KOMPONIS Jerman yang mengajar di IKIP Bandung, Dieter Mack, berkata, "Mendengar karya Ibu Marusya, saya merasa 200 tahun sejarah musik seperti tidak ada." Mack mengatakan itu ketika acara diskusi seusai per gelaran malam kedua Suita '92 di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu pekan lalu. Suita '92 menampilkan Slamet A. Sjukur, Trisutji J. Kamal, Marusya N. Abdullah, Otto Sidharta, dan Tony Prabowo. Karya Marusya yang dikomentari Dieter Mack ini berjudul Conversation II, yang digarap untuk piano, kendang Bali, dan alat gesek tradisional Betawi yang lazim dipergunakan dalam musik gambang kromong. Marusya memperlakukan enam buah alat gesek seperti lazimnya instrumen gesek dalam budaya musik Barat. Para pemusik tradisional ini juga bermain dalam komposisi yang didesain dan digarap dengan teknik yang lazim kita temukan dalam karya musik klasik Barat. Misalnya saja ada unsur tema melodi, ada unsur pengembangan tema, ada unsur harmoni fungsional, dan tekstur homofonis, ada unsur concerto grasso, sewaktu setiap instrumen mendapat kesempatan muncul sebagai solis. Dalam konteks inilah pernyataan Dieter Mack terasa sah jika ia secara tersirat seakan-akan menuntut adanya tanggung jawab budaya dari kaca mata perkembangan sejarah musik klasik Barat. Marusya memang tidak mendekonstruksikan sejarah musik Barat, tetapi ia bersikap menerima dan memperluas kaidah-kaidah tadi di dalam karyanya. Namun, di balik "tuntutan" tadi, Dieter Mack agaknya juga menyadari bahwa posisi Marusya tidak sama dengan posisi dirinya sebagai orang Barat. Ia mengatakan, "Setelah mengikuti diskusi ini, saya semakin merasa saya orang Barat." Dengan kata lain, secara tersirat Dieter Mack mengakui bahwa komponis Indonesia yang mencipta di dalam dan un tuk konteks budaya dan masyarakatnya sendiri tidak mesti terikat oleh sekian ratus tahun sejarah tradisi musik klasik Barat. Dalam gradasi, strategi, teknik, dan rupa yang berbeda, pergulatan atau penyiasatan dalam penggunaan konvensi-konvensi tradisi musik Barat untuk kepentingan ekspresi pribadi yang mewakili sosok manusia Indonesia juga ter lihat dalam karya keempat komponis lainnya. Trisutji J. Kamal dalam Persembahan, misalnya, juga menggunakan teknik kompositoris konvensional Barat dan instrumen seperti piano, flute, cello, dan gitar bas elektrik dalam menggarap gaya musik kasidahan. Yang menarik di sini, dengan dominannya unsur paduan suara yang digarap dalam bentuk empat suara SATB yang berangkat dari tradisi budaya musik gerejani, karya ini muncul menjadi sebuah "naskah" yang secara kuat mencuatkan identitas budaya manusia Indonesia yang bertumpu kepada sinkretisme. Dalam bahasa ideologis, inilah musik yang mencerminkan toleransi dari jiwa manusia yang Pancasialis. Unikum strategi, teknik dan rupa yang lain dalam menggarap konvensi musik klasik Barat, muncul dengan menarik pada karya Slamet Sjukur yang berjudul Uwek Uwek. Karya ini hanya menggunakan dua buah instrumen, yakni mulut dan jembe (perkusi Afrika). Slamet mengeksploitasi hampir segala kemungkinan bunyi yang bisa diproduksi oleh mulut untuk kepentingan kompositoris. Yang menarik dalam karya ini, ditingkah pola garapan musik aleatoris dengan menyiasati bunyi-bunyian dari mulut sebagai fenomena suara murni, karya ini ternyata memberikan asosiasi yang kuat akan suara-suara seperti wanita kencing, ayam bercelotek, tetesan air, orang mengerang, ngorok, berkumur, dan berak. Faktisitas bahwa Slamet sendiri beserta Rahmayani yang mengeluarkan bunyi-bunyian itu dari mulut mereka membuat karya ini menghadirkan asosiasi akan sebuah panorama suar di lingkungan kehidupan budaya kita. Sebab itu, tidak heran jika karya ini adalah satu-satunya karya yang mendapat respons spontan dari penonton. Yang menarik dari peristiwa ini, karya yang dibuat dengan tingkat abstraksi paling tinggi di antara karya-karya yang tampil pada Suita '92 ini ternyata adalah karya yang paling komunikatif. Masih dalam konteks yang sama, karya berikut yang dengan gamblang memanfaatkan konvensi budaya musik Barat dalam mencari identitas budaya musiknya sendiri, adalah Sri Inwan karya Otto Sidharta. Sri Inwan adalah karya yang mencampur unsur musik komputer dengan program kompositoris yang diproduksi oleh pusat musik kontemporer Prancis, yaitu IRCAM, dengan alat klarinet dan kendang Sunda. Berbeda dengan Marusya, yang mentransformasi instrumen tradisional menjadi instrumen Barat, Otto di sini memberikan si pemain kendang (Jalu G. Pratidina) peluang yang bebas dalam berimprovisasi dengan gaya kendangan tradisional ditingkah pola ritme dan melodi repetitif yang didesain melalui komputernya. Secara keseluruhan penampilan karya kelima komponis dalam Suita '92 memperlihatkan kekayaan dimensi masalah yang terserak dalam kehidupan musik kontemporer kita. Kehadiran Ansambel Musik Kontemporer Institut Seni In donesia Yogyakarta di bawah pimpinan Budi Ngurah, yang memainkan Dongeng Sebelum Tidur karya Tony Prabowo -- dengan sajak yang ditulis Goenawan Mohamad -- menunjuk kan terbukanya kemungkinan baru bagi para komponis Indonesia untuk menulis musik dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Franki Raden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini