BARU kali ini sejumlah mahasiswa jurusan seni patung dari
beberapa sekolah bersama-sama memamerkan karya mereka. Mereka
mahasiswa Seni Rupa ITB, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia
Asri, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dan Universitas
Sebelas Maret, mengetengahkan tak kurang dari 90 karya patung di
Galeri Baru TIM, 1829 April.
Meski datang dari empat sekolah, anehnya kesan pertama masuk
Galeri Baru seakan semua karya ini berasal dari satu kandang.
Mungkin karena banyaknya karya tak sebanding dengan sempitnya
ruangan -- penataan patung kurang leluasa.
Tapi lebih mungkin karena mereka semua masih mahasiswa:
ciri-ciri pribadi dalam karya belum muncul. Hampir semuanya
masih karya-karya studi -- malah kabarnya yang dari ITB memang
karya tugas sekolah.
Dalam hal material pun, mahasiswa empat kota itu (Bandung,
Yogya, Jakarta, Sala) punya orientasi yang sama. Tak sampai 15
buah karya yang bermaterial kayu. Terbanyak adalah patung-patung
batu. Ini mengherankan. Coba, kita tengok STSRI Asri. Kampus ini
boleh dibilang terletak di pinggir kota. Di sana masih banyak
pohon besar, dengan kata lain tak begitu sulit memperoleh kayu.
Lha, kenapa karya yang dipamerkan kebanyakan semen?
Lalu Seni Rupa ITB. Lingkungan ITB semestinya memberi rangsang
memasukkan unsur teknologi. Tapi kita lihat kebanyakan patung
ITB justru dari batu. Hanya satu yang memanfaatkan teknologi:
Bencana karya Subari. Itu contoh yang jelas. Sedang karya LPKJ
dan UNS boleh dikatakan menggunakan material aneka macam:
fibreglass, kayu, semen.
Hampir separuh jumlah karya, menyuguhkan figur manusia yang utuh
atau hanya berupa torso (tubuh tanpa kepala, kaki dan tangan).
Menurut G. Sidharta, pematung yang mengajar di Seni Rupa ITB, di
sekolah ini membentuk figur memang termasuk pelajaran dasar.
Hanya tujuan utama di Seni Rupa ITB hanyalah mengenal bentuk
--bukan membentuk figur itu sndiri.
Badak Tanpa Kaki
Mungkin itu sebabnya kenapa kebanyakan pematung ITB akhirnya
lebih banyak melahirkan karya non-figuratif. Berbeda dengan
Asri. Meski bentuk figur banyak juga disuguhkan, tapi bukan
keindahan bentuknya sendiri. Melainkan rupanya lebih disukai
yang bercerita: ini ibu dan anak, ini potret wajah si anu.
Kalau boleh disimpulkan, agaknya metode pendidikan yang mereka
terima, dari semua sekolah itu, terlalu ketat ke dalam. Teori
buku masih banyak dipegang, tanpa usaha penyesuaian dengan
keadaan lingkungan. Kenapa tak ada yang memanfaatkan bambu?
Orientasi pada teori buku itu juga mungkin yang menyebabkan
pameran mahasiswa empat kota ini seperti berasal dari satu
kandang.
Lebih teliti dilihat, memang kemudian muncul beberapa yang
menunjukkan keunggulan dari yang lain. Di tangga lantai II,
menuju Galeri Baru di lantai III, sesosok patung karatan berupa
sepotong tangan tegak berdiri sebatas pergelangan. Tapi kelima
jari tangan tersebut hanya ada seruas -- yang paling bawah.
Karya Rachmat dari ITB ini memang bukan karyanya terbaik. Tapi
ide materialnya, yang menggunakan tong bekas dan dengan
pertolongan las melahirkan bentuk, boleh juga.
Seonggok bentuk lain yang setelah diamati ternyata bentuk seekor
badak tanpa kaki, juga karya Rachmat, lebih luwes -- tidak
seperti Tangan yang kaku itu. Dengan material yang kelihatan
kotor dan berukuran lumayan besar (Badak: 200 x 90 x 90 cm)
agaknya sudah disarankan di mana sepantasnya, patung itu
ditaruh.
Itulah, dengan ditaruh di ruangan yang bersih, apalagi
dikelilingi karya lain yang jaraknya begitu dekat, ternyata
Badak tak berkutik. Volume tubuhnya yang gagah di ruang itu
memerlukan kesungguhan pengamatan tersendiri untuk menangkapnya.
Sementara ketika pameran sedang dipersiapkan, dan 'Badak'
tergeletak santai di ruang yang cukup memberinya suasana, dia
terasa angker dan gagah. Ini satu contoh bagaimana penuh
sesaknya Galeri Baru. Coba bayangkan -- jika anda sudah
melihatnya -- patung coklat berkarat tersebut diletakkan di
sebuah taman pada rumput yang hijau.
Ada karya lain dari besi berkarat, juga berjudul Tangan, tapi
karya Sarbini. Nah, yang ini menunjukkan penguasaan anatomi
tangan yang cermat. 'Tangan' Sarbini ini lengkap sepanjang
lengan, dengan jarijari sedemikian rupa hingga menyarankan
sedang memegang pistol atau semacamnya, dengan telunjuk siap
memetik picu -- meskipun tak ada apa-apa. Saran itu memberikan
sesuatu yang tersendiri.
Tapi terlebih penting ialah pemanfaatan besi tua untuk ketiga
patung itu. Ternyata, dengan bahan yang biasanya hanya diingat
untuk dibuang, bisa lahir patung yang bisa digunakan menghias
taman, misalnya. Dan soal karat, ah, bukan masalah benar. Sudah
kita ketahui ada semacam obat yang bisa menghentikan proses
karat dan melindungi logam.
Yang diletakkan di depan pintu Galeri Baru adalah sebuah kotak
merah besar, tersobek pada keempat sisi. Dari sobekan itu
terlihat isi kotak: kapuk. Kotak ditaruh berdiri pada salah satu
sudutnya. Dan dihubungkan dengan kotak itu sebuah kotak lain
berwarna putih dan banyak tombolnya. Ternyata, jika aliran
listrik dipasang lewat kabel yang telah tersedia, dan anda
menekan tombol-tombol itu, akan anda peroleh berbagai 'sensasi'
yang unik.
Antara lain: bunyi sirene, bunyi dering telepon, bunyi semacam
bel delman, dan ada juga tombol yang bila ditekan menyebabkan
kotak merah berisi kapuk itu berputar sambil berdenging.
Inilah karya Subari yang disebutnya Bencana. Imaji bencana itu
memang ada dihadirkan si kotak merah jika ditekan
tombol-tombolnya.
Tentu, itu semua dengan pertolongan alat-alat elektronik. Meski
begitu, entah kenapa tak terasa sebagai benda mewah - tidak
seperti kalau kita melihat TV berwarna misalnya. Mungkin karena
Bencana memberikan sesuatu kepada rohani kita: semacam
peringatan atau entah apa. Pokoknya bukan sekedar kotak aneh --
kesan yang biasanya timbul dari karya patung eksperimen yang
gagal.
Kalau kali ini hanya disebut yang dari Seni Rupa ITB, tak
berarti ITB memang jagoan seni patung. Kebetulan saja angkatan
yang rata-rata lahir tahun 50-an ini, yang menonjol memang dari
ITB. Bisa diamati bagaimana perkembangan nanti. DKJ sendiri
terkesan akan pameran ini, dan merencanakan penyelenggaraannya
rutin setiap tahun. Dan kata Sidharta, pameran ini bermanfaat
untuk saling melihat karya antar mahaslswa.
Bamban Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini