ADALAH seorang pangeran tampan yang dikutuk dan seorang putri jelita di sebuah desa .... Demikianlah awal dongeng senantiasa dibuka. Demikian pula dengan alur film Beauty and The Beast, dialirkan lewat plot-plot yang klasik. "Kesederhanaan adalah nilai utama untuk menjadikannya istimewa," kata ilustrator musik Alan Menken, yang bersama Howard Ashman menjadikan animasi musikan ini meraih dua Oscar 1992. Film ini juga merupakan film animasi pertama masuk nominasi film terbaik. Beauty and The Beast berkisah tentang wanita yang cantik, periang, cerdas, dan penuh fantasi bernama Belle. Seorang wanita desa yang ingin lepas dari kesehariannya guna mendapatkan impiannya. Ia dicintai pemuda bernama Gaston yang gagah, tapi ditolaknya karena perangainya yang angkuh dan buruk. Suatu peristiwa menjadikan ayahnya ditawan Si Buruk Rupa dalam sebuah istana persembunyian. Belle dengan ketulusannya bersedia menggantikan ayahnya. Maka, berjumpalah Si Cantik dan Si Buruk Rupa, cinta pun diantar oleh hamba sahaya istana yang sedang dalam kutukan berwujud lilin, cangkir, jam, dan seluruh peralatan istana. Dalam ruang klasik semacam itu, kisah dongeng menjadi ruang imajinasi tak terbatas, seperti anak-anak dengan dunia permainannya. Apalagi karakter animasi memungkinkan fiksi dan realitas dipermainkan. Penjelajahan lalu bergantung pada kemampuan pengkisah menciptakan situasi imajinatif untuk pembentukan rangsang petualangan penontonnya. Kisah film ini dibangun dari situasi pada waktu musim gugur, ketika daun-daun berjatuhan, kemudian keterpisahan Belle dari desanya dan pertemuannya dengan Si Buruk Rupa di istana diselimuti musim dingin. Akhir film lalu seperti impian surgawi, dibangun dalam musim semi, ketika alam penuh warna dan bunga serta burung burung bernyanyi. Dunia dongeng adalah ruang identifikasi kepahlawanan, kepenyairan, dan kemuliaan manusia guna menaklukkan dunia kosmos yang dipenuhi kontradiksi dan kejahatan. Belle dalam film ini dengan cerdik diolah sebagai identifikasi dunia nyata manusia. Maka, Belle diciptakan dalam pola jalan, berdansa, dan bicara seperti manusia biasa. Bahkan untuk itu James Baxter, pelukisnya, memerlukan berlatih berdansa waltz, untuk mencip takan detail realitas dansa Belle. Sementara itu, tokoh Beast alias Si Buruk Rupa adalah gabungan dan kontradiksi karakter singa, bison, gorila, serigala, dan manusia itu sendiri. Suara aktor panggung Robby Benson, yang berpengalaman 30 tahun di beberapa produksi Broadway, dipilih guna melahirkan imajinasi monster yang tinggi besar tapi menyimpan kehangatan, sekaligus frustrasi, intelektualitas, kemurnian, dan humor yang tersembunyi. "Mata adalah jendela jiwa," ujar Glen Keane, yang mendesain Si Buruk Rupa. "Ketika Belle melihat mata Si Buruk Rupa, ia harus merasakan perasaan dan jiwa kemanusiaannya." Kekuatan Beauty and The Beast memang terletak pada detail bahasa tubuh dalam mengungkap emosi, sesuatu yang sering dibiarkan dalam gerak dan simpul-simpul besar dalam penciptaan animasi. Detail ini terlihat juga dalam berbagai unsurnya, menjadi ensambel yang bersahaja, indah, saling mengisi dan memperluas imajinasi, tidak lagi menguasai. Hal ini terlihat dalam penciptaan bayangan, tata cahaya, tuntutan warna, serta musik dan lagu. Maka, lirik lagu Something There adalah balada yang menjadi ekspresi tak terucapkan dari pikiran Belle, sementara lirik lagu Beauty and The Beast yang begitu populer adalah esensi dongeng, senantiasa tak pernah mati. Daya hidup dongeng adalah seperti esensi tanah lempung dalam kisah penciptaan. Kekayaan petualangan imajinasinya dituntun oleh syarat keterampilan dan kearifan menghidupkan materi. Pilihan terhadap penulis skenario, Linda Woolverton, sangat tepat. Ia adalah master lulusan teater anak-anak di Cal State Fullerton. Ia juga aktris, sutradara, dan penulis teater anak anak. Bahkan keseluruhan film ini memerlukan 600 pelukis dengan rentang waktu 3,5 tahun. Untuk orkestranya, diperlukan 62 personel. Tahun ini adalah periode kebangkitan film animasi setelah era 1940-1950-an. Tidak saja di bioskop lewat film Little Mermaid, The Simpsons, ataupun Disney Afternoon, tapi juga di televisi dalam keberagaman dan keseriusan penggarapan. Tercatat sutradara Dave Edwards selama dua tahun mencipta enam seri (30 menit) dari kisah Shakespeare dengan berbagai variasi teknik. Akhir film Beauty and The Beast adalah penutup klasik, sebuah wujud mimpi surgawi yang berakhir dengan kebahagiaan, lewat cinta yang menghapuskan kutukan. Film dongeng lalu menjadi nasihat tanpa beban, karena kesenandungan dengan kearifan simbolis. Si Buruk Rupa adalah wajah manusia. Pertanyaannya: di dunia nyata yang semakin buruk rupa, masih adakah seorang Belle, yang mau melihat kebaikan dalam keburukan rupa? Garin Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini