SEJARAH fotojurnalisme modern tidak dimulai di medan perang atau dari potret jalanan di Paris. Ia lahir dari tangan seorang Yahudi separuh baya yang hampir botak, fasih berbahasa Prancis, dan selalu berpakaian necis. Erich Salomon berasal dari keluarga kaya Yahudi Berlin -- ayahya bankir, ibunya dari keluarga pemilik perusahaan penerbitan ternama -- yang ikut bangkrut ketika ekonomi Jerman hancur pada pertengahan tahun 1920-an. Pada usia 42, setelah ia gonta-ganti pekerjaan, hidup ayah dua anak ini mulai kembali ke garis yang lurus. Seperti kakek dan bapaknya, ia tinggal melanjutkan takdir seorang kepala keluarga Yahudi yang saleh: mendidik anak, pensiun, lalu mati di rumah dikelilingi cucu-cucunya. Tapi, Tuhan menghendaki lain. Di Ullstein, penerbitan terbesar di Eropa saat itu, Salomon bertugas membuat rekaman gambar pemasangan papan iklan perusahaannya. Perlahan-lahan fotografi menjadi kegemaran yang berlanjut di luar jam kerja. Karya-karya Salomon, yang dibuat saat jalan-jalan, mulai bermunculan di majalah berita bergambar terkenal Berliner Illustrirte Zeitung. Salomon sempat menjadi tertawaan orang karena lebih senang menggunakan kamera kecil Ermanox dan Leica daripada kamera besar para profesional. Tapi, ketika ia berhasil memotret pengadilan seorang pembunuh -- Salomon menyembunyikan kameranya di dalam topi yang dilubangi karena wartawan foto dilarang meliput di ruang sidang -- cemoohan itu berbalik menjadi pujian. Ia dijuluki "si tukang sulap". Dalam waktu satu tahun, Salomon, si ayah yang bijaksana dan pegawai rendahan yang rajin, menjadi fotografer yang dapat diandalkan. Perhatian Salomon pun segera beralih ke sidang yang lebih "tinggi". Perdamaian hasil Perang Dunia I terancam bubar. Krisis ekonomi di negara-negara kalah seperti Jerman -- antara lain akibat denda yang harus dibayar pada bekas musuh-musuhnya -- melahirkan pergolakan rasialis. Sebagai wartawan Berliner, Salomon diberi tugas memotret upaya perdamaian di Lugano, Jenewa, Roma, dan Paris. Liputannya gagal menghentikan ancaman perang baru, tapi rekaman gambarnya menciptakan sebuah revolusi. Untuk pertama kalinya, para negarawan tampil sebagai manusia biasa: penuh kekecewaan dan keputus-asaan. Kamera Salomon yang kecil, cepat, dan hampir tanpa suara membebaskan tokoh-tokoh tersebut dari keharusan berpose seperti patung. Untuk pertama kalinya, pembaca bisa melihat bagaimana menteri luar negeri Inggris yang dikenal dingin berdiskusi dengan penuh emosi, sementara rekan-rekannya dari Jerman dan Prancis mendengar bak murid yang nakal. Tak satu pun menyadari kehadiran Salomon yang asyik membidik. Sementara juru foto lain menunggu di luar, karena kamera dan lampu mereka dianggap menganggu, Salomon bebas berkeliaran. Perdana menteri yang murka, atau wakil rakyat yang tertidur saat pembahasan undang-undang: Salomonlah yang memulai fotografi seperti ini. Sebelum Henri Cartier Bresson dan Robert Capa, sebelum Mat Kodak dan wartawan foto yang berkeliaran di pengadilan, gedung pemerintah, serta pagar artis, Salomon yang pertama memopulerkan istilah "fotojurnalisme" dan human interest. Toh perubahan yang dimulainya tidak terbatas pada soal teknis. Tengok foto Penjaga Topi Menteri, Den Haag, 1929. Hanya orang yang sadar betapa kecilnya manusia yang bisa mengerti perasaan orang kecil lainnya. Pada sosok penjaga topi ini, yang setengah mengantuk setengah cemas karena malam sudah larut sementara para menteri belum mencapai mufakat, seolah-olah tertumpuk segala ketakutan dan kekhawatiran dunia. Tragedi yang dipotret Salomon juga menjadi tragedinya. Kendati rekaman gambarnya menguak kedok para politikus yang lemah dan penuh tipu daya, sebagai generasi yang lahir pada akhir abad ke-19, Salomon tetap yakin pada keabsahan pemerintah dan agama sebagai pilar peradaban. Sementara itu, di jalanan pemuda-pemuda berambut pirang dan berbaju cokelat mengacau atas perintah seorang bekas tukang cat yang bermata hitam. Tahun 1932, Salomon meliput cerita imigran gelap yang mencari suaka politik di Ellis Island. Setahun kemudian, ketika Salomon lari dari ancaman Nazi, wajah anak-anak penuh harapan di pelabuhan Amerika Serikat itu akan menghantuinya kembali. Salomon terpaksa berhenti memotret tahun 1938 dan kabur ke Belanda. Bersama sebagian besar keluarganya, ia punah di kamp maut Auschwitz. Kariernya tak sampai 10 tahun, dan dalam waktu singkat itu ia hanya menerbitkan satu buku foto, Tokoh-Tokoh Besar di Saat Lengah, tapi pengaruhnya jauh. Sebelum Salomon, fotografer tak lebih dari alat yang dipakai untuk menjaga citra mereka yang gemilang dan berkuasa di tangan Salomon, kamera menjadi panah yang menembus topeng masyarakat dan pemimpin mereka: Mussolini persis seekor buldog dari kampung, sementara delegasi Liga Bangsa-Bangsa tak lebih dari penipu ulung yang bersandiwara, bahwa perang dunia tak kan terulang. Di bawah Hitler, fotografi kembali menjadi alat propaganda yang picek. Maka, sungguh ironis bahwa, setengah abad kemudian, kita kembali mengalami hal yang sama. Cinta segi tiga bisnis, politik, dan fotojurnalisme pada tahun 1980-an menghasilkan anak haram bernama Photo-opportunity" -- potret politikus mencium bayi dan juragan tanah yang pamer gigi emas -- yang dikemas dan direkayasa dengan rapi. Mungkin, di surga sana Salomon sedang mencak-mencak. Fotografi bukan milik satu golongan. Bagi Yahudi saleh dari Berlin ini, yang mulai memotret ketika rambut di kepalanya hampir habis, ia justru seni yang selalu berontak. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini