Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sensasi Virtual Frogman

Kelompok Curious Directive dari Inggris mengombinasikan teater realis dan film tiga dimensi. Bercerita tentang ingatan akan matinya seorang gadis.

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA sekitar 50 penonton dalam tiap pertunjukan. Begitu masuk studio Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, terlihat deretan kursi di kanan-kiri yang diatur memanjang mengapit sebuah tempat pertunjukan. Di tiap kursi itu tercantel earphone dan headset realitas virtual (virtual reality/VR). Sebuah pengumuman menginformasikan cara menggunakan headset. Diberitahukan bahwa pertunjukan akan silih berganti menggunakan headset. ”Yang berkacamata tolong dilepas dahulu saat memakai VR headset di kepala.”

Tatkala lampu meredup, aktris Curious Directive, Georgina Strawson, yang memerankan Meera Clarke, ahli koral dan biota laut berumur 34 tahun, duduk diapit kursi-kursi penonton. Terdengar suara anonim mencecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan. Suara itu, dalam pentas berjudul Frogman yang berlangsung 24-28 Oktober lalu, berasal dari penyidik pengadilan Queensland, Australia, yang menginterogasi dia terkait dengan kematian sahabat perempuannya, Ashleigh Richardson, pada 1995.

Meera adalah saksi pada hari-hari terakhir lenyapnya Ashleigh 23 tahun silam. Ashleigh saat itu berumur 13 tahun dan Meera 11 tahun. Pengadilan Queensland membuka kembali kasus ini karena menemukan bukti baru yang mengindikasikan ayah Meera, Douglas Clarke, sebagai tersangka pembunuhan Ashleigh. Ayah Meera -anggota pasukan katak kepolisian Queen-s-land yang mencari bukti-bukti tewasnya Ashleigh di dasar laut. Penyidik pengadilan menemukan sejumlah fakta yang disembunyikan ayah Meera.

Tanda menggunakan headset menyala. Dan, setelah memasang perangkat canggih itu di kepala, kita dilempar ke ingatan masa kecil Meera pada 1995. Sensasi virtual kita alami. Meera tinggal di kota kecil kawasan laut Great Barrier Reef, Queensland. Mata kita melihat kamar pribadi Meera. Kita seolah-olah berada di kamar itu. Di situ Mee-ra tengah berdiskusi dan bermain dengan sahabatnya, Lily dan Shaun. Mereka membentuk Coral Club, klub saintis anak-anak yang meneliti terumbu karang Queensland. Meera memiliki sebuah akuarium berisi aneka terumbu karang.

Penonton menggunakan headset realitas virtual dalam pentas Frogman di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. -Eva Tobing/Dokumentasi D

Kursi yang bisa diputar 360 derajat membuat penonton dapat melihat ke segala arah sudut kamar Meera. Anak-anak itu duduk seenaknya di tempat tidur dan meja belajar, juga ngelesot di lantai depan akuarium. Dengan memutar-mutar posisi kursi, tiap penonton pasti berbeda-beda posisinya tatkala mengamati bagaimana anak-anak itu bercengkerama dan mempercakapkan lenyapnya Ashleigh. Ashleigh adalah teman mereka yang mengalami banyak persoalan di sekolah.

Begitu headset diminta dicopot, penonton melihat bagaimana interogasi pengadilan terhadap Meera makin tajam. Inilah sebuah pertunjukan yang mengawinkan teater dengan film. Penonton dibawa ulang-alik antara realitas virtual dan realitas panggung konkret.  Akting pemeran Meera sebagai satu-satunya pemain di atas panggung sangat natural. Gesturkulasinya alamiah, tak dibuat-buat. Penonton ditempatkan sebagai juri untuk menentukan apakah kesaksian Meera di panggung dan ingatan Meera yang disajikan dalam alam virtual dapat dipercaya. Apakah ayahnya benar membunuh Ashleigh?

Kembali mengenakan headset, selanjutnya mata kita menyaksikan adegan pa-sukan manusia katak kepolisian Queensland mencari jasad Ashleigh. Ayah Meera bersama dua rekannya tengah menyelam ke dasar Great Barrier Reef. Meski cerita berlatar belakang Queensland, syuting bawah laut dilakukan sutradara Curious Di-rective, Jack Lowe, di Raja Ampat, Papua. Tampak keindahan dasar laut Papua. Sinar matahari menembus sampai jauh ke dalam menampilkan koral-koral dan terumbu karang yang menawan.

“Bisakah kamu jelaskan mengapa ada noda darah di speedboat? Noda darah ayahmu dan bercak darah Ashleigh?” kembali di panggung suara anonim mencecar -Meera. Meera tak segera menjawab. Suara penyidik terus menggali ingatan Meera. “Tahukah kamu ayahmu pergi ke mana saat pulang malam itu?” Meera menjawab tidak tahu.

Dan, kemudian, tatkala memasang lagi headset realitas virtual, kita menyaksikan ingatan Meera akan Ashleigh, yang kerap sembunyi-sembunyi datang ke kamarnya. Sosok Ashleigh yang lebih tua daripada dia kita lihat seperti tomboi, mengenakan topi. Secara diam-diam Ashleigh meng-ajari Mee-ra banyak hal, termasuk menyelam. ”Tolong kaki kamu seperti penari balet. Sekarang coba kepakkan tanganmu sebagaimana burung,” kata Ashleigh, memberi Meera instruksi di tempat tidur.

Lalu dibukalah rahasia itu. “Jangan diceritakan kepada siapa pun tentang ini,” ucap Meera kepada Lily dan Shaun. Meera akhirnya bercerita bahwa pada Sabtu pukul 4 subuh Ashleigh datang ke kamarnya. Meera lalu diajak melompati jendela dan pergi ke pelabuhan. Ashleigh ternyata telah mencuri kunci speedboat milik ayah Lily. Dan, dengan speedboat itu, ia mengajak Meera ke tengah laut. Di laut, Ashleigh ingin menunjukkan kepada Meera sebuah potongan koral. Lalu, tiba-tiba, Ashleigh melompat dari speedboat dan tak pernah muncul lagi.

“Dia bisa bernapas dalam air,” kata Mee-ra kecil.

Di alam virtual itu, kita kemudian mendapat info dari Meera kecil bahwa Ashleigh mempercayai kisah masyarakat asli Queen-sland yang ada jauh sebelum kehadiran para pendatang. Masyarakat ini memberikan pengorbanan untuk menahan laut agar tidak meluap ke daratan. Mereka membentuk tembok air. Barisan karang berbentuk kipas dan ikan yang berubah warna di Great Barrier Reef, menurut Ashleigh, muncul akibat pengorbanan tersebut. Ashleigh percaya mereka belum mati.  Meera kecil juga percaya Ashleigh belum mati.

“Saya rasa Ashleigh masih hidup,” tutur Meera kecil kepada teman-temannya.

Bagian kunci adalah saat dalam kondisi virtual tersebut kita mendapat keterangan Meera bahwa ternyata pagi itu ayahnya diam-diam mengikuti dia dan Ashleigh ke pelabuhan. Sempat terjadi pergulatan antara ayahnya dan Ashleigh di speedboat. Ashleigh berteriak-teriak meronta, berusaha melepaskan diri. Bagian ini dibikin tidak clear benar. Ingatan masa kecil Meera antara imajinasi rapuh dan fakta.

 


 

Meera adalah saksi pada hari-hari terakhir lenyapnya Ashleigh 23 tahun silam. Ashleigh saat itu berumur 13 tahun dan Meera 11 tahun. Pengadilan Queensland membuka kembali kasus ini karena menemukan bukti baru yang mengindikasikan ayah Meera, Douglas Clarke, sebagai tersangka pembunuhan Ashleigh.

 


 

Pertunjukan ini cerdas. Melalui ulang-alik antara alam virtual dan nyata, penonton ditempatkan sebagai hakim. Tanya-jawab yang kita saksikan secara nyata di panggung, percakapan bawah laut antara ayah Meera dan sesama rekan manusia katak, dialog Meera di kamar di alam virtual, semuanya adalah data mentah untuk penentuan investigasi kasus lenyapnya Ashleigh 23 tahun silam. Kisah kriminalitas ini disajikan dengan tak terduga dan imajinatif. ”Semua peranti editing dan peralatan kamera yang saya gunakan untuk membuat film tiga dimensi ini sebetulnya murah,” ujar sutradara Jack Lowe dalam workshop

Pada bagian akhir pertunjukan lebih dari satu jam ini, secara virtual kita melihat, di dasar laut Queensland, ayah Meera menemukan topi dan tas Ashleigh. Dan, di panggung, pemeran Meera mengeluarkan selang napas dan baju-baju Ashleigh yang dikumpulkan kepolisian dalam sebuah kardus. Tontonan ini menyajikan kerapuhan ingatan seorang anak. Juga leburnya batas antara mitologi dan realitas. Apakah betul ayah Meera yang membunuh Ashleigh? Setiap penonton bisa memiliki kesimpulan berbeda tatkala pulang dari studio film Institut Kesenian Jakarta.   

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus