NENEK-moyang dahulu, ternyata, menciptakan pencak silat tidak
sematamata dalam segi bela diri. Melainkan juga mempunyai unsur
gerak-gerik yang disebut pencak itu sendiri yang dalam praktek
tak kurang dari tarian juga adanya. Dan tiga malam
berturut-turut (6,7,8 Pebruari), ketika Teater Arena TIM
dipadati pengunung yang menyaksikan Festival Tari Pencak Silat
(diikuti Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat dan
Yogyakarta), orang bisa melihat contoh khas pencak silat yang
dimaksud.
Ini adalah Alu Ambek dari Sumatera Barat. Di daerah asalnya,
bentuk ini memang digolongkan ke dalam jenis pencak silat:
sebuah tarian, di mana gerakan (mulai dari posisi tubuh, langkah
kaki sampai dengan gestur tangan) mempergunakan gerakan silat.
Sedang silat sendiri di sini diartikan lebih khusus sebagai bela
diri dengan jurus-jurus menyerang dan menangkis. Sebagai
tontonan, pencak silat menggunakan iringan - sedang silat
sebagai bela diri tidak.
Istilah itu berasal dari kata lalu dan hambat. Alias melakukan
serangan dan menghambat lawan. Dalam bentuknya yang sekarang,
tarian yang dilakukan bergantian berdua-dua ini merupakan sebuah
permainan adu ketangkasan, tanpa dimuati pesan literer, legenda
atau mitologi. Dengan berbagai tipuan, pihak penyerang berusaha
merebut salah satu kelengkapan musuh: destar, kancing baju, ikat
pinggang dan lainnya. Sedang lawan berusaha menghambat atau
menghalangi atau menghalangi.
Dampeang, Dendang Pengiring
Yang menarik, gerakan dilakukan dengan pengendalian emosi yang
penuh, tanpa pernah bersentuhan satu sama lain. Setiap gerak
dilakukan ke arah .... sesuatu obyek - tanpa pernah menyentuh
sasaran. Aturannya, jika salah seorang pelaku berusaha mengambil
ikat kepala, tetapi lawannya menangkis di pinggang, itu berarti
lawan tertipu dan dianggap kalah. Dengan demikian bagi mereka
yang menggemari "perkelahian flsik" bisa difaham bila permainan
ini kurang seru.
Sebagai ganti gendang atau alat tetabuhan lain, alu ambek hanya
memakai dendang atau nyanyian yang di Minang dikenal sebagai
dampeang Ada dua jenis dampeang. Yang jantan bernada tinggi,
berfungsi sebagai aba-aba menyerang, sedang yang betina bemada
rendah pertanda sebuah kesempatan untuk mengatur langkah - baik
bagi yang akan melakukan serangan lalu buka) maupun yang akan
menangkis (ambek). Dampeang dapat didendangkan lebih dari satu
orang, tetapi dampeang jantan dan betina tidak pernah
didendangkan bersama-sama. Selalu bergantian, susul-menyusul.
Dampeang itulah pembawa suasana mistis di tengah laga - semacam
pembacaan doa atau mantra. Orang Minang sendiri banyak yang tak
begitu faham kata-kata yang didendangkan. "Barangkali dalam
bahasa Minang kuno," kata Makmur Hendrik, anggota rombongan.
Serangan selalu dilakukan pala akhir dampeang yang bernada
tinggi dan diakhiri dengan ucapan-ucapan a yooo u, antah-antah
dan elah - yang sering disebut sebagai sorak. Bila seorang
penangkis berhasil mematahkan serangan lawan, sebagai tanda ia
akan membalikkan diri membelakangi penyerang - dalam posisi mana
lawan tak boleh menyerang. Berarti sebuah kesempatan untuk
meraih biji sudah direbut orang.
Untuk membantu para pemain memelihara sportivitas itulah, dua
orang janang bertugas mengawasi permainan dan berhak menyatakan
kalah-menang.
Letusan Senapan
Ternyata alu ambek bukan sembarang tari. Ini merupakan warisan
puak keluarga di Kampung Tarok, Kecamatan Kepala Hilalang,
Kabupaten Padang Pariaman, Ik. 50 Km sebelah utara Kota Padang.
Anehnya, menurut pimpinan rombongan, orang Padang sendiri banyak
yang belum pernah melihatnya. Sebab tarian ini milik ninik
mamak: memainkannya harus seizin ninik mamak juga.
Bahkan di masa lalu alu ambek serin menjadi sarana raja-raja
kepala suku meluaskan daerah kuasa. Dua orang penari diadu,
disaksikan orang banyak. Taruhannya negeri, seisinya! Seorang
kepala suku yang penarinya kalah dapat selama beberapa keturunan
harus tunduk kepada sang pemenang.
Karena besarnya taruhan itulah, alu ambek di masa lalu hanya
dilakukan orang-orang terpilih. Tak jarang penarinya sampai
trance, sehingga janang sebagai wasit harus lebih waspada:
penari yang tak bisa menguasai diri dapat menyebabkan
pertumpahan darah, dan wasit harus menghentikan permainan.
Lebih-lebih karena tidak hanya luapan emosi penari. Suara-suara
liar dari luar arena juga bisa mengacau. Agaknya dalam ekstase,
para penari benar-benar bergerak di bawah pengaruh bunyi
dampeang yang mengatur jalan pertunjukan.
Pernah terjadi di tahun 1825, pada zaman Belanda. Di
tengah-tengah sebuah pertunjukan alu ambek, tak dinyana
terdengar letusan senapan yang dengan sendirinya mengganggu
nada-nada dampeang. Maka penari pun tergoyah konsentrasinya, dan
pertumpahan darah tak dapat dihindarkan. Konon sejak itu, pada
permainan alu ambek, sangat terlarang orang di sekitarnya
membunyi dan suara lain.
Sangat menarik adalah pentas bermain yang disebut laga-laga atau
sasaran. Lantainya dibuat khusus dari bilah bambu yang dijalin
bertulang-belut, disebut, pauleh. Ini ternyata sangat efektif
untuk membantu aksentuasi para penari yang berulang kali
menghentakkan kaki ke lantai bersama-sama.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini