Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tidak Fair Radikalisme Hanya Ditimpakan pada Guru

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy:

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy gusar. Kesimpulan penelitian itu menyatakan 63 persen guru muslim intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Survei dilakukan terhadap 2.237 guru sekolah dan madrasah tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas di 34 provinsi pada Agustus-September lalu. PPIM juga meneliti radikalisme. Hasilnya menunjukkan 14,28 persen guru memiliki tingkat opini radikal dan sangat radikal. Sebanyak 13,3 persen guru, misalnya, setuju dengan pernyataan “menyerang polisi yang menangkap orang-orang yang sedang berjuang mendirikan negara Islam”.

Muhadjir, 62 tahun, membaca hasil penelitian itu pada hari perilisannya, Selasa dua pekan lalu. Doktor ilmu sosial ini hanya butuh hitungan detik untuk memberikan penilaian sementara. “Ini kesimpulan yang ugal-ugalan,” kata Muhadjir di kantornya, Kamis pekan lalu. Ia mempertanyakan sejumlah faktor dalam penelitian tersebut, di antaranya sampel yang kurang dari seperseribu jumlah guru. “Kalau sebanyak itu guru tidak toleran, sudah kacau-balau sekolah-sekolah,” ujarnya.

Setelah hasil penelitian dirilis, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan langsung menghubungi PPIM untuk berdiskusi. Namun para peneliti baru menyediakan waktu bulan depan. Permintaan data penelitian juga tidak dipenuhi. “Kami sangat serius menanggapi temuan ini,” tutur -Muhadjir.

Dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Reza Maulana dan Angelina Anjar, Muhadjir mengajak sejumlah pejabat penelitian dan pengembangan Kementerian Pendidikan serta membawa setumpuk hasil sejumlah riset. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang periode 2000-2016 itu juga menyinggung soal kampanye di sekolah serta perusakan acara sedekah laut di Bantul, Yogyakarta, yang terjadi pada 12 Oktober lalu.

Apa komentar pertama Anda setelah membaca laporan penelitian tentang guru intoleran?

Ini kesimpulan yang ugal-ugalan.

Apa alasannya?

Intuisi. Saya profesor. Saya sudah ratusan kali meneliti, insya Allah. Jadi, setiap kali membaca hasil penelitian, muncul naluri sebagai orang yang sudah terbiasa meneliti. Ini temuan yang mengejutkan. Kalau sebanyak itu guru tidak toleran, sudah kacau-balau sekolah-sekolah. Saya tidak bisa membayangkannya. Karena itu, saya termasuk yang ragu akan hasil penelitian ini.

Ada basis ilmiah yang mendukung keraguan Anda?

Soal sampel yang kurang satu permil. Sampel penelitian itu 2.237, sementara guru beragama Islam yang berada di bawah Kemendikbud saja 2,39 juta. Belum yang di Kementerian Agama (dengan jumlah hampir 1 juta).

Apakah jumlah sampel itu menyalahi aturan?

Dalam survei, yang penting bukan angka, tapi keterwakilan. Dengan heterogenitas masyarakat Indonesia, biasanya sampel minimum 2 persen supaya mewakili keberagaman penduduk. Bisa juga dengan 2.237 sampel mewakili lebih dari 2 juta guru. Maka kami ingin bertemu dengan PPIM Universitas Islam Negeri Syarif ­Hidayatullah untuk berdiskusi. Di antaranya kami ingin bertanya soal sampel dan keterwakilan ini. Kami juga ingin ­mengetahui artikel lengkap, struktur ­pertanyaan, dan pilihan-pilihan ­jawabannya.

Kapan pertemuan berlangsung?

Kami mengundang PPIM pekan lalu. Tapi mereka bilang belum siap karena masih harus menemui beberapa pihak. Baru disanggupi bulan depan. Kami juga minta laporan lengkap, tapi belum diberi. Kami menganggap serius penelitian ini, karena menyangkut guru. Angka 63 persen itu tidak main-main, lho.

Anda membawa riset-riset terdahulu. Apa hasilnya?

Penelitian-penelitian sebelumnya memang ada yang menyinggung intoleransi. Tapi angkanya kecil. Misalnya penelitian Setara Institute yang menyatakan 81 persen responden tidak setuju mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Lalu penelitian Wahid Foundation menyatakan sebanyak 72 persen umat Islam di Indonesia menolak tindakan radikal.

Anda ingin mengatakan riset PPIM UIN tidak sinkron dengan penelitian-penelitian sebelumnya?

Ya. Meskipun penelitian sebelumnya menyangkut umat Islam secara keseluruhan, bukan hanya guru, dan pertanyaannya berbeda, kita bisa membuat perbandingan.

Apa definisi intoleransi menurut Anda?

Dalam teori sosiologi, ada konsep adaptasi atau penyesuaian diri seseorang dalam lingkungan. Orang yang posisinya minoritas pasti melakukan adaptasi, sementara orang yang posisinya mayoritas cenderung sangat “intoleran”. Ini aksioma sosial. Dalam konteks penelitian, kalau sampel diambil dari daerah yang 100 persen muslim, pasti intoleran untuk ukuran tertentu. Misalnya pertanyaannya “Relakah rumah Anda dipakai untuk tempat ibadah pemeluk agama lain?”. Jawabannya pasti tidak. Tapi apakah bisa disimpulkan bahwa dia intoleran? Tergantung lingkungannya. Dalam teori psikologi, untuk mengukur tingkat toleransi, ada empat bentangan: empati, simpati, apati, dan antipati. Intoleran ada di antipati.

Pernahkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan guru yang intoleran?

Ada, tapi cuma beberapa kasus.

Contohnya?

Ada sekolah negeri di Riau, murid-murid perempuannya yang tidak beragama Islam memakai jilbab. Setelah kami telusuri, ternyata itu kemauan siswa sendiri karena tidak mau berbeda dengan teman-temannya. Saya mengingatkan gurunya, seharusnya mereka diberi pemahaman bahwa berbeda itu tidak jelek.

Apakah ada arahan agar siswa perempuan muslim berjilbab?

Memang, ada peraturan menteri yang memberi panduan memakai baju biasa bagaimana, berjilbab bagaimana (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014). Tapi itu pilihan siswa. Ini termasuk setting sosial. Di masyarakat yang homogen beragama Islam, pasti murid perempuannya berjilbab. Tapi, kalau mereka tidak mau memakai jilbab, jangan ditegur. Saat menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, saya tidak mewajibkan pemakaian jilbab. Tidak pakai jilbab boleh. Pakai cadar pun boleh. Saya selalu mewanti-wanti, tidak boleh ada pemaksaan.

Apa tindakan Kementerian Pendidikan terhadap guru-guru yang intoleran?

Ada dua jenis guru, guru umum dan guru agama. Guru umum berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara guru agama di bawah Kementerian Agama. Kalau guru umum, pasti kami tindak, dari teguran keras, skors, sampai pemecatan.

Adakah yang pernah dipecat karena sikap tidak toleran?

Belum ada. Kalau diberi teguran keras, ada.

Apakah video pawai murid taman ­kanak-kanak bercadar dan bersenjata di Probolinggo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu merupakan gambaran sikap tersebut?

Ha-ha-ha… ini menjadi isu radikalisme, padahal tidak. Saya mendatangi taman kanak-kanak milik komando distrik militer tersebut. Mereka punya drum band yang bagus. Kalau pawai, jadi tentara-tentaraan dan pakai senjata mainan. Tapi jadi pertanyaan karena dipakaikan cadar. Ternyata itu ide para orang tua. Temanya kunjungan Raja Salman ke Indonesia. Ada yang didandani jadi raja dan permaisuri. Lainnya jadi pengawal. Karena muridnya kebanyakan perempuan, dipakaikan cadar, ha-ha-ha….

Bagaimana dengan guru Sekolah Menengah Atas Negeri 87 Jakarta yang diduga memberikan doktrin antipresiden kepada murid-muridnya?

Harus dilihat konteksnya. Ini kan tidak hanya menjadi domain Kemendikbud, tapi juga Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Prinsipnya, saat masa kampanye, pegawai negeri sipil tidak boleh berpihak. Dengan membuat pernyataan semacam itu, dia sudah menunjukkan keberpihakan. Apalagi kalau diucapkan di depan kelas. Jadi, kalau benar dia seperti itu, harus ditindak. Tapi saya tidak tahu apa sanksinya kalau yang dilanggar undang-undang tentang aparat sipil negara.

Adakah mekanisme pendeteksi sikap intoleransi dalam sistem rekrutmen guru?

Kami tidak punya instrumen untuk menyaring sikap intoleransi di tahap seleksi. Jadi baru ketahuan radikal ketika sudah di sekolah. Sebenarnya yang seharusnya bertanggung jawab terkait dengan masalah ini di sekolah adalah guru agama. Seharusnya guru agama tidak hanya mengajar ­pelajaran agama kepada siswa, tapi juga memberikan pencerahan dan dakwah kepada rekan-rekannya sesama guru di sekolah masing-masing. Karena itu, saya menyarankan kurikulum guru agama ditinjau lagi. Kalau masalah radikalisme hanya ditimpakan kepada guru atau sekolah, tidak fair. Program deradikalisasi pun tidak mungkin kami lakukan dengan jumlah guru yang ada. Belum lagi guru sekolah swasta.

Apa rencana Anda untuk mengatasi masalah ini?

Pak Syafruddin, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), sudah menjamin tidak akan ada PNS, termasuk guru, yang punya indikasi intoleran bisa lolos. Saya akui, karena populasi guru dan sekolah sangat besar, kami sangat sulit menyaring secara masif dan tersistem. Kami juga terhalang Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang mengatur pendidikan, terutama sekolah, menjadi urusan daerah. Jadi guru adalah pegawai daerah, bukan pegawai pusat. Dalam rekrutmen, kami hanya mengajukan kuota ke Kementerian PAN-RB. Kementerian PAN-RB lebih memperhatikan permintaan daerah.

Belakangan muncul reaksi pro-kontra soal kampanye di sekolah. Tanggapan Anda?

Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum, lembaga pendidikan tidak boleh dipakai sebagai tempat kampanye.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan calon presiden dan calon legislator boleh datang ke sekolah asalkan ada undangan dan tidak mengusung atribut kampanye. Apa sikap Kementerian?

Kami akan memberikan sanksi kepada lembaga pendidikan yang mengundang.

Muhadjir Effendy meninjau pelaksanaan ujian nasional sekolah menengah atas dan sederajat di Jakarta, 2018. -TEMPO/M Taufan Rengganis

Menteri Tjahjo juga mengatakan peserta pemilu boleh datang ke sekolah jika tujuannya mensosialisasi pemilu….

Sosialisasi pemilu tidak harus dilakukan oleh politikus. Komisi Pemilihan Umum kan bisa. Guru juga menjadi tidak nyaman karena mereka tidak boleh berpolitik praktis. Pendidikan politik jangan diartikan politikus datang ke sekolah. Kalau mau melakukan pendidikan politik, bisa di luar sekolah, misalnya menonton kampanye, ikut joget-joget, ha-ha-ha….

Menurut Anda, apakah pesantren termasuk tempat pendidikan?

Selama ini, pesantren tidak didefinisikan sebagai lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan formal adalah sekolah dan madrasah. Tapi, saat ini, rata-rata pesantren menyelenggarakan program pendidikan ganda. Ada pesantren yang juga madrasah, bahkan sekolah. Jadi tinggal dilihat definisinya saja. Kalau yang dimaksud oleh Undang-Undang Pemilu adalah semua lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, pesantren termasuk.

(Penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak memisahkan tempat pendidikan formal dan nonformal.)

Jika pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan nonformal, bolehkah berkampanye di sana?

Menurut saya, kalau ke sana untuk kampanye, sebaiknya jangan. Kan, ada normanya. Kecuali datang untuk menjemput anak, ha-ha-ha….

Ada temuan soal video sekelompok anak Pramuka yang berteriak “2019 ganti presiden”?

Belum. Dugaan saya, itu tidak terjadi di sekolah.

Apa indikasinya?

Di video itu tidak ada tulisan sekolah apa, ha-ha-ha…. Saya tidak bermaksud lari dari tanggung jawab. Tapi Pramuka berada di bawah Kementerian Pemuda dan Olahraga. Saya berkepentingan karena anak-anak itu pasti pelajar.

Apa tanggapan Anda tentang perusakan acara sedekah laut di Bantul?

Saya sangat menyayangkan itu. Kalau ada kegiatan budaya yang dibatalkan ­karena kontroversial, mbok diselesai­kan dulu yang kontroversial itu. Jangan saat acara akan digelar baru ramai. Kan, bisa bertanya, “Bagaimana supaya kegiatan ini tetap berjalan? Mana yang tidak dikehendaki?” Sebagai contoh, tari gandrung di Banyuwangi. Dulu penarinya pakai kemben. Kemudian, karena Banyuwangi ­daerah agamis, dimodifikasi sehingga penarinya memakai manset untuk menutup aurat.

Acara budaya itu sudah berlangsung ­bertahun-tahun dan selama ini baik-baik saja.…

Kalau semula baik-baik saja lalu menjadi tidak, pasti ada sesuatu. Karena itu, harus ada pembicaraan. Budaya bukan agama, yang kalau dikurangi atau ditambahi menjadi tidak sah. Simbol-simbol bisa dikompromikan, seperti Sunan Kalijaga yang memodifikasi cerita wayang yang tidak sesuai dengan Islam. Budayawan harus cerdik mendekonstruksi sebuah tradisi agar bisa diterima masyarakat luas. Saya tidak melihat ada peristiwa budaya yang tidak bisa dikompromikan.

 


 

Muhadjir Effendy

Tempat dan tanggal lahir: Madiun, Jawa Timur, 19 Juli 1956

Pendidikan: Sarjana Pendidikan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Malang (1982), Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1996), Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya (2008)

Karier dan organisasi: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2016-sekarang), Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (2000-2016), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (2015-2020), Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Timur (2014-sekarang), Anggota Dewan Pembina Maarif Institute (2010-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus