Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar itu sesungguhnya tidak lucu-lucu amat. Seseorang berbadan gempal, berkacamata hitam, mengenakan pakaian adat Bali, tengah menginjak kaki seorang hansip. Dengan enaknya ia meng-ucap: ajeg Bali. Sang hansip hanya meringis. Inilah sindiran kartunis Rudy Srihandoko terhadap para pecalang di Bali yang menggantikan petugas keamanan resmi.
Dari sekian puluh kartun yang dipajang di pameran ”Bali is My Life”, hanya karya Rudy itu yang mengangkat gejala ”preman-preman” adat. Di luar itu, Bali cukup digambarkan dari sudut pandang pariwisata. Diikuti partisipan kartunis dari Italia, Turki, sampai Ukraina, pameran ini sebelumnya telah berkeliling Brisbane-Sydney-Melbourne. Tapi, bila kartun masih dianggap sebagai sebuah refleksi sosial, pameran ini tak menampilkan hal-hal yang ”tajam”.
Ya, kebanyakan kartunis asing masih membayangkan Bali sebagai sebuah destinasi rekreasi. Malah ada beberapa ide yang sama. Bandingkan misalnya karya Antannassios Efthimiadias dari Yunani dengan karya Bartlomiej Belniak dari Polandia. Gambar keduanya tentang makhluk angkasa luar yang mengarahkan pesawatnya ke bumi dengan tujuan Bali.
Sedangkan yang lain tak jauh dari anekdot turis, pantai, dan matahari tropis. Simak karya Hola Crisan dari Rumania: sebuah pesawat menarik seseorang yang berselancar di awan. Atau Oleg Loktyev dari Ukraina: di dasar laut dua penyelam pengelana tengah berdiskusi. Semuanya catatan atas Bali sebagai surga tamasya.
Jango Pramartha, kartunis Bali yang mengkoordinasi pameran ini, mengakui memang, untuk kartunis asing, banyak yang belum pernah ke Bali. Untuk menjaring keterlibatan mereka, ia hanya mengirim e-mail, memberikan deskripsi Bali secara umum, dan tak memberikan batasan tema—mereka bebas menafsirkan Bali.
”Malah ada yang pernah ke Bali tapi lupa dengan negara Asia lain yang pernah dikunjunginya,” ujar Jango. Jadi memang para kartunis luar tampak memiliki siasat tak mengambil peristiwa lokal Bali. Grigoris Georgiou, kartunis Yunani, misalnya, menggambarkan seseorang yang tengah tidur di ayunan kain di atap gedung metropolis bertingkat, seolah di Bali. Sedangkan Demetrios Covtarel-li dari Mesir menggambarkan seseorang membuat boneka salju yang terus meleleh di pantai.
Para kartunis Indonesia dalam menangkap realitas Bali juga tak banyak bergerak jauh dari hal-hal turisme. Cara baca beberapa kartunis kita ma-sih membayangkan Bali sebagai sebuah entitas yang unik, yang kemudian makin lama makin kehilangan kebaliannya. Itulah mungkin yang ada di benak kartunis Priyo P.P., yang menggambarkan seorang investor datang dengan balon udara ke tanah Bali. Atau gambar Syamsul Arifin, kartunis kelahiran Sririt Singaraja: seorang pelayan hotel, sembari membawa nampan, mengejar sampai ke tengah laut seorang turis yang tengah berselancar: ”Sir, you forgot your breakfast.”
Padahal Bali, menurut peneliti asal Prancis, Michael Picard, berubah bukan lantaran hantaman kekuatan dari luar, melainkan lantaran masyarakat Bali mengubah cara pandang terhadap diri sendiri. Maraknya peristiwa konflik lokal di Bali, yang oleh beberapa peneliti dilihat sebagai buah cara pandang atas munculnya identitas kebalian yang mengeras, minim diparodikan di pameran ini. ”Untuk tema politik ada pameran tersendiri,” kata Jango berkilah.
Seno Joko Suyono, Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo