BUNGA rampai ini mula-mula harus dibaca sebagai penje lasan dari dalam, bahwa dalam perkembangan sejagat, Hindu tak pernah usang. Dengan kata lain, dharma (kebenaran) yang dilaksanakan oleh umat Hindu tak lain adalah untuk menyongsong modernitas. Untuk itu, hampir semua penulisnya tertarik untuk mengaitkan pemikirannya dengan "tantangan masa depan". Dalam buku ini tersirat, pada saat ini umat Hindu Indonesia masih perlu melakukan reinterpretasi atas ajaran-ajarannya, baik yang termaktub dalam sruti (yang diwahyukan) maupun smerti (yang menjadi tradisi suci). Modernitas, yang mencekam pelbagai segi kehidupan, berakar pada rasionalisme. Untuk itu, Hindu tak bisa berbuat lain kecuali menggali dasar-dasar rasional dari ajarannya. Dengan kata lain, diperlukan satu pembaruan pemikiran (intelektualisme) keagamaan. Seperti ditulis Nyoman S. Pendit dalam "Kewajiban Kita Mempersembahkan Yadnya", pembaruan itu adalah pembebasan "dari berbagai kehidupan dan kebiasaan agama pada zamannya, mencoba mengembangkan ide-ide pembaruan secara fundamental tentang soal-soal dalam kehidupan". Namun, tidak mudah menghapus citra negatif tentang Hindu. Inilah warisan orientalisme, yang menganggap bahwa pandangan Hindu tentang waktu siklis (reinkarnasi, karma) adalah penolakan terhadap sejarah. Kita tahu, pandangan modern yang bertolak dari Renaisans dan Pencerahan di Eropa menerima sejarah sebagai proses perkembangan linier. Dalam konteks ini, pandangan Hindu "dicurigai" (antara lain oleh Max Weber) tak akan melahirkan gerakan rasional untuk menguasai hidup secara metodis. Apalagi jika Hindu dan modernisme itu merupakan dua wacana yang bertentangan. Untuk orang di luar, pertama-tama yang harus dikatakan adalah bahwa Hindu adalah agama monoteistik. Karena Hindu punya Yang Mutlak, Makhluk Tertinggi Murni, yakni Brahman. Ini kiranya yang menjadi dasar bahwa telologi Hindu sejajar dengan teologi agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Penjelasan mengenai monoteistik Hindu ini tampaknya yang paling logis dan produktif di alam modern. Sebab, seperti dikatakan oleh Nyoman S. Pendit, kemajemukan Tuhan lambat-laun tak dapat memuaskan insan dan intelektual Hindu. Pesan kitab-kitab suci Weda harus dirumuskan kembali dalam bahasa yang bebas dari ortodoksi para agamawan kuno. Monoteisme lebih dekat dengan rasionalisme. Seperti yang dicontohkan oleh Mahatma Gandhi, dharma juga harus digantungkan pada kesadaran manusia. Tak perlu lagi melakukan apologi terhadap agama sendiri. Atau bagaimana menjadikan Hindu sebagai paradigma yang hidup. Para penulis yang lebih muda dalam bunga rampai ini tampaknya ingin melancarkan kritik ke dalam. Umat Hindu tidaklah bebas dari kelemahan. Misalnya, tulis I N.G. Mudiarcana ("Kepribadian Hindu dan Pembangunan Masa Depan"), terlalu mengembangkan pola sikap yang lebih mengarah pada dimensi batin dalam memahami ajaran agamanya". Sedangkan Arya Suharja ("Generasi Muda Hindu: Kelana atau Tawanan Sejarah?") mempertanyakan: "Dari tatanan masyarakat dengan tradisi intelektual yang belum mantap, harmoni ditempatkan sebagai nilai tertinggi, dapatkah diharapkan terjadi dialektika sejarah?" Ini sebenarnya suatu pertanyaan, bagaimana memulai pembaruan dalam paradigma Hindu itu. Kalau pembaruan masih merupakan idealisme, paling tidak yang mendesak dilakukan adalah reaktualisasi ajaran. Umat Hindu harus berpikir bahwa "agama, ritual, dan adat, adalah semata-mata alat, bukan tujuan" (Raka Santeri, "Hindu di Bali: Arah dan Tantangannya"). Maka, perlu diingat, di masa lalu, ajaran Hindu -- sanatana dharma -- telah diterjemahkan secara kreatif ke dalam khazanah sosial-lokal. Bali adalah contohnya. Adalah Resi Markandeya (abad ke-8) dan Empu Kuturan (abad ke-10) yang telah meletakkan dasar-dasar Hindu Bali. Dan Bali pula nantinya diharapkan memancarkan cahaya sanatana dharma berkhazanah lokal itu ke seluruh dunia. Dengan bahasa yang amat sederhana (bahkan kering) buku ini tampaknya berhasil menggugah kesadaran umat Hindu tentang "tantangan masa depan". Tapi, buat saya, cerdik pandai Hindu, betapapun kritisnya, mereka terlalu asyik menggali sumber-sumber dari khazanah mereka sendiri. Mereka tampak jauh dengan sumber-sumber intelektual di luar tradisi mereka. Paling-paling, mereka berusaha melakukan abstraksi terhadap isu-isu yang sudah beredar seperti globalisasi. Buku ini terlampau polos dan lugu untuk dapat menarik perhatian kaum cendekiawan non-Hindu. Saya kira, ini barulah sebuah permulaan untuk intelektualisme Hindu yang sebenarnya. Yakni intelektualisme yang bukan untuk membangun primordialisme Hindu, tapi untuk memberikan paradigma alternatif terhadap modernitas. Tentu intelektualisme Hindu yang membuat sejumlah dialog yang produktif. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini