Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perhelatan alek nagari di Padang.
Digelar di bekas pabrik semen tua Indarung I.
Menjadi tempat alternatif berkesenian.
HUJAN belum jua mereda sejak dinihari, tapi tak menyurutkan semangat segenap panitia dan hadirin di antara bangunan tua yang mulai keropos dimakan usia. Seekor kerbau besar telah disembelih saat hari masih gelap. Mesin-mesin giling berbentuk seperti bejana silindris yang sedikit miring horizontal bak tabung pipa raksasa peninggalan Belanda telah berhias dengan kain pelaminan khas Minangkabau. Semua alat musik pun sudah tertata rapi. Tapi kemudian panitia menutupinya dengan terpal agar tak basah oleh hujan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, di sebuah ruangan bekas gudang kiln, Aidil Usman, Direktur Indarung Heritage, terlihat memimpin puluhan perempuan memasak rendang daging kerbau yang telah disembelih itu. Ia memasukkan satu per satu rempah-rempah bumbu masakan ke kuali. Di bagian lain ruangan itu, beberapa perempuan tampak menyusun piring. Ada juga yang tengah memasak lemang bambu. Beberapa saat kemudian, makanan siap dihidangkan. Tamu undangan mulai berdatangan. Sejumlah rencana acara pagi itu sedikit meleset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Terpaksa dipindahkan karena hujan tak kunjung berhenti,” ujar Aidil kepada Tempo di Indarung I, Kota Padang. “Rencananya tadi juga ada arak-arakan ibu-ibu membawa makanan ke kawasan Indarung I. Kami berencana makan bajamba.”
Rabu, 5 Juli lalu, acara alek nagari digelar di bekas pabrik semen tua Indarung I di kawasan PT Semen Padang, Kecamatan Lubuk Kilangan, sekitar 14 kilometer dari Kota Padang. Perhelatan seni budaya itu menyemarakkan bangunan-bangunan yang mulai tertutup tanaman liar. Beberapa cerobong asapnya sudah hancur karena korosi. Struktur bangunannya pun perlahan lenyap. Meski begitu, tiang-tiangnya masih terlihat kokoh.
Acara mulai digelar di tempat yang lebih kering. Seni pertunjukan randai ditampilkan. Randai adalah kesenian asal Minangkabau yang mengedepankan permainan tangan seperti silat dan dialog seperti drama dengan iringan suara seruling dan gendang. Lalu ada rabab yang mengantarkan gesekan biola dan petikan gitar pada sebuah nyanyian berbahasa Minang. Setelah dua lagu dinyanyikan, alunan musik nan rancak mengiringi dendang gamaik. Anggota masyarakat satu per satu mulai maju ke arah pentas, ikut bergoyang.
Pertunjukan Randai di kawasan Pabrik Indarung I oleh Sanggar Seni Indarung, di kawasan PT Semen Padang, Lubuk Kilangan, Padang, Sumatera Barat, 5 Juli 2023. Fachri Hamzah
Selepas acara seni, Aidil dan beberapa pemangku kepentingan, pejabat lokal, menandatangani sebuah pakta dan membacakannya dengan lantang. Mereka bersepakat membangun komitmen menjaga kelestarian kawasan Indarung I. Acara alek nagari Lubuk Kilangan ini, Aidil mengungkapkan, adalah pernyataan untuk menyampaikan rasa syukur atas ditetapkannya kawasan Indarung I sebagai cagar budaya nasional. Dia berharap upaya ini juga mendorong PT Semen Padang bergerak cepat membangun dan merawat Indarung I. “Kami libatkan semua pemangku kepentingan daerah sampai pemuda dan niniak mamak,” katanya.
Aidil melihat potensi yang luar biasa dari kawasan Indarung I, dari wisata, kesenian, hingga sejarah. “Saya melihat Indarung I dari segi artistiknya sangat luar biasa. Saya pastikan tidak ada yang mengalahkan keindahan Indarung I di Indonesia,” ucapnya. Ia bersama teman-temannya ingin menjadikan kawasan Indarung I wadah atau tempat alternatif untuk berkesenian. Mereka tak hanya merawat nilai tradisi dengan seni, tapi juga menjaga budaya kuliner di bekas gudang kiln. “Ini semacam bentuk gastrodiplomasi. Di era Sukarno, makanan daerah dijadikan alat diplomasi,” ujarnya.
Tahun lalu, Aidil juga menggerakkan para seniman daerah lewat kegiatan berjudul Indarung Art Market. Acara ini mengundang kelompok seni di beberapa daerah di Sumatera Barat untuk tampil di kawasan Indarung I. Ia menargetkan kawasan ini sebagai destinasi wisata kesenian. Pertunjukan-pertunjukan seni tradisional tak hanya dipentaskan di panggung dalam gedung, tapi juga dibawa keluar ke ruang-ruang alternatif, seperti bekas pabrik, di Indarung I. Ada pendekatan sejarah, antik, menjadi seni kontemporer dengan pendekatan tradisi.
Aidil sendiri sudah mulai berkegiatan di Indarung I pada akhir 2017. Saat itu ia melihat bangunan tua dan bersejarah tersebut tak terawat, penuh jejak aksi vandalisme di dinding-dinding dan bagian bangunan lain. “Yang saya lihat itu potensi besar dari bangunan bersejarah yang tidak terawat,” tutur seniman asal Indarung ini.
Tak mudah memulai gerakan ini dengan masyarakat. Awalnya, ia hanya bergerak bersama mereka yang mau terlibat. Misalnya bersama komunitas Indarung Heritage ia menggelar workshop di bidang kesenian, seperti seni rupa, sastra, fotografi, dan teater, di Indarung I. Lalu Aidil rutin mengundang komunitas seni untuk berpentas di kawasan tersebut. “Ini adalah cara kami untuk merawat Indarung I,” katanya.
Aidil kemudian mulai menggandeng beberapa pihak dan mendorong Indarung I menjadi cagar budaya nasional. Setelah harapan itu terwujud, mereka menargetkan Indarung I ditetapkan sebagai cagar budaya warisan dunia.
Pabrik semen Indarung I didirikan oleh perwira Belanda pada 18 Maret 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan ini dinasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi.
Sejarawan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Abdi Pendidikan Payakumbuh, Sumatera Barat, Fikrul Hanif Sufyan, mengatakan pabrik tersebut dibangun oleh perwira Belanda berkebangsaan Jerman, Carl Christophus Lau. Awalnya Lau menemukan batu-batu yang menarik di Indarung. Ia kemudian mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan pabrik semen di sana. "Permintaan itu disetujui lebih-kurang tujuh bulan kemudian,” ujarnya.
Dalam pendirian pabrik itu, ia menggandeng sejumlah perusahaan mitra, seperti Firma Gebroeders Veth, Fa.Dunlop, dan Fa.Varman & Soon, pada 18 Maret 1910. Ia lalu mendirikan pabrik yang bernama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij (NIPCM) dengan akta notaris Johannes Pieder Smidth di Amsterdam. Kantor pusatnya berada di Amsterdam, kantor di Padang menjadi cabangnya.
Mestika Zed menulis dalam buku berjudul Indarung Tonggak Sejarah Industri Semen Indonesia bahwa pabrik semen di Indarung ini menjadi tonggak sejarah industri besar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Legalitas perusahaan semen itu didasari Koninklijke Bewilliging pada 8 April 1910. Kiln pertama memproduksi 76,5 ton semen per hari. Pada 1939, menjelang meletusnya Perang Dunia II, pabrik ini memproduksi 170 ribu ton semen setahun. “Ini produksi tertinggi kala itu, waktu itu pabrik sudah mempunyai kapasitas hingga 210 ribu ton,” demikian Mestika menulis.
Aidil Usman dan para ibu-ibu sedang memasak daging rendang di Pabrik Indarung I, di kawasan PT Semen Padang, Lubuk Kilangan, Padang, Sumatera Barat, 5 Juli 2023. Istimewa
Dalam buku itu pula dijelaskan tanah yang dipakai sebagai pabrik disewa NV NIPCM dari tokoh masyarakat Lubuk Kilangan. Sebanyak 14 anggota niniak mamak menyerahkan hak guna usaha tanah kepada NV NIPCM. Penyerahan tersebut memiliki syarat, yaitu pemberian 1 sen per 170 kilogram semen setiap tahun selama 30 tahun. Saat berkuasa, Jepang mengambil alih pabrik. Manajemen perusahaan kemudian ditangani Asano Cement dari Jepang. Semua produksi pabrik ini digunakan untuk mendukung aktivitas militer Jepang.
Penguasaan Jepang terhadap pabrik ini hanya bertahan lebih-kurang dua tahun (1942-1944). Pada Agustus 1944, pabrik dibom hingga rusak parah. Setelah Indonesia merdeka dan pabrik dikuasai pemerintah, agresi militer memorak-porandakan kawasan itu. Pengelolaan pabrik pun kembali diambil alih Belanda.
Pabrik ini mandek beroperasi sejak 1999. Pabrik Indarung I lalu ditetapkan sebagai cagar budaya nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 54/M/2023 pada 27 Februari 2023. Namun kawasan cagar budaya nasional Indarung tersebut belum dibuka untuk umum.
Di Karanganyar, Jawa Tengah, koreografer Sardono W. Kusumo, teaterawan Tony Broer, dan kawan-kawan pernah memanfaatkan bekas pabrik gula Colomadu seabgai tempat pertunjukan alternatif. Mesin-mesin gigantik tua yang sudah tak berfungsi di pabrik Colomadu menjadi latar pementasan tari dan pertunjukan. Area pabrik semen Indarung juga dipenuhi bekas peralatan dan benda-benda pabrik berukuran besar, yang memang bisa menjadi site specific untuk pentas-pentas alternatif tari, teater, sampai musik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menjadikan Bekas Pabrik Semen Tempat Seni Alternatif"