Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran karya Goenawan Mohamad.
Lukisan hantu-hantu yang ditemuinya.
Sumbangan bagi khasanah seni cetak grafis dan seni rupa kontemporer Indonesia.
SYAHDAN, ada sebuah kejadian di malam Jumat Kliwon (entah mengapa malam keramat para lelembut itu dipilih), enam bulan setelah majalah Tempo dibredel untuk kedua kali oleh penguasa Orde Baru. Di suatu bioskop beraroma cinta pemuda-pemudi pemuja Antonio Banderas, Brad Pitt, Christian Slater, dan Tom Cruise, Goenawan Mohamad menonton film Interview with the Vampire besutan sutradara Neil Jordan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabarnya, sejak saat itulah penulis Catatan Pinggir yang legendaris itu menyadari adanya keasyikan yang tersembunyi di balik ketidakterdugaan hantu dan perhantuan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebetulan, salah satu tokoh penting dalam film itu, Daniel Molly (diperankan dengan pas oleh Christian Slater), adalah seorang wartawan (sayangnya, bukan wartawan Tempo). Ia “terpilih” (barangkali karena tulisannya “enak dibaca dan perlu”) mewawancarai makhluk-makhluk rupawan peminum darah itu, terutama vampir alfa bernama Lestat de Lioncourt yang diperankan dengan memikat oleh Tom Cruise.
Semangat kewartawanan Goenawan Mohamad pun bangkit. Apalagi, seperti kata seorang lawan debatnya soal sains, “ia menyukai misteri di semua level". Goenawan mengaku menyukai Interview with the Vampire lantaran Brad Pitt berlakon menawan sebagai vampir Louis de Pointe du Lac di situ.
“Saya suka film itu, yang menggolongkan vampir ke dalam jenis hantu, mengikuti klasifikasi UNESCO,” kata Goenawan Mohamad. “Di dalamnya, si hantu tampak melankolis dan ganteng.”
Maka blusukanlah penulis Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang itu di sejumlah kota dan kabupaten di Nusantara untuk menemui dan mewawancarai hantu-hantu di sana. Selain di kota dan kabupaten di Pulau Jawa (Jakarta, Karawang, Bekasi, Semarang, Boyolali, Kulon Progo, Brebes, Madiun, Lamongan, Batang, dan Demak), ia blusukan di kota dan kabupaten di Pulau Kalimantan (Pontianak), Pulau Maluku (Tidore), dan Sumatera (Bandar Abung, Lampung Utara).
Di kota dan kabupaten itu, Goenawan menjumpai 27 hantu yang bergentayangan di belakang rumah sakit, di atap rumah sakit rujukan Covid-19, di gereja tua dekat warung sate, di rumah desa tua, di perkuburan umum, di perkuburan Belanda, kawasan industri batik, di kamar pengantin baru, di kamar mandi psikolog, di kamar mandi sekolah menengah atas khusus perempuan, di pertunjukan jaipong, di acara kuliner, di gedung pusat belanja, di pasar rakyat, di gedung badan usaha milik negara, di pohon cempedak, dan di pohon cabai rawit.
Ke-27 hantu itu, sekalipun semuanya berupa grotesk (kecuali yang bisa malih rupa sebagai pelayan seksi diskotek atau gadis manis milenial), memiliki riwayat dan sifat tiada banding yang belum terendus Badan Intelijen Negara dan Google atau mesin pintar canggih dan lembaga telik sandi lain di muka bumi ini.
Sebenarnya jumlah mereka lebih dari 27. Mungkin mengetahui Goenawan musuh berbahaya Orde Baru, alih-alih menolak, mereka mengutus perwakilan untuk diwawancarai sonder difoto, misalnya wakil-wakil genderuwo dan kuntilanak. “Padahal genderuwo dan kuntilanak termasuk jenis ‘hantu pamer’ yang gemar muncul bikin heboh,” ucap Goenawan.
Selain “hantu pamer” semacam genderuwo dan kuntilanak, menurut Goenawan Mohamad, mengikuti penelitian Von Munchaussen ihwal jenis hantu di Nusantara, ada juga “hantu pemalu”, misalnya Jim Isin di Kabupaten Brebes. Bentuknya seperti mikroskop peyot dan selalu merunduk.
“Saya sadar tampang saya jelek,” tutur Jim Isin di belakang rumah sakit bagian histologi dalam suatu wawancara membosankan dengan seorang pakar “hantuologi” dari sebuah universitas di Sumedang yang disalin Goenawan Mohamad saat berkunjung ke sana.
Atas ketahudirian Jim Isin itu, kata Goenawan Mohamad, “Saya pernah ketemu dia, tapi tak ingin menegur.”
Seperti halnya Jim Isin, di Maluku Selatan Goenawan menjumpai satu “hantu pemalu”, tiga sekawan bermata satu, bernama Trikora-kora. Tubuh mereka berwarna merah marun, hitam jelaga, dan cokelat pekat.
“Tapi mereka menjengkelkan,” ucap Goenawan, “bukan lantaran mereka gemar naik sepeda tengah malam di dalam kamar pengantin baru, melainkan karena mereka suka ngintip adegan ranjang, terutama waktu pengantin perempuan makan bakmi.”
Sebaliknya, ketika blusukan di perkuburan antara Karawang dan Bekasi, Goenawan Mohamad bertemu dengan Hantu Rapopo yang termasuk jenis “hantu pamer”. “Ia gemuk dan sombong,” tulis Goenawan Mohamad. Bisa jadi karena sesumbarnya ini: “Saya kenal semua tulang-tulang yang berserakan di sana.”
Anehnya, “ia tak suka puisi Chairil Anwar,“ Goenawan mengungkapkan. “Seperti umumnya hantu, ia penggemar sajak Ajip Rosidi.”
Yang tidak umum ialah Jenana Badra, “hantu pamer” yang bergentayangan di Gedung Sarinah. Mengutip Goenawan, “Ia suka nungging dan memperkenalkan trik-trik baru untuk menakut-nakuti manusia. Antara lain dengan menyanyikan lagu ciptaan Tony Prabowo.”
Satu lagi yang tidak umum adalah Hantu Erotis. Kata Goenawan, mengutip sebuah pendapat, “Si hantu berasal dari roh penyanyi dangdut Pantura yang suka lagu Siti Badriah, ‘Sandiwaramu Sungguh Luar Biasa’.”
Sampai pada titik itu, baiklah diketahui, sepenuhnya kisah dan potret 27 hantu itu dapat kita simak dalam serial karya seni cetak grafis Kitab Hantu Goenawan Mohamad di Artjog 2023 yang berlangsung di Jogja National Museum, Jalan Ki Amri Yahya Nomor 1, Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta, 30 Juni-27 Agustus 2023.
Kitab Hantu tercetak dengan teknik cetak saring di atas kertas daluang (paper mulberry atau Broussonetia papyrifera) buatan tangan berukuran 69 x 48 sentimeter (terbuka) dan 34,5 x 48 sentimeter (terlipat). Kertas langka itu bikinan Aryatama Nugraha dari Devfto Printmaking Institute, Ubud, Bali, tempat Goenawan berseni cetak grafis di bawah bimbingan master printer Devy Ferdianto, Dewa Made Johana, dan Agung Pramana, sekitar satu setengah tahun belakangan.
Di tempat itu pula, sebelum membuat Kitab Hantu, Goenawan Mohamad menciptakan seri karya dan artist book cetak saring, litografi, dan intaglio Kitab Kurawa dan Kitab Hewan yang dipamerkan di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 27 Juni-5 Agustus 2023. Kitab Hewan pernah diperhelatkan di Sika Gallery, Ubud, 4 Februari-5 Maret 2023, dan di Dia.Lo.Gue, Jakarta, 16 Februari-16 Maret 2023.
Dengan ketiga kitab tersebut, mungkin kita ingin bertanya: setelah sebelumnya menciptakan ratusan sketsa, drawing, dan lukisan—dan memamerkannya dalam belasan pameran tunggal dan bersama di berbagai kota di Tanah Air sepanjang delapan tahun terakhir—apa yang memanggil perupa yang lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, itu berseni cetak grafis?
“Saya ingin membangun kesukaan peminat seni rupa Indonesia pada intaglio, litografi, dan cetak saring,” tutur Goenawan, “jenis yang praktis tergeser dari lembaga pendidikan dan tak menghebohkan ‘pasar’.”
Atas keinginan itu, Kitab Hantu pun menjadi sumbangan berharga bagi khazanah seni cetak grafis dan seni rupa kontemporer Indonesia, terutama dalam pokok perupaan karya. Hemat saya, pokok perupaan Kitab Hantu tiada duanya di dunia seni rupa kontemporer Indonesia dalam 20 tahun belakangan. Mengkombinasikan dengan pas teks dan gambar, Kitab Hantu menerobos keunikan lukisan naif, komik, atau karikatur sebagai seni rupa pastiche.
Mengambil perkataan Umberto Eco dalam How to Travel with a Salmon and Other Essays, seni rupa pastiche berbeda dengan seni rupa sosial-politik yang terlalu serius memandang diri sendiri tanpa intensi kritis atau moralistik dan pembenaran ideologis, kecuali kegembiraan yang mengandung ironi agar tak menjadi lelucon belaka bagi pemirsa untuk tersenyum atau tertawa, tidak boleh takut untuk melebih-lebihkan sesuatu.
Dengan Kitab Hantu, kita beroleh sebuah karya seni rupa pastiche yang menghablurkan kata dan rupa sebagai apa yang disebut Goenawan: “Keindahan merupakan perayaan dan kegembiraan akan ketidakterdugaan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Goenawan Mohamad dan 27 Hantu"