DULU, seni rupa modern yang menampakkan pengaruh budaya lokal diragukan kemodernannya. Dijuluki seni rupa marjinal yang berakar pada ketradisionalan, bingkai pikiran yang ditentang modernisme. Kini ''marjinalisasi'' yang gegabah ini santer dipertanyakan kebenarannya. Paham modernisme ini, yang mengutamakan nilai-nilai universal dan mengabaikan budaya lokal, sudah mulai ditinggalkan. Dalam diskusi, paling-paling dianggap sekadar pandangan yang Ero-Amerisentris. Dalam konteks itu The First Asia Pacific Triennial of Contemporary Art di Brisbane menjadi penting. Pameran internasional ini dengan tegas memperlihatkan kecenderungan menentang pandangan yang Ero-Amerisentris itu. Sikap itu segera terbaca pada pandangan-pandangan yang muncul pada konperensi bertema Identitas, Tradisi dan Perubahan: Seni Rupa Kontemporer Asia Pasifik pada Triennial itu. Diskusi yang berlangsung, mudah diduga, mengacu pada konsep dekonstruksi pasca-modernisme yang meragukan semua prinsip modernisme. Di sini dipertanyakan (kembali) perkembangan seni rupa yang sentralistis dan keinternasionalan yang memutlakkan nilai-nilai universal. Pertanyaan ini kemudian dijawab dengan pengkajian hubungan seni rupa kontemporer dengan berbagai dimensi budaya lokal. Maka, tidak bisa disangkal, Triennial Brisbane adalah forum menentang perkembangan seni rupa kontemporer dunia yang sentralistis. Namun, di sisi lain, forum ini tidak menempatkan perkembangan kawasan Asia maupun Asia Pasifik ke dalam lingkaran eksklusif di luar konteks seni rupa kontemporer dunia. Karena itu, pameran yang disajikan Triennial Brisbane tidak hanya memperlihatkan perbedaan yang berakar pada budaya lokal, tapi juga kesamaan-kesamaan yang berpangkal pada perkembangan global. Dalam konferensi, pembicara dari Thailand, Dr. Apinan Poshyananda, menggambarkan keadaan itu dengan sangat cermat. Pandangannya mengoreksi kesimpulan hitam-putih berbagai teori yang sekarang ini dipercaya. Poshyananda, yang mengkritik keras marjinalisasi, mengemukakan identitas budaya bukan cuma masalah pengaruh budaya tradisional. Dan nasionalisme, yang disebut- sebut sebagai ciri era pasca-kolonial negara berkembang, harus dilihat pula sebagai perkembangan politik yang bisa saja menjadi kekuasaan represif. Di samping itu, tekanan globalisasi tidak hanya melahirkan ''kebudayaan Coca-Cola'' tapi membangun pula kesadaran baru tentang berbagai paham: identitas budaya, identitas nasional, seksualitas, masalah wanita, kemajuan, dan modernitas. Pandangan Poshyananda menunjukkan perlunya pemahaman lebih lanjut konsep-konsep yang memuat penafsiran lokal. Identitas nasional bagi para perupa Filipina, misalnya, tidak lagi berhubungan dengan nasionalisme yang dalam persepsi Barat dianggap ciri era pasca-kolonial. Pada karya-karya mereka yang dipamerkan di Triennial Brisbane, identitas nasional ini tampil melalui simbol-simbol masyarakat, idiom kesenian rakyat dan citra kebudayaan massa. Dua perupa Filipina, Imelda Cajipe-Endaya dan Santiago Bose, malah mengisi instalasi mereka dengan produk kesenian rakyat, yang oleh kritikus kita, Sanento Yuliman (almarhum), disebut sebagai ''seni rupa bawah''. Karya Imelda Cajipe-Endaya yang berjudul Spell tomorrow: A vision of health, abundance and harmony for Filipino Children adalah sekumpulan mainan kertas, kerajinan sulaman, anyaman nipah, dan tirai kembang-kembang yang disatukan dengan lukisan. Instalasi Santiago Bose, Marketplace, selain menampilkan seni rupa bawah, juga memperlihatkan penggunaan material lokal, yang diyakini bisa menampakkan identitas Filipina. Kecenderungan mencari simbol-simbol dalam seni rupa bawah pada karya-karya Filipina itu berbatas tipis dengan ekspresi yang memperlihatkan kritik sosial. Selain masalah politik, seperti terlihat pada karya Lazaro Soriano, Local Child's Play: Sticks and Stones (karikatur Cory Aquino), kritik sosial ini mengetengahkan pula masalah kesmiskinan dan ketimpangan sosial. Pada karya-karya pegrafis wanita, Brenda Fajaro, kritik sosial diwarnai pula masalah penindasan wanita. Kecenderungan mencampurkan kepedulian sosial dan ketradisionalan seperti pada karya-karya Filipina itu tampak merata pada karya-karya Asia walau dengan intensitas dan tekanan berbeda. Ini kesamaan yang menarik, yang menunjukkan bahwa ekspresi protes para perupa tidak hanya berakar pada masalah sosial. Ketradisionalan dan ekspresi kemasyarakatan juga merupakan sumber penting. Kondisi ini membuat masalah sosial politik pada karya mereka tidak terlihat sebagai persoalan hak asasi manusia yang universal. Ekspresi mereka, ungkapan personal yang berakar pada keadaan lokal. Instalasi Dadang Christanto, For those who have been killed, misalnya, berangkat dari kisah Resi Bisma menunggu kematiannya. Ini metafora silent violence yang mendasari ketimpangan sosial: keserakahan, manipulasi kekuasaan, kelicikan, dan pemujaan kekayaan. Karya ini, kumpulan batang-batang bambu yang menyerupai manusia, digantung, ditusuk, dipasak, dan digurat dengan besi panas. Material bambu, anyaman lidi, pasak kayu pada karya Dadang itu tampak jelas berangkat dari seni rupa bawah. Pengolahannya dekat dengan komposisi ranting dan patung tanah miniatur pada karya Kwan-Soo Kim dari Korea, berjudul Black Box. Di Filipina pengolahan semacam ini diluaskan melalui ''Gerakan Material Lokal'' (mencari identitas nasional) yang ditokohi perupa Junyee pada tahun 1970-an. Nada yang sama diperlihatkan instalasi Zulkifli Yusof dari Malaysia, berjudul The Power. Karya ini, konstruksi kayu yang dibalut kain hitam-putih, dengan segera memperlihatkan kesederhanaan material yang bersifat lokal. Yusof, seperti Dadang, mempermasalahkan praktek kekerasan yang dianggapnya selalu berakhir dengan kehancuran. Karya perupa ini menampilkan metafora rumit melalui simbol-simbol senjata, benda tajam, jembatan, dan tangga. Karya Performance Heri Dono, The Chair, juga memanfaatkan seni rupa bawah dan ketradisionalan. Pertunjukan yang mengadaptasi ide teater jalanan Jatilan ini menampilkan kritik sosial, melalui produk seni rupa bawah dan kepercayaan masyarakat tradisional yang mistis. Pendekatan Dono mengolah seni rupa bawah sangat dekat dengan konsep Bul Lee dari Korea dalam karya Hwa-Um, deretan ikan sungguhan, seperti di supermarket, yang didandani pernik-pernik perhiasan pasar. Dalam bentuk lukisan, campuran masalah sosial dan persepsi budaya lokal secara umum melahirkan komposisi yang riuh, dinamis, ekspresif, dan kaya simbol. Inilah yang diperlihatkan lukisan-lukisan Prasong Luemang (Thailand), Sudjana Kerton, Dede Eri Supria (Indonesia), Edgar Fernandez (Filipina), dan Joe Nalo (Papua Nugini). Lukisan-lukisan ini menampakkan benturan persepsi tentang modernitas. Terlihat paling jelas pada lukisan Prasong Luemang, Animal Intercourse, dan lukisan Sudjana Kerton, Kuda Kepang. Kesamaan menarik pada kedua pelukis ini: keduanya melihat perubahan masyarakat masa kini sebagai kerakyatan yang mengembangkan spirit kebinatangan untuk survive. Tentunya terdapat dimensi lain pada Triennial Brisbane. Sejumlah karya menampakkan konsepsi yang mengacu pada standar seni rupa kontemporer yang mapan. Misalnya, karya Shigeo Toya dan Tsuguo Yanai (Jepang), Bohn-Chang Koo (Korea), Araya Rasdjarmrearnsook dan Kamol Phaosavsdi (Thailand), Peter Roche (Selandia Baru), Bronwyn Oliver (Australia), dan Srihadi Soedarsono (Indonesia). Kualitas karya-karya yang menampilkan eksplorasi idiom yang personal ini lebih mudah terbaca. Karya-karya para perupa Australia sendiri tenggelam di antara keriuhan Triennial Brisbane. Penempatan karya-karya ini pada tempat-tempat yang menyudut memperlihatkan jiwa besar penyelenggara yang tidak menggunakan kesempatan untuk menonjolkan Australia. Namun, di balik ini ada sikap kurasi yang progresif. Di sini seni rupa kontemporer meliputi pula seni rupa Aborijin asli (Mountain devil lizard karya kolaboratif Bird Petyarre, Gloria Petyarre, dan Kathleen Petyaree). Ini berarti Australia, satu-satunya negara yang menyajikan seni rupa kontemporer yang berakar pada dua frame of reference yang berbeda. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini