DALAM pemerintahan kepresidenan, wakil presiden memang sering disebut sebagai ban serep. Karena itulah debat antarcalon wapres AS, Selasa, 13 Oktober lalu, tak mendapat perhatian sebesar debat kepresidenan hari Ahad sebelumnya. Namun, menurut Cara Shockley, sekretaris ISEC Universitas Boston, pemilihan presiden AS sekarang ini sebenarnya mengandung kebimbangan. Orang mungkin mulai merasa bosan dengan Bush, tapi belum begitu yakin terhadap Clinton atau Perot. Dalam keadaan seperti itu, wakil presiden menjadi penting. Bagi Partai Republik, pentingnya wakil presiden kini terasakan benar. Sebab, George Bush, bos Republik, dinilai kalah jauh pada debat pertama dibandingkan dengan penampilan lawannya, Clinton, kandidat dari Partai Demokrat, meski menurut surat kabar Amerika USA Today, angka tertinggi jatuh pada Ross Perot, calon independen. Penampilan Perot yang bergaya "rakyat" memang meyakinkan, dan ia sangat tajam membalikkan serangan. Ketika Bush menilai "pengalaman" sebagai nilai tambah seorang calon presiden, Perot cepat menukas: "Saya tak berpengalaman membuat utang empat trilyun dolar." Harapan kubu Bush bahwa hadirnya calon ketiga, Perot tadi, akan mempersulit posisi Clinton, berbalik. Sebab, soal masa muda Clinton, yang dijadikan sasaran serangan Bush terhadap lawannya itu, kata Perot, "Kalau Anda membuat kesalahan pada masa muda, waktu akan melupakannya." Tapi dalam debat antarwakil presiden, harapan kubu Republik, bahwa hadirnya pihak ketiga membuat kubu Demokrat menjadi repot, memang terpenuhi. Stockdale, calon wakil presiden dari independen, ikut menyudutkan Gore, calon wakil presiden dari Demokrat. Stockdale bertanya pada Gore tentang cara membiayai program lingkungannya yang besar itu. Di luar dugaan, Dan Quayle tampil prima malam itu. Jelas dia memikul beban berat untuk memperbaiki penampilan Bush. Dia sendiri telah lama dianggap sebagai beban untuk pencalonan Bush. Media banyak melecehkannya ketika mengajukan isu nilai keluarga, apalagi ketika ia salah mengeja kentang. Malam itu dia berhasil membalikkan atau sedikitnya memperbaiki citra yang kurang menguntungkan itu. Ketika Gore menyudutkan Quayle tentang hak setiap wanita untuk memutuskan apa yang terbaik buat kandungannya -- dalam isu aborsi -- Quayle dengan hebat menghindari pertanyaan langsung itu, sambil dengan puitis mengajukan mulianya makna keluarga dan kehidupan. Dengan hebat dia terus-menerus menyeret per debatan ke titik lemah Clinton, yang dianggapnya tak mampu berkata benar. Dan ketika dia mengajukan program pembaruan persekolahan, sedikitnya itu meninggalkan kesan bahwa "perubahan" bukanlah milik kubu Demokrat sendiri. Sebagai orang Jawa, saya melihat perdebatan itu "kasar." Dengan seorang moderator dan format diskusi yang longgar, Gore dan Quayle tampak memperebutkan kata dan kesempatan. Belum lagi gaya Dan Quayle yang suka menunjuk-nunjuk, lalu kadang-kadang memotong Gore dengan gaya meledek: "Sebentar. Kau ambil napas dulu lah." Dan karena masing-masing harus tampil sebagai calon wakil, terus-menerus terdengar pujian terhadap calon orang pertama, sambil mencela saingannya. Sepintas seperti dua orang anak yang berkelahi dengan memuji bapak sendiri dan memaki bapak lawan. Tentu hal semacam itu tak boleh terjadi di Indonesia seandainya ada kemungkinan menampilkan para calon wakil presiden -- yang kini mulai diramaikan, meski sidang pleno MPR masih lebih dari lima bulan lagi. Namun, andai kata anggapan bahwa Presiden Soeharto bakal terpilih lagi sudah begitu kuat, mengapa MPR tak diberi kesempatan mendengarkan -- kalaupun tak boleh bertanya -- para calon wakil presiden berbicara? Setidaknya itu akan lebih sehat buat citra demokrasi, meski presiden punya hak prerogatif untuk memilih wakilnya. Setidaknya itu memberikan kesempatan pada khalayak luas untuk mendengarkan pernyataan politik dari calon orang kedua yang bakal menentukan jalannya republik kita lima tahun mendatang. Dalam kosa kata sekarang, ini akan memberi citra positif terhadap Orde Baru, pemilihan umum yang baru lalu, dan memberi angin segar terhadap masa depan yang lebih demokratis. Tentu saja seorang calon wakil presiden tidak cukup hanya mengatakan "bersedia bekerja sama dengan Saudara Presiden." Siapa yang tidak bersedia bekerja sama dengan Presiden Soeharto? Calon wakil presiden itu diharapkan mengemukakan pernyataan yang mengandung visi kenegarawanan, umpamanya. Juga diharapkan ia berbicara tentang arah langkah bangsa dan negara, tentang strategi pembangunan, dan tentang posisi kita yang baru dalam konstelasi dunia pasca-perang dingin ini. Tidak usah adu tanya jawab, kalau itu masih dirasakan saru alias tidak pantas oleh kita semua. Dari pernyataan politik para wakil presiden saja, masyarakat akan dapat membandingkan siapa yang lebih dekat dengan visi Presiden Soeharto, dan apakah ia bisa lebih memberi arah dan harapan ke masa depan. Jangan pula hal ini dirasakan sebagai usaha untuk mengadu yang satu terhadap yang lain. Sebab, dibandingkan dengan perbedaannya, pasti akan lebih banyak persamaannya. Apalagi pilihan terakhir toh masih berada di tangan Presiden. Sungguh tidak ada salahnya mencoba, apalagi karena menurut banyak pengamat, kali ini pencalonan wakil presiden akan merupakan masalah yang krusial sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini