kacamata antropologi, sejarah, dan kolonial. 

•••

KONSEP pemindahan studio juga berlaku untuk karya perupa asal Bali, Made Djirna. Karya itu lekat dengan simbol-simbol spiritual Bali. Artjog memboyong sebagian koleksi studio milik Djirna berupa benda-benda alam seperti batu, kayu, dan tanah. Perupa 66 tahun itu memberi judul karya instalasi itu Akah. Dalam bahasa Bali, akah berarti asal-usul atau sumber. Dalam satu ruangan berukuran 9 x 6 meter, Djirna menyusun altar dari bebatuan yang dia tatah seperti obyek berwajah manusia. 

Dia memilih wajah sebagai motif atau karakter yang paling mudah dikenali dari manusia. Wajah-wajah itu tidak beraturan, mirip topeng yang bopeng. Tumpukan batu bata bergambar binatang dan patung-patung yang mirip sekumpulan manusia menopang altar. Altar itu gambaran pura di kampungnya yang dulu hanya tumpukan batu di pinggir sungai. Ingatan Djirna melompat ke masa kecil. Sewaktu bocah, dia melihat gunungan batu yang berserakan. Tempat sembahyang itu mirip artefak-artefak dalam bentuk punden berundak dan candi. 

Bertolak dari pengalaman itu, dia ingin memvisualkan hal-hal yang ia temui dan berbagai perubahannya. Tujuannya adalah menceritakan asal mula sesuatu dan perubahannya kepada generasi sekarang. Perubahan dalam konteks Bali secara umum, misalnya Bali pada 1970, sangat berbeda jauh dengan Bali sekarang yang padat dengan hotel. Sebagian anak muda atau generasi hari ini di Bali tidak mengenal lagi bahwa hotel-hotel itu dulu area persawahan dan Pulau Dewata dulu tidak seriuh dan sepadat sekarang. 

Karya Mella Jarsma berjudul "Outskirts" di ArtJog, Jogja National Museum Yogyakarta, 6 Juli 2023/Tempo/Shinta Maharani

Dia juga menempatkan perahu dari kayu yang tidak utuh di tengah ruangan. Patung-patung kayu dan boneka warna-warni dari serabut kelapa merayap di dinding. Serabut kelapa dipilih sebagai bahan boneka itu karena kelapa dikenal sebagai tanaman yang memiliki banyak manfaat dan akrab dengan kebiasaan masyarakat Indonesia. Serabut kelapa mengingatkan orang pada keset atau alas kaki. Tumpukan boneka itu menggambarkan masyarakat kelas bawah yang kerap menjadi tumbal karena ketidaktahuan dan kepasrahan. Mereka berkerumun layaknya gelandangan dan kalangan pinggiran. 

Dia juga menyorotkan video pada kain-kain yang menjuntai. Ada pula patung-patung bergambar barong dan rangda atau makhluk mengerikan dalam mitologi Bali. Masuk ke ruangan yang setengah gelap itu serasa seperti berada di kuil atau tempat doa. Bau harum dupa menguar serasa kita berada di Bali. Djirna menyertakan bunyi cericit burung dan suara gesekan pepohonan karena terpaan angin. Bebunyian itu berangkat dari pengalamannya saat bocah. Di sekitar rumahnya, dia sering melihat burung-burung langka, misalnya elang, dan suara cericit burung yang bersahutan. “Kini keberadaan burung-burung itu makin berkurang karena habitat burung rusak,” ujarnya. 

Djirna seolah-olah menggambarkan koleksi yang tersimpan di studionya di Desa Kedewatan, Ubud. Sejak 1980, Djirna memungut obyek-obyek alam yang dianggap sebagian orang sebagai sampah. Batu, tanah, dan perahu kayu yang tidak utuh itu tertimbun pasir. Ia kerap menemukannya di pantai-pantai Bali. Obyek-obyek itu menjadi ingatan dan menggambarkan asal muasal yang tak akan pernah hilang ke mana pun Djirna melangkah pergi. 

Artjog juga menampilkan karya seniman perempuan sepuh yang masih bersemangat berkeliling dunia. Hermandari Kartowisastro, 80 tahun, memajang foto-foto jepretannya tentang perempuan. Foto-foto itu ia abadikan saat berkeliling ke sejumlah daerah di Indonesia dan negara seperti Peru, Bolivia, Etiopia, Meksiko, Nepal, dan Iran. Ia juga menjelajah hingga ujung Antarktika. Tengoklah foto gigantik pada tembok pintu masuk lantai 1. Hermandari menyuguhkan karya berobyek ratusan perempuan yang berjejal di pasar tradisional. Foto itu menampilkan perempuan dengan pakaian yang beragam dalam warna yang menyala. Pasar Etiopia, Hermandari memberi judul karya berukuran 665 x 335 sentimeter itu. Foto bertarikh 2014 itu memberi impresi yang kuat tentang keseharian perempuan Afrika. 

Pada karya lain dia menampilkan foto perempuan Peru yang menggendong anaknya dengan mengenakan pakaian khas Peru. Yang teranyar, buatan 2023, adalah foto-foto perempuan Iran yang mengenakan kerudung sedang berkumpul dan minum teh di Yazd. Hermandari memberi judul karya itu Gadis-gadis Bersantai. Alumnus Institut Teknologi Tekstil di Bandung ini sejak 2010 telah berkeliling dunia bersama kameranya. Dia menghasilkan ribuan foto dan menulis sejumlah buku fotografi. 

Instalasi karya Made Djirna berjudul "Akah" di ArtJog, 6 Juli 2023/Tempo/Shinta Maharani

Ia menemukan perempuan di banyak negara masih jauh dari kebebasan, apalagi kesempatan untuk mengekspresikan diri. “Dalam keterbatasan itu, perempuan itu selalu kelihatan tangguh dan mandiri menjalani kehidupan dan bertahan,” tulis Hermandari. Selain seniman sepuh dan moncer, Artjog memberi ruang kepada seniman-seniman muda yang berkarya secara individu ataupun kelompok. Lihatlah video berjudul Huma karya perupa 30 tahun yang lahir di Bali, Kezia Alexandra. Alumnus Academy of Art University, San Francisco, Amerika Serikat, itu mengeksplorasi penciptaan manusia, termasuk tragedi Adam dan Hawa memakan buah apel di Taman Firdaus. Video yang menampilkan gambar bergerak fiksi-sains dan jernih itu terinspirasi dari cerita pendek Danarto berjudul "Abrakadabra" (1974). 

Kelompok seniman muda Gegerboyo menciptakan instalasi berbentuk gunung dengan tangga-tangga berwarna merah menyala yang mengitari lukisan pada kanvas dan kertas, wayang, terakota, dan kayu. Karya berjudul Kayon Panutup itu menggambarkan petilasan Gunung Tutup atau Gunung Hargo Gumilang di Desa Ponjong, Gunungkidul. Petilasan itu muncul dari cerita mengenai Sukino Suprobo yang dipercaya punya kesaktian dan merawat sebuah gunung. Sukino semasa hidupnya dekat dengan Presiden Sukarno. Selain persemayaman Sukino, petilasan itu menjadi makam Mangunkusumo, keturunan Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa yang dikenal anti-penjajahan. 

Petilasan itu dibangun berdasarkan empat asas, yakni sosialisme atau gotong-royong, nasionalisme, spiritualisme, dan kebudayaan. Situs itu juga dikenal sebagai situs kebinekaan karena mencampur sinkretisme Hindu dengan latar Islam dan budaya Jawa. Kurator pameran, Hendro Wiyanto, menyebutkan karya seniman muda berusia 30-40 tahun mendominasi Artjog. Ruang itu diberikan untuk mencari motif-motif baru, kreativitas, pilihan wahana, dan pengolahan karya. “Jumlah seniman perempuan juga hampir setara dengan laki-laki yang memberi angin segar bagi seni rupa yang lebih inklusif,” ucap Hendro. 

Yang terbaru dari Artjog kali ini memang pada semangat inklusivitasnya. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, Artjog lebih ramah terhadap anak dan difabel. Pemad dan timnya membangun Pusat Layanan Disabilitas yang dikomandoi seniman yang menginisiasi Deaf Art Community, komunitas difabel tuli. Belakangan komunitas itu bubar dan menjadi Bawayang, yang mewadahi difabel tuli dalam berbagai pertunjukan seni. 

Pusat Layanan Disabilitas dilengkapi dengan penerjemah bahasa isyarat yang membantu penyandang disabilitas. Pengunjung nondifabel juga bisa mempelajari bahasa isyarat. Masalahnya, gedung Jogja National Museum belum aksesibel untuk difabel. Untuk menuju lantai 2 dan 3 yang memajang karya-karya Artjog, penyandang disabilitas yang mengenakan kursi roda sulit ke sana karena tangga-tangganya curam. Pertunjukan teater Garasi berjudul Waktu Batu: Rumah yang Terbakar juga belum dilengkapi penerjemah bahasa isyarat sehingga penyandang tuli belum bisa menikmati karya itu. Pertunjukan itu mengkombinasikan karakter game, visual, gestur, teks, musik, dan mitologi Jawa yang membawa pesan kerusakan lingkungan. 

Instalasi karya Made Djirna berjudul "Akah" di ArtJog, 6 Juli 2023/Tempo/Shinta Maharani

Pertunjukan teater Garasi itu bagian dari platform baru Artjog bernama Performa. Artjog yang menyajikan seni pertunjukan. Selain pertunjukan Garasi, Art Jog akan menampilkan karya Majelis Lidah Berduri, Bulqini X Mainteater Bandung, dan Sardono W. Kusumo. Pendiri Artjog, Heri Pemad menyatakan festival itu berupaya menampilkan kesegaran-kesegaran di tengah minimnya dukungan pendanaan dari pemerintah maupun ruangan pamer yang belum representatif. Artjog kali ini baru sebatas mendapatkan dukungan dana keistimewaan. 

Padahal, berdasarkan hitungan tim lembaga survei independen dari kampus Sanata Dharma, Artjog tahun lalu memberi multiplier effect sebesar Rp 5,2 triliun. Angka itu dihitung dari sejumlah komponen, seperti kunjungan wisatawan, perhotelan, tiket pesawat, dan usaha kuliner. Menurut Pemad, tim Artjog juga kerap terhambat masalah pengurusan administrasi permohonan anggaran kepada pemerintah yang terlalu rumit atau berbelit-belit. Ia bahkan harus menombok sebesar Rp 8 miliar untuk membiayai perhelatan itu. “Saya sudah sering berteriak dan ndugal. Tapi dukungannya baru sebatas perhatian,” ujar Pemad. 

Dia berharap pemerintah memberi kemudahan administrasi, perizinan, dukungan sponsor, dan infrastruktur yang mumpuni supaya Artjog tahun-tahun berikutnya berlangsung lebih menarik dan maju. Pemad dan Hendro memberi bocoran tentang tema Artjog tahun depan seputar sejarah seni rupa, yang direncanakan berjudul "Motif: Ramalan". Tema ini hendak menelusuri imajinasi seniman tentang sejarah masa depan. “Di masa lalu, sejarah seni rupa dipenuhi beberapa nujum kolonial tentang masa depan,” tutur Hendro.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Artjog: Melamar Perupa hingga Ramalan Perupa"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus