Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
FFI memakai nama Tanete Pong Masak untuk nama penghargaan
Tanete sejak muda tekun mengkaji film Indonesia dari berbagai dimensi
FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 2021 menghadiahkan piagam penghargaan Tanete Pong Masak untuk pemenang kritikus film terbaik. Suatu apresiasi yang patut dikemukakan karena penghargaan kepada kritikus film seperti timbul-tenggelam. Tapi siapakah Tanete Pong Masak? Marilah kita lebih jauh mengenalinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya pertama kali bertemu dengan Tanete di Paris pada pertengahan 1980. Pada saat itu ia sedang menyelesaikan studi doktoralnya. Orangnya romantis, mencintai sastra khususnya sastra Prancis, menggemari teater, dan diam-diam juga melukis. Belakangan sudah belasan lukisan ia buat, meski belum pernah sekali pun dia pamerkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanete terlahir di Kampung Buntao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 1953 dalam suasana pemberontakan Tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang dikepalai oleh Kahar Muzakar. Nama Tanete diberikan kepadanya sebagai nama yang sama dengan nama rumah adat dari marga Pong Masak. Tanete merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. Mereka sempat mengungsi ke kota sampai pergolakan tersebut mereda.
Setelah tamat sekolah dasar, Tanete masuk sekolah calon pastor Katolik, yaitu Seminari Menengah, selama tahun. Selanjutnya ayah Tanete berkonsultasi dengan kepala seminari dan kepala seminari itu berkesimpulan sebenarnya minat dan bakat Tanete lebih kuat pada bahasa. Maka cita-cita menjadi pastor terhapuskan dan Tanete kemudian berkuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar, di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris (1973-1976). Studinya itu membukakan pintu beasiswa baginya untuk studi ke Prancis di bidang linguistik terapan dan budaya Prancis (1976-1980).
Penerima penghargaan Tanete Pong Masak, Kukuh Yudha Karnanta
Selepas studi kesarjanaan bahasa Inggris, Tanete yang memang berbakat menggeluti bahasa itu lalu melanjutkan studi magister dan doktoralnya (1980-1989) di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Université de Paris. Ia mencari tambahan penghasilan dan dana untuk membayar kuliah dari mengajar bahasa Indonesia di beberapa lembaga pendidikan di Paris.
Pembimbing utama disertasinya adalah seorang sejarawan dan sekaligus Indonesianis ternama, yaitu Profesor Denys Lombard. Disertasinya kelak dibukukan di Jakarta oleh penerbit Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta dengan judul Sinema pada Masa Soekarno. Intinya, Tanete menganggap bahwa film bisa menjadi subyek kajian ilmu sosial, tepatnya menangkap fakta sosial secara menyeluruh. Dengan kata lain, sosiologi film yang merangkum sejarah film Indonesia di masa kolonial Belanda sampai akhir masa berkuasanya presiden pertama RI, Sukarno.
Tanete, antara lain, menyimpulkan dalam disertasinya bahwa nasionalisme sebagai motor penggerak dan rem perfilman Indonesia. Pada awal 1950-an, kita telah melihat lahirnya perfilman nasional. Berbeda dengan masa kolonial (1900-1949), ketika ranah perfilman didominasi oleh orang Barat, Tionghoa, dan kemudian Jepang, periode berikutnya adalah munculnya orang-orang Indonesia.
Selama masa Demokrasi Parlementer, ada suatu inkarnasi mitos Hollywood dalam alam Djakartawood. Pada masa ini, kita memahami bahwa iklim liberal sebagai tanda modernitas ditegakkan untuk mengikuti model Amerika Serikat. Titien Sumarni, Nurnaningsih, Netty Herawaty, Dahlia, dan Bambang Hermanto adalah para superstar-nya. Iklim yang menjadi landasan dominasi film Amerika Serikat itu berangsur-angsur menimbulkan perlawanan sosial. Hal itu menggerakkan kelompok-kelompok penekan dan para moralis untuk melawan bahaya “krisis akhlak”.
Sekembali ke Tanah Air, Tanete sempat mengajar di Universitas Hasanuddin, tapi ia kemudian memutuskan tempat yang lebih cocok baginya untuk mengajar adalah Jurusan Sastra Prancis Universitas Indonesia. Pada 1995 Tanete menikah dengan mahasiswinya, sungguh pun kelak mereka berpisah. Tanete juga aktif di Institut Kesenian Jakarta, khususnya di Fakultas Film dan Televisi, sebagai pengajar dan banyak membantu saya dalam memimpin fakultas (2004-2008). Selain itu, ia membagi waktunya untuk mengajar di Universitas Atma Jaya, yang menjadi home base-nya sebagai dosen tetap.
Selama di FFTV IKJ, Tanete membantu mendatangkan dosen-dosen dari Fakultas Audio Visual Paris III (Sorbonne Nouvelle). Film dikaji dari berbagai pendekatan, termasuk ihwal kepenontonan dan kebijakan-kebijakan dalam pemasarannya. Sungguh tampak antusiasmenya yang besar terhadap kajian film. Pada suatu Ahad di 2010, saya dan Tanete berjanji untuk bertemu makan siang sambil mengobrol di Plaza Semanggi, yang dekat dengan Universitas Atma Jaya. Pada Rabu lusa yang dijanjikan, kami memang bertemu, tapi di ruang gawat darurat Rumah Sakit Jakarta, karena ia terkena stroke sewaktu sedang menguji mahasiswa.
Kondisi pasca-stroke agak menganggunya dalam mengajar, tapi ia tetap semangat dalam mengajar sampai masa pensiunnya tiba (2014). Kemudian saya membujuknya untuk kembali mengajar di FFTV IKJ, tapi kondisi kesehatannya makin menurun. Berulang kali ia mengucapkan, “Saya ingin pulang”. Sementara saya menangkap maksudnya itu sebagai pulang ke Tanah Toraja. Bujukan-bujukan saya tidak mempan, tapi yang sungguh mengesankan, disertasinya berhasil diterbitkan dan diluncurkan dalam beberapa kesempatan.
Sinema Pada Masa Soekarno
Niat Tanete untuk pulang kampung makin menguat dan ia berniat membawa 300-an bukunya yang kebanyakan berbahasa Prancis ke Tana Toraja. Padahal saya sempat menawarkan sebagian bukunya itu dibeli oleh FFTV untuk menambah koleksi perpustakaan. Jawaban Tanete, ia ingin membuat perpustakaan di kampung halaman.
Dua tahun setelah kepergiannya ke kampung halaman, saya kemudian mendengar kabar bahwa ia wafat, pada Desember 2017, dalam usia 64 tahun. Selama tiga hari jenazahnya dibaringkan di dalam sebuah peti yang belum tertutup rapat di lantai atas rumah adat Toraja yang di luarnya berhiaskan tanduk-tanduk kerbau.
Para kerabat silih berganti datang untuk menghiburnya, seolah-olah ia memang masih hidup. Ada yang mengajak berbicara dengan Tanete yang terbaring di dalam peti, ada yang bergerak-gerak seperti membuat tarian. Bahkan, setiap pagi dan sore dihidangkan makanan dan minuman yang baru untuk Tanete yang sudah berpulang. “Orangnya berhati halus,” tutur adik kandung perempuan Tanete, Elisabeth Pong Masak.
Pada hari ketiga, diiringi oleh suara seruling yang menyayat, peti jenazahnya diturunkan dari rumah adat untuk diadakan ibadat melepas arwah. Pada saat itu, isak tangis para sahabat terdengar, karena mereka baru menganggap bahwa ia betul-betul sudah berpulang. Selesai acara doa secara agama Katolik, peti jenazahnya dibawa ke permakaman di sisi gereja yang tak jauh dari rumah adat.
Sayangnya, disertasi Tanete yang pertama kali diterbitkan pada 2016 itu diselipi banyak foto dan ada satu yang bermasalah. Itu adalah foto di halaman 164 yang menunjukkan Bung Karno sedang berbincang dengan bintang Hollywood, Marilyn Monroe, Elizabeth Taylor, dan Jackie Onassis. Foto itu merupakan manipulasi atau foto palsu atas hasil rekayasa teknis fotografis.
Sementara itu, Tanete hampir tidak pernah menulis kritik atau ulasan film sebagai teks. Karya utamanya adalah disertasi kajian film yang kontekstual dengan ilmu lain sebagaimana yang telah dibukukan tersebut.
Dengan catatan-catatan seperti itu, Tanete Pong Masak memang pribadi penuh sopan santun dan pencinta berbagai jenis seni terutama sastra. Di atas itu semua, ia layak dikenang sebagai akademikus yang sangat serius dalam mengembangkan kajian film.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo