S. TAKDIR Alisjahbana, yang dalam usianya lewat 70 masih
mengerjakan novel, hampir 40 tahun yang lalu menegaskan:
"Tiap-tiap penyair menghendaki kebebasan yang sebesar-besarnya
bagi dirinya."
Kini tokoh Pujangga Baru dan perumus semangat gerakan sastra
baru di tahun 1930-an ini ketua Akademi Jakarta, lembaga dari
mereka yang dianggap para sesepuh kesenian di Jakarta, dengan
anggota antara lain Soedjatmoko, Moh. Said, Affandi dan D.
Djajakusuma. Di bawah ini adalah hasil wawancara dengan
intelektuil tua yang tetap sibuk itu:
"Kini kebebasan berkreasi masih ada pada seniman. Tapi kebebasan
menindak masih ada juga pada pemerintah. Rumusan sederhananya
seperti kasus yang menimpa Sokrates. Setelah ia bebas menyatakan
kreasinya dengan hati bersih dan pernyataan tetap pada
pendiriannya, ia pun bersedia masuk penjara. Logika politik
memang tidak sama dengan logika seni. Logika politik memang
selalu memberat pada kepentingan keamanan, sedang logika seni
tidak.
Tapi yang memberi kata akhir dari karya itu bukan saat kini,
tapi jaman yang akan datang. Siapa yang benar akan diuji waktu.
Dalam kasus Sokrates yang dihukum mati, ternyata kemudian bahwa
bukan tindakan hakimnya yang benar, melainkan Sokrates.
Dengan tindakan terhadap Rendra, kebebasan masih tetap ada,
kalau ditinjau dari pribadi seniman. Ambil saja contoh seperti
yang terjadi di Rusia. Pemerintah di sana bersikap keras
terhadap seniman, tapi itu tidak jadi alasan untuk tidak terus
mencipta. Justru di sana penciptaan lebih gencar. Merupakan
kesalahan besar kalau seniman dikuasai perasaan takut. Kalau
sudah demikian keadaannya, dorongan kreatifitasnya lemah.
Pada jaman yang penuh konflik dan tantangan, sajak itu mustinya
penuh dengan persoalan kemanusiaan. Saya sendiri ingin menulis
novel atau sajak dari dalam jiwa yang bernyala-nyala. Tentu saja
sajak yang hanya digunakan untuk melakukan protes sosial
akhirnya bisa seperti sapu atau golok padahal sajak hakikatnya
ialah curahan jiwa. Kalau sudah diperalat seperti itu, pamflet
namanya. Tapi mungkin saja curahan hati itu bertentangan dengan
politik pemerintah. Nah, untuk membedakan curahan hati dari
pamflet itu memang tugas ahli kritik. Yang harus diingat juga:
berisi tidaknya sajak, jangan diukur dengan jumlah tepuk tangan,
atau tindakan pemerintah yang diambil akibat sajak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini