Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seperti dari satu kandang

Pameran seni patung bersama antara mahasiswa itb, asri, lpkj dan univ. sebelas maret di tim, karya mereka hampir sama nadanya, mungkin karena masih berorientasi ke buku teori. (sr)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Seperti dari satu kandang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BARU kali ini sejumlah mahasiswa jurusan seni patung dari beberapa sekolah bersama-sama memamerkan karya mereka. Mereka mahasiswa Seni Rupa ITB, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dan Universitas Sebelas Maret, mengetengahkan tak kurang dari 90 karya patung di Galeri Baru TIM, 1829 April. Meski datang dari empat sekolah, anehnya kesan pertama masuk Galeri Baru seakan semua karya ini berasal dari satu kandang. Mungkin karena banyaknya karya tak sebanding dengan sempitnya ruangan -- penataan patung kurang leluasa. Tapi lebih mungkin karena mereka semua masih mahasiswa: ciri-ciri pribadi dalam karya belum muncul. Hampir semuanya masih karya-karya studi -- malah kabarnya yang dari ITB memang karya tugas sekolah. Dalam hal material pun, mahasiswa empat kota itu (Bandung, Yogya, Jakarta, Sala) punya orientasi yang sama. Tak sampai 15 buah karya yang bermaterial kayu. Terbanyak adalah patung-patung batu. Ini mengherankan. Coba, kita tengok STSRI Asri. Kampus ini boleh dibilang terletak di pinggir kota. Di sana masih banyak pohon besar, dengan kata lain tak begitu sulit memperoleh kayu. Lha, kenapa karya yang dipamerkan kebanyakan semen? Lalu Seni Rupa ITB. Lingkungan ITB semestinya memberi rangsang memasukkan unsur teknologi. Tapi kita lihat kebanyakan patung ITB justru dari batu. Hanya satu yang memanfaatkan teknologi: Bencana karya Subari. Itu contoh yang jelas. Sedang karya LPKJ dan UNS boleh dikatakan menggunakan material aneka macam: fibreglass, kayu, semen. Hampir separuh jumlah karya, menyuguhkan figur manusia yang utuh atau hanya berupa torso (tubuh tanpa kepala, kaki dan tangan). Menurut G. Sidharta, pematung yang mengajar di Seni Rupa ITB, di sekolah ini membentuk figur memang termasuk pelajaran dasar. Hanya tujuan utama di Seni Rupa ITB hanyalah mengenal bentuk --bukan membentuk figur itu sndiri. Badak Tanpa Kaki Mungkin itu sebabnya kenapa kebanyakan pematung ITB akhirnya lebih banyak melahirkan karya non-figuratif. Berbeda dengan Asri. Meski bentuk figur banyak juga disuguhkan, tapi bukan keindahan bentuknya sendiri. Melainkan rupanya lebih disukai yang bercerita: ini ibu dan anak, ini potret wajah si anu. Kalau boleh disimpulkan, agaknya metode pendidikan yang mereka terima, dari semua sekolah itu, terlalu ketat ke dalam. Teori buku masih banyak dipegang, tanpa usaha penyesuaian dengan keadaan lingkungan. Kenapa tak ada yang memanfaatkan bambu? Orientasi pada teori buku itu juga mungkin yang menyebabkan pameran mahasiswa empat kota ini seperti berasal dari satu kandang. Lebih teliti dilihat, memang kemudian muncul beberapa yang menunjukkan keunggulan dari yang lain. Di tangga lantai II, menuju Galeri Baru di lantai III, sesosok patung karatan berupa sepotong tangan tegak berdiri sebatas pergelangan. Tapi kelima jari tangan tersebut hanya ada seruas -- yang paling bawah. Karya Rachmat dari ITB ini memang bukan karyanya terbaik. Tapi ide materialnya, yang menggunakan tong bekas dan dengan pertolongan las melahirkan bentuk, boleh juga. Seonggok bentuk lain yang setelah diamati ternyata bentuk seekor badak tanpa kaki, juga karya Rachmat, lebih luwes -- tidak seperti Tangan yang kaku itu. Dengan material yang kelihatan kotor dan berukuran lumayan besar (Badak: 200 x 90 x 90 cm) agaknya sudah disarankan di mana sepantasnya, patung itu ditaruh. Itulah, dengan ditaruh di ruangan yang bersih, apalagi dikelilingi karya lain yang jaraknya begitu dekat, ternyata Badak tak berkutik. Volume tubuhnya yang gagah di ruang itu memerlukan kesungguhan pengamatan tersendiri untuk menangkapnya. Sementara ketika pameran sedang dipersiapkan, dan 'Badak' tergeletak santai di ruang yang cukup memberinya suasana, dia terasa angker dan gagah. Ini satu contoh bagaimana penuh sesaknya Galeri Baru. Coba bayangkan -- jika anda sudah melihatnya -- patung coklat berkarat tersebut diletakkan di sebuah taman pada rumput yang hijau. Ada karya lain dari besi berkarat, juga berjudul Tangan, tapi karya Sarbini. Nah, yang ini menunjukkan penguasaan anatomi tangan yang cermat. 'Tangan' Sarbini ini lengkap sepanjang lengan, dengan jarijari sedemikian rupa hingga menyarankan sedang memegang pistol atau semacamnya, dengan telunjuk siap memetik picu -- meskipun tak ada apa-apa. Saran itu memberikan sesuatu yang tersendiri. Tapi terlebih penting ialah pemanfaatan besi tua untuk ketiga patung itu. Ternyata, dengan bahan yang biasanya hanya diingat untuk dibuang, bisa lahir patung yang bisa digunakan menghias taman, misalnya. Dan soal karat, ah, bukan masalah benar. Sudah kita ketahui ada semacam obat yang bisa menghentikan proses karat dan melindungi logam. Yang diletakkan di depan pintu Galeri Baru adalah sebuah kotak merah besar, tersobek pada keempat sisi. Dari sobekan itu terlihat isi kotak: kapuk. Kotak ditaruh berdiri pada salah satu sudutnya. Dan dihubungkan dengan kotak itu sebuah kotak lain berwarna putih dan banyak tombolnya. Ternyata, jika aliran listrik dipasang lewat kabel yang telah tersedia, dan anda menekan tombol-tombol itu, akan anda peroleh berbagai 'sensasi' yang unik. Antara lain: bunyi sirene, bunyi dering telepon, bunyi semacam bel delman, dan ada juga tombol yang bila ditekan menyebabkan kotak merah berisi kapuk itu berputar sambil berdenging. Inilah karya Subari yang disebutnya Bencana. Imaji bencana itu memang ada dihadirkan si kotak merah jika ditekan tombol-tombolnya. Tentu, itu semua dengan pertolongan alat-alat elektronik. Meski begitu, entah kenapa tak terasa sebagai benda mewah - tidak seperti kalau kita melihat TV berwarna misalnya. Mungkin karena Bencana memberikan sesuatu kepada rohani kita: semacam peringatan atau entah apa. Pokoknya bukan sekedar kotak aneh -- kesan yang biasanya timbul dari karya patung eksperimen yang gagal. Kalau kali ini hanya disebut yang dari Seni Rupa ITB, tak berarti ITB memang jagoan seni patung. Kebetulan saja angkatan yang rata-rata lahir tahun 50-an ini, yang menonjol memang dari ITB. Bisa diamati bagaimana perkembangan nanti. DKJ sendiri terkesan akan pameran ini, dan merencanakan penyelenggaraannya rutin setiap tahun. Dan kata Sidharta, pameran ini bermanfaat untuk saling melihat karya antar mahaslswa. Bamban Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus