ADA rekan yang putus asa melihat prestasi bangsa Indonesia, hingga sampai pada kesimpulan bahwa anak negeri ini tidak becus mengerjakan apa pun juga. Tapi sobatnya berpendapat lain. Ia yakin anak negeri ini mampu mengerjakan semua hal dan menghasilkan aneka benda, tapi dengan satu kekecualian: ia tak mampu memasarkannya. Dan kalau dibiarkan, ketidakmampuan itu bisa fatal. Kedua pendapat itu ekstrem, namun yang lebih mendekati kebenaran tentulah yang kedua. Pemerintah juga tidak alpa mengenai ketidakmampuan kita di segi pemasaran. Sudah lama dibentuk sebuah lembaga (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) untuk merintis pemasaran produk Indonesia ke berbagai negara. Sedemikian intensnya usaha itu, hingga ada pejabat BPEN yang hampir enam bulan dalam setahun malang melintang di luar batas negara. Kini plywood buatan Indonesia diberitakan sudah merajai pasar Jepang, garmen dan barang-barang kulit telah pula mencuri pangsa pasar di Amerika dan Eropa. Bahkan buku tulis pun bisa menghasilkan devisa dalam jumlah besar, berkat terobosan pasar di Timur Tengah. Tapi, sementara para eksportir berusaha menembus pasar, barang buatan Indonesia dicegat di Amerika, Australia, Jepang. Ada yang dituduh sebagai dumping, ada yang ditolak dengan dalih monopoli, hak-hak asasi, dan upah buruh minimum. Ternyata proteksi negara tujuan ekspor bisa saja menghajar produk kita sewaktu-waktu. Namun itu tidak menghambat Indonesia -- yang didorong hasratnya untuk berglobalglobal -- membuka pintu lebar-lebar untuk berbagai komoditi dari luar. Dalam tempo singkat sejumlah departemen store dan supermarket telah berdiri seraya memajang barang-barang impor dan diam-diam menampung tenaga asing dan barangkali juga modal asing. Ketika dua tahun lalu Sogo hadir di Plaza Indonesia, protes dilayangkan ke alamat departemen store yang berbau Jepang itu. Protes kemudian mereda, tanpa jelas benar apakah karena Sogo memang tidak memanfaatkan modal asing, atau karena sebab lain. Sejak Yaohan tampil di kawasan Segitiga Senen, Jakarta, satu bulan silam, maka protes terulang kembali. Agaknya protes itu bukan dimotivasi oleh sentimen antibarang asing, tapi lebih karena kekhawatiran bahwa departemen store dari mancanegara itu akan menggilas departemen store milik anak negeri. Tentu ada yang menilai kecemasan itu berlebihan. Tapi agaknya sulit untuk melupakan bahwa beberapa tahun sebelum ini ribuan pedagang kecil telah tergusur dari pusat pusat perbelanjaan mewah, tanpa ada yang bisa menolong mereka. Tanpa ada yang peduli. Peristiwa yang sama bukan tidak mungkin akan menimpa pemilik departemen store anak negeri -- yang dalam manajemen dan kapital -- kalah bersaing melawan raksasa eceran seperti Sogo, Yaohan, dan Isetan. Tidak ada jaminan bahwa dalam persaingan terbuka, seperti yang tampaknya akan terjadi di sini, maka pengecer kaliber Matahari atau Cahaya akan diperlakukan lebih istimewa ketimbang Sogo atau Yaohan. Soalnya memang, tidak ada alasan kuat untuk melindungi mereka. Sementara itu pasar Indonesia yang sangat potensial merupakan sasaran empuk, baik bagi raksasa eceran maupun bagi jagoan pemasaran yang sudah pula menancapkan cengkeramannya di sini lewat Avon, Amway, dan sejumlah nama lain. Pemasaran bukanlah soal sepele. Dan saudagar-saudagar kita sebaiknya dipersenjatai oleh Pemerintah -- bukan dengan fasilitas -- tapi dengan aturan main yang jelas, baik di atas kertas maupun di lapangan. Bilamana tidak, pola perdagangan kita di dalam negeri bukan saja tidak bisa menunjang pola perdagangan di luar negeri. Lebih buruk dari itu ialah: barang-barang buatan Indonesia sulit menemukan akses ke pasar, jaringannya lumpuh, dan ia tidak lagi menjadi tuan di negerinya sendiri. Tiga setengah tahun silam TEMPO menurunkan sebuah laporan utama tentang bisnis eceran. Kali ini topik yang sama ditampilkan dengan kemasan sedikit berbeda. Departemen store, yang kini semakin dihantui modal asing, ditampilkan dalam bagian I, menyusul masalah supermarket dan persaingannya melawan sistem jual langsung yang populer dengan sebutan direct selling. Agar lebih lengkap, ada artikel mengenai masalah pajak, di samping hasil wawancara dengan dua saudagar Indonesia: Abdul Latief dan Steve Sondakh. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini