Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah kejadian rendra, bagaimana ?

S. takdir alisyahbana, 70, berpendapat bahwa yang akan menguji kebenaran dari suatu karya seni adalah jaman yang akan datang. sajak adalah hasil curahan jiwa dan bukan digunakan untuk protes sosial. (ter)

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

S. TAKDIR Alisjahbana, yang dalam usianya lewat 70 masih mengerjakan novel, hampir 40 tahun yang lalu menegaskan: "Tiap-tiap penyair menghendaki kebebasan yang sebesar-besarnya bagi dirinya." Kini tokoh Pujangga Baru dan perumus semangat gerakan sastra baru di tahun 1930-an ini ketua Akademi Jakarta, lembaga dari mereka yang dianggap para sesepuh kesenian di Jakarta, dengan anggota antara lain Soedjatmoko, Moh. Said, Affandi dan D. Djajakusuma. Di bawah ini adalah hasil wawancara dengan intelektuil tua yang tetap sibuk itu: "Kini kebebasan berkreasi masih ada pada seniman. Tapi kebebasan menindak masih ada juga pada pemerintah. Rumusan sederhananya seperti kasus yang menimpa Sokrates. Setelah ia bebas menyatakan kreasinya dengan hati bersih dan pernyataan tetap pada pendiriannya, ia pun bersedia masuk penjara. Logika politik memang tidak sama dengan logika seni. Logika politik memang selalu memberat pada kepentingan keamanan, sedang logika seni tidak. Tapi yang memberi kata akhir dari karya itu bukan saat kini, tapi jaman yang akan datang. Siapa yang benar akan diuji waktu. Dalam kasus Sokrates yang dihukum mati, ternyata kemudian bahwa bukan tindakan hakimnya yang benar, melainkan Sokrates. Dengan tindakan terhadap Rendra, kebebasan masih tetap ada, kalau ditinjau dari pribadi seniman. Ambil saja contoh seperti yang terjadi di Rusia. Pemerintah di sana bersikap keras terhadap seniman, tapi itu tidak jadi alasan untuk tidak terus mencipta. Justru di sana penciptaan lebih gencar. Merupakan kesalahan besar kalau seniman dikuasai perasaan takut. Kalau sudah demikian keadaannya, dorongan kreatifitasnya lemah. Pada jaman yang penuh konflik dan tantangan, sajak itu mustinya penuh dengan persoalan kemanusiaan. Saya sendiri ingin menulis novel atau sajak dari dalam jiwa yang bernyala-nyala. Tentu saja sajak yang hanya digunakan untuk melakukan protes sosial akhirnya bisa seperti sapu atau golok padahal sajak hakikatnya ialah curahan jiwa. Kalau sudah diperalat seperti itu, pamflet namanya. Tapi mungkin saja curahan hati itu bertentangan dengan politik pemerintah. Nah, untuk membedakan curahan hati dari pamflet itu memang tugas ahli kritik. Yang harus diingat juga: berisi tidaknya sajak, jangan diukur dengan jumlah tepuk tangan, atau tindakan pemerintah yang diambil akibat sajak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus