Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALASutradara dan skenario: Joko AnwarPemain: Fachri Albar, Aryo Bayu, Shanty, FahraniProduksi: MD Pictures
Dunia yang diciptakan Joko Anwar adalah sebuah negeri yang senantiasa remang-remang; tanah yang selalu basah oleh deras hujan dan penduduk yang tak punya cinta. Dunia rekaan Joko Anwar dalam film Kala bukanlah Indonesia (meski penduduknya berbahasa Indonesia); bukan Jawa (meski ada beberapa kutipan dan nama-nama Jawa); bukan pemerintah Indonesia (meski ada polres dan ada menteri kebudayaan dan pariwisata dan ada kebodohan yang tampaknya identik dengan tingkah laku kita) dan bukan pula Jakarta. Hidup dimulai dengan sebuah antah-berantah, ketika seorang lelaki terbunuh dikeroyok dan seorang polisi yang mengenakan jas dan topi seperti detektif Dick Tracy tengah mewawancarai saksi. Sang polisi (yang kira-kira sama dengan reserse) itu bernama Eros (Aryo Bayu) yang ganteng banget. Harap para penonton perempuan jangan gatal karena ternyata si polisi belum tentu menyukai lawan jenis.
Kemudian kamera berpindah pada protagonis kita, Janus (Fachri Albar), yang juga ganteng banget tapi senantiasa terlihat basah (oleh hujan dan keringat), terengah-engah menuju pengadilan perceraiannya. Istrinya, Sari (Shanty), tak tahan karena Janus menderita narkolepsi, suatu kecenderungan kerap tertidur di tengah kegiatan apa pun yang menegangkan. Pada hari itu pula, Janus dipecat oleh media tempatnya bekerja karena alasan yang sama. Pada hari yang nahas itu, Janus justru mendapatkan sebuah bukti penting yang jika jejaknya diikuti akan mengarah kepada para pejabat tinggi negaranya. Tak mengherankan, maka Janus sejak detik itu menjadi kejaran banyak pihak karena dia memiliki rahasia yang dikejar segenap penjuru dunia. Dunia yang diciptakan Joko Anwar tadi. Ini dia signature Joko: acara kejar-mengejar dalam waktu yang singkat, seperti Janji Joni dan film Jakarta Undercover (yang skenarionya ditulis oleh Joko).
Karena ini adalah sebuah dunia rekaan yang disengaja tak ingin memiliki latar yang mendekati realita, maka kita harus menyaksikan film ini de-ngan mentalitas yang pasrah: masuklah ke dalam fantasi Joko Anwar. Dengan sikap seperti itu, maka Anda akan bisa menikmati film ini tanpa rewel, tanpa banyak bacot, karena Joko menawarkan sebuah petualangan suspense/thriller yang sengaja disimpan rapat bahkan sampai paruh pertama film. Memang, hampir setiap 20 menit kita disesaki dengan informasi baru; peristiwa baru, pembunuhan atau pengkhianatan baru. Pokoknya, semua penduduk dunia Joko ini jahat dan keji, kecuali si Janus yang ma-lang itu. Oh ya, dan tentu saja si polisi ganteng banget yang ternyata tidak gemar perempuan itu juga orang baik. Dengan setumpuk informasi baru itu, kita kemudian merasa rada sesak. Tapi kita harus sabar, karena kita paham Joko sedang mengajak kita pada sebuah akhir yang mengejutkan.
Semakin mendekati klimaks, kita semakin sadar, Joko Anwar memang seorang penggemar fanatik film Hollywood. Aura film ini memberikan rasa basah derasnya hujan dalam film Sin City (Robert Rodriguez); kekejian darah yang muncrat gaya Quentin Tarantino dalam Kill Bill, dan suspense ala M. Night Shyamalan. Tidak apa, karena kita semua memang penggemar para maestro ini. So what, yang penting bagaimana Joko Anwar bisa meyakinkan bahwa dunia rekaannya ini sesuatu yang bisa kita percaya. Kita semua sudah siap bahwa logika yang digunakan adalah logika dunia baru, bukan logika dunia nyata. Jadi, jika begitu banyak pembunuhan yang bertubi-tubi, dengan polisi yang itu-itu juga; atau jika seorang menteri dengan enteng main tembak sana-sini, kita tak perlu protes atau bawel. Bukankah ini dunia Joko Anwar?
Pada akhir film, yang tentu saja harus saya simpan rapat atas nama sumpah darah, segala yang jadi tanda tanya segera terjawab dengan serangkaian adegan ala Shyamalan. Kita segera paham, meski tidak terkejut setengah mati sampai menganga. Soal daya kejut pada akhir cerita memang sering dianggap berlian bagi sineas kita. Cuma harus diingat, daya kejut pada akhir cerita hanya satu dari segelintir daya tarik sebuah film. Pada akhirnya yang penting adalah proses bertutur, proses mengisahkan seluruh cerita. Unfolding the untold. Dari semua kejutan itu, adegan yang paling mengesankan malah adegan percintaan suami-istri Janus dan Sari yang mesra.
Kali ini, setelah Joko mengguncang dengan debutnya, film Janji Joni yang segar itu, Kala jadi sebuah film kedua yang penuh perhitungan dan pemikiran. Dengan sinematografi yang luar biasa, meski cerita yang agak ruwet, Joko menawarkan gaya petualangan yang baru, dengan bahasa baru. Bukan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Joko Anwar.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo