Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan yang mengedukasi anak-anak muda supaya melek politik dan pemilu.
Agar anak muda tidak memilih kucing dalam karung di Pemilu 2024 nanti.
Mayoritas pemilih di Pemilu 2024 adalah generasi muda.
KOTA Bengkulu menjelang Pemilihan Umum 2014. Untuk pertama kalinya, Jhon Ias Ganesa yang saat itu telah berusia 17 tahun punya kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sebelum hari pencoblosan, Jhon menerima sejumlah masukan dari orang-orang di sekitarnya. Orang tuanya bahkan menyarankan dia memilih salah satu calon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu membuat siswa sebuah sekolah menengah atas di Bengkulu tersebut pun gamang. Hingga akhirnya hari pemilihan tiba. Sesampai di tempat pemungutan suara, Jhon meraih telepon selulernya sebelum mendapat giliran mencoblos. Dia langsung mengunjungi beberapa portal di Internet yang menyajikan informasi tentang profil para kandidat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya, waktu itu informasi mengenai kandidat belum sederas sekarang. Media sosial juga masih belum banyak. Dengan keterbatasan informasi itu, Jhon akhirnya memilih salah satu calon anggota legislatif. Boleh dibilang Jhon saat itu memilih sekenanya.
Lima tahun berselang atau pada 2019, situasinya agak berbeda. Jhon sudah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun itu pula menjadi kesempatan kedua Jhon untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Sebagai mahasiswa yang berkegiatan dalam beberapa organisasi, dia sudah akrab dengan berbagai macam informasi mengenai pemilu dan politik yang dilahap dari Internet, hasil riset, buku, hingga jurnal.
Dengan bekal itu, kebingungan Jhon mengenai informasi para kandidat sampai partai politik sedikit teratasi. “Itu saya lakukan agar bisa memilih sesuai dengan hati nurani. Saya ingin wakil rakyat yang saya pilih itu tepat,” kata Jhon kepada Tempo, Senin, 10 Juli lalu.
Karena keresahan atas minimnya informasi mengenai pemilu, khususnya buat anak-anak muda, itulah Jhon kemudian membuat Voice of Democracy Indonesia atau Vodem.id pada 2021. Bersama tiga rekannya, dia membuat sebuah platform di website dan media sosial yang berfokus memberikan edukasi politik dan pemilu. “Kami ingin membangun platform yang bisa mengedukasi setiap anak muda untuk bisa punya andil dalam pesta demokrasi ini,” ujar Jhon.
Pemberian materi secara daring oleh Jhon Ias Ganesa Simamora dan Voice of Democracy Indonesia/Dok Pribadi
Jhon mengatakan Vodem.id banyak menyasar generasi muda yang berdomisili di luar Pulau Jawa dengan menjelajahi ruang virtual. Hampir 90 persen kegiatan yang digagas Vodem.id berlangsung secara online lantaran domisili yang berbeda-beda. “Respons anak-anak muda terhadap kegiatan semacam itu memang besar, antusiasmenya lumayan tinggi,” tutur Jhon, yang kini berdomisili di Samarinda, Kalimantan Timur.
Vodem.id, Jhon menambahkan, juga terbantu oleh banyaknya generasi muda yang bergabung sebagai relawan. Rata-rata relawan adalah mereka yang sebelumnya kerap menikmati konten-konten Vodem.id. Beberapa relawan juga berasal dari sejumlah daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sebagian besar berbasis di kampus.
Menurut Jhon, sejumlah isu banyak diminati anak-anak muda dalam diskusi dan kegiatan yang digelar Vodem.id. Salah satunya isu mengenai politik identitas serta suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. Banyak dari mereka, kata Jhon, yang tidak ingin isu semacam itu mencuat dalam Pemilu 2024. Isu lain yang juga banyak peminatnya adalah kebijakan publik.
Jhon menerangkan, sebagai gerakan yang tidak terafiliasi dengan partai ataupun tokoh politik tertentu, Vodem.id mengandalkan pendanaan pribadi untuk menjalankan kegiatannya. Vodem.id juga belum bisa memberikan honorarium kepada para relawan yang kerap membantu mereka. “Pendanaan kami ya masih dari kami berempat ini. Fokus kami dari kita untuk kita,” ucapnya.
•••
ANAK-ANAK muda menjadi pemilih mayoritas dalam Pemilu 2024 mendatang. Komisi Pemilihan Umum menetapkan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap Nasional untuk Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 orang. Dari jumlah itu, 52 persen atau 106.358.447 orang adalah pemilih muda.
Para pemilih muda itulah yang menjadi tujuan gerakan independen seperti Vodem.id, yang belakangan banyak muncul. Gerakan itu bertujuan agar masyarakat, terutama anak-anak muda, bisa membuat pilihan dalam pemilu yang didasarkan pada informasi berkualitas.
Selain Vodem.id, ada Bijak Memilih, yang lahir atas perjumpaan antara Think Policy—komunitas yang mendorong kebijakan publik yang lebih berbasis bukti dan empati—dan What Is Up, Indonesia? (WIUI), media independen yang menyajikan berita sosial-politik Indonesia dalam bahasa Inggris.
Syahdan, sebuah pesan pendek masuk ke nomor telepon seluler Abigail Limuria, Chief Executive Officer WIUI, akhir 2022. Pengirim pesan itu adalah Andhyta Firselly Utami, CEO Think Policy, yang berisi ajakan membuat sebuah gerakan untuk hajatan Pemilu 2024 mendatang. Dari situ Afu—sapaan Andhyta—bersama Abigail merumuskan metode untuk menghasilkan data dan informasi mengenai isu politik dan pemilu, dari soal kandidat hingga partai politik. Tujuannya agar para pemilih dari generasi muda bisa menentukan suara berdasarkan data.
Beberapa waktu kemudian, mereka berdua menemukan ide untuk membuat sebuah portal yang menjadi wadah informasi mengenai pemilu dan politik yang netral serta independen. “Jadi akhirnya kami bersepakat namanya Bijak Memilih,” kata Afu ketika berbincang dengan Tempo, Jumat, 7 Juli lalu.
Menurut Afu, selama ini ada hal yang kerap terputus antara sebuah isu dan proses politik yang berjalan. Contohnya, politik selalu berbicara tentang persona atau sosok yang akan memimpin dan membikin kebijakan untuk beberapa tahun ke depan. Namun informasi mengenai isu-isu proses politik yang ada hari ini tidak banyak dibicarakan. “Karena itu, Bijak Memilih hadir sebagai wadah informasi bagi orang-orang, khususnya kaum muda, untuk menentukan pilihannya berdasarkan data,” ujarnya.
(dari kiri) Abigail Limuria dan Andhyta F Utami, di Jakarta, 7 Juli 2023. Tempo/Jati MahatmajiProgram diskusi Generasi Melek Politik dengan tema "Melek Politik Tanpa Intrik", Festival Indo Relawan, 2018/Dok Generasi Melek Politik
Dengan merujuk pada sejumlah survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti Indikator, Yayasan Cerah Indonesia, dan British Council, Bijak Memilih mengidentifikasikan isu-isu yang relevan dan dekat dengan kaum muda. “Kami bikin website agar orang-orang mencari tahu, apa sih kaitan isu yang mereka pedulikan dengan posisi partai ataupun kandidat yang ada,” kata Afu.
Isu strategis yang banyak diminati kaum muda antara lain korupsi, kerusakan lingkungan, polusi, kesehatan, perubahan iklim, dan lapangan pekerjaan. Dari survei British Council, tutur Afu, Bijak Memilih juga mendapat angka mengenai kepuasan anak-anak muda atas kebijakan pemerintah. Sebanyak 32 persen anak muda merasa pemerintah sudah efektif. Sebanyak 30 persen menyatakan bahwa pemerintah belum efektif dan 38 persen memilih netral.
Abigail menambahkan, hadirnya Bijak Memilih juga bertujuan membantu generasi muda dalam hal kerangka berpikir. Dari serangkaian perjumpaan mereka, Abigail mendapati banyak generasi muda yang sebenarnya resah dan peduli terhadap wacana pemilu. Namun sebagian dari mereka merasa kebingungan untuk melakukan riset dan mencari informasi mengenai kandidat hingga partai politik. Misalnya partai politik mana yang paling berfokus pada isu lingkungan dan korupsi. “Itu kan akhirnya memilih berdasarkan kepentingan kita,” ujar Abigail.
Secara spesifik, Bijak Memilih menyasar mereka yang masuk kategori urban middle class youth dengan rentang usia 17-40 tahun dan mempunyai akses ke Internet.
Abigail menerangkan, dalam mendistribusi wacana dan informasi, Bijak Memilih mempunyai kegiatan tatap muka ataupun virtual. Dengan menggandeng berbagai komunitas, mereka kerap menggelar diskusi mengenai sejumlah isu. Untuk meluaskan jangkauan informasi kepada anak-anak muda, kata Abigail, mereka juga memanfaatkan sejumlah platform media sosial, seperti Instagram.
Abigail mengatakan gerakan Bijak Memilih juga mengusung semangat desentralisasi. Dalam konteks ini, Bijak Memilih hadir memberikan informasi yang akurat dan tepercaya kepada para generasi muda. Dengan berbasis data, Bijak Memilih mendapuk diri sebagai gerakan yang berfokus mendistribusikan wacana dan edukasi mengenai pemilu, bukan mengadvokasi.
Semangat desentralisasi, tutur Abigail, diejawantahkan dengan menjangkau generasi muda untuk terlibat aktif dalam Bijak Memilih. “Salah satu upaya yang ditempuh dengan membuka ruang bagi generasi muda untuk bisa menjadi relawan,” ujarnya. “Tentunya yang sejalan dengan serangkaian kegiatan Bijak Memilih, seperti kampanye, diskusi, dan road show.”
Rupanya, antusiasme terhadap hal itu cukup besar. Menurut Abigail, banyak yang mendaftar sebagai relawan adalah anak SMA dan mahasiswa. “Kalau volunter itu kebanyakan pelajar atau mahasiswa,” kata Abigail.
Andhyta Firselly alias Afu menambahkan, “Mungkin kami tuh seperti melawan mitos orang muda enggak peduli, tapi yang kami temukan itu bukan tidak peduli, tapi frustrasi, sudah tahu ada masalah tapi tidak tahu mau ngapain. Kami bergerak bareng-bareng,” tuturnya.
•••
LANGKAH serupa dijalankan Generasi Melek Politik, yang bernaung di bawah Yayasan Partisipasi Muda. Berdiri pada 2017, organisasi nonprofit yang mengklaim tak terafiliasi dengan partai dan tokoh politik mana pun itu bertujuan memberikan pendidikan politik bagi anak muda dengan rentang usia 17-25 tahun melalui cara yang menyenangkan.
Sama halnya dengan Bijak Memilih, Generasi Melek Politik hadir dalam bentuk portal serta meluaskan jangkauan informasi dan edukasi mengenai politik dan pemilu melalui sejumlah platform media sosial. Berbasis di Jakarta, mereka berfokus memberikan informasi politik dan pemilu yang dikemas dengan cara kekinian.
“Antusiasme anak muda hari ini memang bagus dan kami memang ingin mengambil fokus di isu politik karena mudah diakses,” ucap Co-founder dan Program Manager Generasi Melek Politik, Alfa Lazuardy, kepada Tempo, Rabu, 12 Juli lalu.
Alfa menjelaskan, organisasinya mempunyai tiga program utama, yaitu diskusi, Temu Kandidat, dan Academia Politica. Untuk program diskusi, mereka banyak membikin acara secara daring. Tema yang dibahas antara lain tentang kota berkelanjutan dalam konteks ibu kota negara, infografis mengenai tiga nama yang mencalonkan diri sebagai kandidat presiden, dan video tentang cara jitu menentukan pilihan di Pemilu 2024.
Dalam menjalankan program Temu Kandidat, Alfa melanjutkan, Generasi Melek Politik turut menghadirkan perjumpaan antara calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat ataupun calon kepala daerah dan komunitas anak muda. Harapannya, dari pertemuan itu, anak-anak muda bisa menyampaikan aspirasi mereka secara langsung. Sejak 2020, kata Alfa, setidaknya ada lima kandidat kepala daerah yang mereka hadirkan. “Salah satunya Sulawesi Tengah,” tutur Alfa.
Adapun konsep program Academia Politica, menurut Alfa, dihadirkan dalam format lokakarya. Komunitas ataupun personal yang mewakili generasi muda akan hadir di kelas dan dibagi dalam beberapa grup. “Di sana anak-anak muda akan diajak mendiskusikan sebuah isu, bertukar gagasan, sampai menyusun argumen,” ujarnya.
Program diskusi Generasi Melek Politik dengan tema "Melek Politik Tanpa Intrik", Festival Indo Relawan, 2018/Dok Generasi Melek Politik
Dalam perjalanannya, Generasi Melek Politik melihat ada tren positif perihal antusiasme anak-anak muda terhadap isu politik dan pemilu. Yang teranyar, kata Alfa, mereka baru mengadakan survei bekerja sama dengan lembaga riset Pelopor Pilihan 17. Hasil survei yang dirilis pada April lalu itu menunjukkan bahwa generasi muda menganggap isu pendidikan, kebebasan berpendapat, dan kesehatan sebagai topik penting.
Alfa menambahkan, 50 persen anak muda di Indonesia juga mempertimbangkan isu lingkungan sebagai hal yang penting. “Anak muda di Jawa dan luar Jawa mulai banyak melakukan gerakan dalam isu lingkungan,” ucap Alfa. “Termasuk isu udara buruk, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim.”
Menurut Alfa, banyak konten Generasi Melek Politik yang menjadi pergulatan anak-anak muda untuk bertukar pikiran. Misalnya melalui kolom komentar konten yang diunggah. Dari situ Generasi Melek Politik melihat antusiasme yang tinggi di kalangan anak muda dalam mengkritik sebuah isu. “Artinya, kami bisa menciptakan suatu reaksi, walaupun reaksinya di luar kontrol kami, alhamdulillah banyak respons,” katanya.
Salah satu anak muda yang merasa terbantu oleh kehadiran lembaga independen seperti Generasi Melek Politik, Bijak Memilih, dan Vodem.id adalah Hanna Pertiwi. Perempuan 27 tahun asal Samarinda itu menaruh perhatian pada isu politik sejak kuliah. Hanna kerap berselancar di Internet untuk mencari informasi. “Untuk memperbarui wacana politik, saya kerap mencarinya lewat wadah semacam Bijak Memilih dan Vodem.id,” tuturnya.
Menurut dia, dengan hadirnya ruang baru dalam hal edukasi wacana pemilu seperti Bijak Memilih dan Vodem.id itu, generasi muda memiliki banyak opsi untuk menangkal kebingungan. “Menurut aku, sudah banyak informasi soal calon presiden sampai pemilu dari sana,” kata Hanna. “Yang menarik, setiap platform punya karakteristik masing-masing. Ada yang tampil secara visual. Anak muda seperti saya menyukainya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wadah Melek Politik Kaum Muda"