Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Singaraja Literary Festival digagas untuk membangkitkan intelektualitas pencinta sastra di Kota Singaraja.
Sejarah mencatat Singaraja sebagai pusat intelektualisme Bali pada masa lampau.
LUKISAN potret hitam-putih Tuan Dertik—julukan masyarakat Bali bagi linguis Belanda, Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894)—menyambut pengunjung di atas pintu ruang pameran Gedong Kirtya. Museum dan perpustakaan naskah lontar yang didirikan di Kota Singaraja pada 1928 ini dibuka dari Senin sampai Jumat. Namun pada Ahad, 25 Agustus 2024, Gedong Kirtya membuka pintunya lebar-lebar untuk tetamu. Pengunjung bahkan tidak dikenai tiket masuk seperti biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Gedong Kirtya menjadi bagian penting dari Singaraja Literary Festival (SLF), hajatan sastra tahunan yang digelar pada 23-25 Agustus 2024. SLF dapat dikatakan festival sastra paling muda di Indonesia. Festival yang dibidani oleh pasangan suami-istri sastrawan Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti ini baru lahir pada 2023. Usianya masih balita, berselisih jauh dengan “kakaknya” yang sudah berumur 20 tahun, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF). Dalam penyelenggaraan kedua tahun ini, si bungsu tampil lebih megah dan meriah daripada sebelumnya berkat dukungan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Dana Indonesiana Kategori Pendanaan Ruang Publik Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana pada tahun lalu, Gedong Kirtya menjadi episentrum SLF 2024. Puluhan acara dalam perhelatan sastra terbesar di Bali utara ini dipusatkan di area sekitar situs bangunan bersejarah tersebut. Berbagai program kegiatan SLF tersebar di sejumlah lokasi, yaitu Sasana Budaya, Museum Buleleng, kantor Dinas Kebudayaan Buleleng, Puri Kanginan Buleleng, Wantilan Desa Pakraman Buleleng, dan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Buleleng. Lokasi-lokasi ini berada di seputar Perempatan Agung di kawasan pusat pemerintahan Kerajaan Buleleng masa lalu dan sentra pemerintahan Kabupaten Buleleng masa kini.
SLF tak sekadar mengangkat Gedong Kirtya sebagai tengaran fisik, tapi juga terutama sebagai tengaran simbolis yang menandai identitas Singaraja. Rumah bagi harta karun literer Bali berupa ribuan naskah lontar, Gedong Kirtya melambangkan pusaka intelektualisme yang tertanam di jantung sejarah kultural Singaraja. Gedong Kirtya dijadikan simbol visi SLF untuk membangkitkan pamor Singaraja sebagai kota intelektual. Menurut Direktur SLF Kadek Sonia Piscayanti, Singaraja merupakan kota yang banyak melahirkan cendekiawan yang banyak menyumbangkan gagasan luar biasa. “Kami ingin menghidupkan intelektualisme Kota Singaraja yang berakar dari Gedong Kirtya,” ujar Sonia dalam sambutannya pada malam pembukaan SLF 2024.
Sejarah memang mencatat Singaraja sebagai pusat intelektualisme Bali pada masa lampau. Dalam Kebalian (2020), sejarawan Michel Picard menyatakan Singaraja adalah tempat terbentuknya kaum cendekiawan Bali. “Singaraja,” kata Picard, “kota pelabuhan kosmopolitan yang telah lama terbuka bagi dunia luar dan merupakan pusat pemerintahan daerah Bali dan Lombok sejak 1882. Di kota inilah terbentuk kaum elite Bali modern, kaum terpelajar yang dididik di sekolah-sekolah kolonial.”
SLF memilih bergerak di jalur sastra untuk membangkitkan pamor intelektualisme Singaraja kontemporer. Selain karena penggerak festival ini adalah sastrawan, pilihan tersebut mencerminkan nalar kesejarahan. Menurut akademikus I Nyoman Darma Putra dalam A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century (2011), karya sastra berbahasa Melayu/Indonesia baru muncul di Bali pada 1920-an melalui majalah Surya Kanta dan Bali Adnjana yang terbit di Singaraja. Artinya, Singaraja adalah kota kelahiran sastra modern Indonesia di Bali. Sastra modern Indonesia di Bali tumbuh dari kolam intelektualisme Singaraja yang menguasai penerbitan media cetak di Bali pada 1920-an sampai awal 1940-an.
Seakan-akan berkaca pada sejarah literer Singaraja, SLF tampak didorong oleh keyakinan tentang adanya jalur paralel antara pertumbuhan sastra dan perkembangan intelektualisme. Di Singaraja, dulu iklim intelektualisme yang semarak pernah menumbuhkan sastra. Sekarang giliran sastra menyuburkan iklim intelektualisme yang sering dirasakan gersang dan redup. Konon, keredupan tersebut terjadi sejak ibu kota Bali dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar pada 1960.
Meskipun usianya masih sangat muda, SLF memiliki semangat tinggi. Lebih dari 40 acara mengisi jadwal SLF 2024. Selama tiga hari, dari pagi sampai larut malam, kawasan tua sekitar Gedong Kirtya diramaikan oleh diskusi panel, kuliah umum, lokakarya, peluncuran buku, lomba baca puisi pelajar, pembacaan sastra, pementasan teater, pertunjukan musik, dan pemutaran film. Sederetan panjang penulis, sastrawan, seniman, cendekiawan, aktivis, pekerja seni, dan akademikus dari dalam dan luar Bali dihadirkan di panggung festival. Ada nama-nama yang sudah tidak asing lagi di jagat sastra dan budaya nasional, seperti Dewi “Dee” Lestari, Aan Mansyur, Saras Dewi, Ayu Laksmi, Tan Lioe Ie, dan Oka Rusmini. Cakupan internasional SLF 2024 diwakili oleh partisipasi sejumlah penulis mancanegara yang tergabung dalam organisasi Asia Pacific Writers & Translators.
Sesi diskusi panel dalam Singaraja Literary Festival di Gedong Kirtya, Singaraja, Bali, 24 Agustus 2024. Dok. SLF
Tahun ini, SLF mengusung tema “Dharma Pemaculan: Energi Ibu Bumi”. Dharma Pemaculan adalah salah satu naskah lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya. Lontar ini merekam pengetahuan tradisional tentang pertanian, terutama cocok tanam padi. SLF 2024 mengangkat lontar ini sebagai inspirasi kearifan silam untuk menjelajahi berbagai wacana kritis mengenai pertanian, ekologi, dan peradaban kontemporer.
Tema festival tersebut paling pekat mewarnai diskusi panel. Sebagian besar sesi diskusi panel membicarakan kelangsungan hidup budaya pertanian, teks kuno dalam konteks baru dan transformasinya menjadi teks baru, masalah lingkungan, serta perempuan sebagai subyek budaya yang merepresentasikan “ibu bumi”. Ada acara diskusi “Sastra dalam Pertanian, Pertanian dalam Sastra”, “Air dan Peradaban Pertanian Bali dalam Teks Sastra”, “Khazanah Rempah, Makanan, dan Obat bagi Raga”, “Perempuan, Lingkungan, dan Segala tentang Dunia”, juga diskusi lain.
Tampaknya, keinginan SLF untuk “menghidupkan intelektualisme Kota Singaraja” diterjemahkan dalam festival sastra yang menonjolkan kegiatan diskursif, bahkan bernuansa ilmiah. Diskusi panel mendominasi festival sejak pagi sampai sore. Acara apresiatif dan rekreatif seperti pentas seni dan pemutaran film, program festival yang menarik minat masyarakat umum di luar lingkaran sastra, baru dimulai pada petang. Tentu saja, pengunjung pada malam selalu lebih ramai dan beragam dibanding pada siang.
Sebagai festival sastra yang masih kuncup, wajar jika SLF 2024 punya banyak kekurangan. Sebut saja sisi produksi acara dan fasilitas untuk peserta dan pengunjung yang belum optimal. Sebagian kekurangan ini tampaknya disebabkan oleh lokasi festival yang berada di lingkungan prasarana instansi pemerintah. Kurangnya sarana dan peralatan pendukung festival di Singaraja juga menjadi hambatan. Catatan lain, program paralel di sejumlah lokasi berbeda membuat pengunjung tidak dapat mengikuti semua acara yang diminati.
Bagaimanapun visi, semangat, dan kerja keras penyelenggara SLF 2024 patut dihargai tinggi-tinggi. SLF menawarkan alternatif menarik terhadap festival sastra UWRF di Ubud yang telah begitu mapan ataupun festival seni-budaya lain di Bali. Acara ini sekaligus berpotensi menarik wisatawan ke Bali utara dari wilayah Bali selatan yang sudah kelebihan turis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suara Literasi dari Gedong Kirtya"