TIDAK semua orang tahu, yang akan dipertunjukkan tanggal 6-8
Pebruari di TIM itu pencak silat sebagai perkelahian atau
sebagai tarian. Ataukah gubahan tari "modern" yang mengambil
unsur pencak silat Acara itu sendiri disebut Festival Tari
Pencak Silat diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Kesenian
P & K bersama Dewan Kesenian Jakarta. Jadi ini memang tari,
hanya saja tentu ada silatnya. Moga-moga ramai.
Tapi acara pertama di malam pertama, lesu. Orang seperti bersiap
melihat sebuah acara TVRI, ketika satu rombongan dengan pakaian
adat Minangkabau - lengkap dengan seorang gadis membawa sesajian
dan mengenakan tutup kepala yang khas--mengalir dari belakang
panggung untuk duduk berjejer di arena menghadap penonton.
Bagian selanjutnya sudah dapat diduga: gerak-gerik yang lamban.
Meski ternyata tidak ornamentik atau penuh pulasan seperti di
TV, tak urung tarian silatnya yang kedua, yang bernama Hulu
(Alu) Ambek, tak mampu menyebarkan bobot intens yang
dikandungnya ke tengah penonton yang sama sekali tak tahu
latar-belakang.
Nyatalah: ketika muncul rombongan tari Bagong Kussudiardjo dari
Yogya, acara Minang serta-merta disingkirkan dari ingatan
penonton dan mereka bertepuk riuh. Bagong, dengan gubahan
barunya Igel-igelan yang dikatakan mengambil gerak dan bentuk
pencak, mengguyur penonton dengan kehangatan barisan para
penarinya, putera maupun lebih-lebih puteri. Dalam kostum hitam
mereka mengalirkan adegan demi adegan dengan lincah, tangkas,
dalam tempo yang tinggi.
"Kepribadian Indonesia"
Ini sebuah festival pencak tradisionil ataukah parade gubahan
baru? Bagong memang mengambil unsur pencak. Bahkan pada nomor
tambahannya, Beksan Wayang Golek Umarnaya-Umarmadi yang
bergerak bagai golek siku-siku (idenya dinyatakan dari Sultan
Hamengku Buwono IX tahun 1940-an), terdapat persamaan gerak
tangan, perpindahan posisi kaki dan ekspresi dengan pencak
silat. Namun pada Igel-igelan, senjata yang dipakai, perisai
misalnya, bukanlah senata silat sementara para penarinya
sendiri bukan pula pemain silat--dan memang tidak perlu.
Sebaliknya Jawa Barat, dengan kelima nomornya (Ibing Rampak,
Cimande, Paleredan, Cikalong, dan Cikeruhan), menampilkan yang
tradisi dalam berbagai bentuk. Termasuk demonstrasi perkelahian
dari ibu yang berusia 58 tahun dan seorang pria (lihat gambar).
Tari Cikeruhan misalnya, memang halus dan kebetulan ditarikan
dengan "kosong", sedikit malu-malu. Namun ia merupakan bagian
dari Ketuk Tilu yang populer itu, alias bukan gubahan penata
tari "modern".
Jakarta dalam pada itu menampilkan yang tradisi dengan Tari
Blenggo, satu jenis pencak yang berkembang di kalangan santri
dengan iringan rebana besar dan zikir. Berikutnya adalah Samrah
dan Si Pecut Langkah Empat. Ada juga perkelahian anak-anak muda
(lebih mengingatkan pada hasil kursus silat daripada
perbendaharaan asli), yang dibanding pertarungan dari Priangan
sama-serunya namun tanpa keluwesan gerak pencak yang dimaksud.
Campurbaur itu memang agak membingungkan - menjadi tak jelas apa
sebenarnya yang mau dicapai Festival: mempertunjukkan kekayaan
tradisi satu per satu ataukah sekumpulan tontonan -- asal
menarik. Orang misalnya bertanya: kalau sekiranya Yogya memang
tak punya tradisi pencak silat yang khas, mengapa harus
dicari-cari, "mentang-mentang Yogya"? Padahal ada Jawa Timur -
dan ada daerah lain yang beragam. Tetapi kekurangan perencanaan
untuk ide bagus dari Departemen P & K - juga kelihatan dalam dua
hari diskusi menyertai Festival.
Di situ sebagian kertas kerja bahkan masih berbicara tentang
bagaimana cara "membina" pencak silat. Diskusi kemudian
didominir oleh pembicaraan tentang wewenang "pembinaan": antara
Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dan P & K. Sehingga
prasaran seperti dari Edi Sedyawati yang sangat bagus, tentang
permasalahan aspek tari dalam pencak silat, tertimbun.
Introduksi satu-satu jenis tradisionil sendiri, tak diberikan
kepada penonton tentu saja. Meskipun, dan ini memang
"kepribadian Indonesia", dibagikan secara gratis buku acara yang
lux - berisi berbagai sambutan yang demi Allah tak ada isinya.
Sekiranya penjelasan mengenai satu nomor sudah lebih dulu
dipegang penonton, misalnya dalam hal nomor-nomor Minang yang
malam itu tampak "kalah pamor," barangkali orang akan tahu
bagaimana "cara menikmatinya." Misalnya seperti yang ditulis Sal
Murgiyanto dari Akademi Tari LPKJ berikut ini:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini