Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERCIKAN bercak darah itu melayang di atas seekor celeng berbadan gemuk. Bercak-bercak merah itu mengelilingi topi hitam yang memayungi sang babi hutan. Di bawah celeng yang tengah berdiri itu, seekor anjing tampak berlari. Sebait sajak menghiasi gambar sketsa dengan latar putih itu.
Sketsa karya penyair Goenawan Mohamad berjudul Pemburu Babi Hutan itu menampilkan gambar celeng dan anjing pemburu. Gambar itu merupakan satu di antara 80 karya sketsa terbaru Goenawan yang tampil dalam pameran tunggalnya di Kiniko Art, Sarang Building, Yogyakarta. Pameran bertajuk "Ke-Tengah" yang berlangsung hingga 30 November itu merupakan bagian dari parallel event Biennale Jogja 2017. "Celeng berasal dari sajak ’Pemburu Babi Hutan’. Itu muncul dari pengalaman saya sewaktu masih kecil. Saya kira itu enak digambar," kata Goenawan.
GM panggilan akrab Goenawan menyisipkan sajak "Pemburu Babi Hutan" di bagian bawah bidang gambar sketsa berukuran 37 x 29,5 sentimeter itu:
Pemburu dengan lembing yang patah
Siapa tahu ia menorehkan namanya di
kulit kayu kusam dengan tangan yang luka
setelah babi-babi hutan mengalahkannya
Sajak "Pemburu Babi Hutan" mengisahkan pengalaman Goenawan ketika masih anak-anak melihat orang Tionghoa yang jago silat di desanya di Batang, Jawa Tengah. Peranakan Cina itu seorang pemburu babi hutan. Goenawan membayangkan dia tewas, lalu tak ketahuan rimbanya. Kematian orang Tionghoa itu hanya menyisakan topi yang dibawa anjingnya.
Karakter Tionghoa juga muncul pada sketsa berseri dengan judul Topi. Ada empat topi dalam karya berukuran masing-masing 37 x 29,5 sentimeter tersebut. Pada seri 1 dan 2, topi menutupi kepala orang Tionghoa. Pada seri 3, topi melayang di atas kepalanya. Adapun seri 4 menggambarkan topi yang mengempas ke udara. Lembing terbang di antara gumpalan percikan darah. Sama halnya dengan sketsa Pemburu Babi Hutan, karya itu juga dilengkapi dengan sajak "Pemburu Babi Hutan" di bagian bawah gambarnya.
Sentuhan Tiongkok lainnya muncul pada 10 sketsa berseri berobyek seni pertunjukan wayang potehi. Goenawan membuat 10 karakter boneka kuno asal Cina yang melegenda sejak ribuan tahun silam. Sepuluh gambar potehi masing-masing berukuran 37 x 29,5 sentimeter. Sie Jin Kwie, kesatria Dinasti Tang, menghiasi seri sketsa itu. Tokoh Sie Jin Kwie kerap dipentaskan dalam pertunjukan wayang potehi di banyak tempat. Wayang potehi pernah berjaya dan sempat dilarang penguasa Orde Baru. Di era reformasi, kesenian itu kembali tampil dengan melibatkan dalang bukan hanya keturunan Tionghoa, tapi juga orang Jawa.
Lewat karakter Cina dalam gambarnya, Goenawan tak hendak menyodorkan situasi sosial-politik yang terjadi hari-hari ini. Dia mengatakan tidak pernah mengerjakan hal-hal kreatif yang secara sadar dikaitkan dengan keadaan sosial-politik, karena hal itu akan menghambat kebebasan berpikir.
Seperti sajak-sajaknya, Goenawan menghindari simbol-simbol dalam sketsanya dengan alasan itu mematikan gerak gambar. Dia membingkai simbol-simbol dengan makna yang sudah jadi. Ia juga tidak mau bereksperimen secara luar biasa dalam karyanya. Bagi dia, gambar adalah energi visual. Ia menciptakan sketsa dengan dorongan untuk kembali ke tengah yang visual, sesuai dengan judul pamerannya: "Ke-Tengah". Tengah, kata Goenawan, adalah sesuatu yang nisbi, ia ada dalam konstelasi dari pelbagai posisi.
Bila dibandingkan dengan karya-karya yang dia pamerkan sebelumnya, terjadi perubahan pada visualisasi figur ataupun warna pada kertas sketsanya. Goenawan telah empat kali berpameran di Yogyakarta dan Jakarta. Tahun lalu, dalam pameran sketsa "PE.TIK.AN" di pelataran rumah pelukis Djoko Pekik, ia menciptakan obyek lanskap. Tapi, pada pameran kali ini, ia tak memunculkannya. Goenawan sekarang lebih banyak menggambar benda hidup: manusia dan binatang. Menurut dia, gerak orang dan hewan membuat gambar menjadi hidup. Figur-figur imaji itu dia gambar secara mengalir.
Dalam karya-karya sekarang, Goenawan juga mencoba bermain-main dengan warna dan media, di antaranya menggunakan cat aklirik sebagai bagian dari eksplorasinya. Ia mengaku cepat bosan dengan satu corak. Sebelumnya, karya sketsanya banyak menyuguhkan warna hitam-putih. Sekarang dia mencoba aneka warna, dari merah, kuning, hijau, hingga biru pastel. Kesamaan dengan karya-karya sketsa sebelumnya: Goenawan mengawinkan sajak-sajaknya dengan gambar. Ia menghadirkan larik-larik sajaknya di sejumlah sketsanya.
Goenawan menuturkan, hampir tiap hari dia menggambar. Untuk menciptakan satu sketsa, kadang kala dia hanya perlu lima menit. Ada juga sketsa yang dia gambar berhari-hari. Bila bosan menulis, ia membuat sketsa. Untuk mengusir kantuk saat menulis, ia menggambar. "Mungkin saya sedang kemaruk. Sekarang lebih asyik menggambar ketimbang menulis," tuturnya.
Saat ini Goenawan sedang membuat karya kolaborasi dengan pelukis Hanafi. Sudah ada tujuh gambar hasil kolaborasi yang dia buat dan kini disimpan di Studio Hanafi. Rencananya, ia dan Hanafi akan membuat sekitar 70 karya kolaborasi yang akan dipamerkan di Jakarta pada Maret 2018. Selain itu, Goenawan sedang menjajaki kolaborasi dengan pelukis Eddy Susanto, yang pernah menggelar pameran "JavaScript" di Galeri Nasional Jakarta. Eddy menghasilkan lukisan-lukisan berupa simbol sakral yang menghubungkan era Renaisans dengan kebudayaan Jawa.
Perupa Ugo Untoro memberikan catatan tentang pameran "Ke-Tengah" ini. "Sketsa GM tidak lepas dari puisi-puisi dan pikirannya. Gambarnya seperti menjumput cerita-cerita, legenda, dan mitos-mitos dari berbagai sudut," ujarnya. Ugo mencontohkan pada karya seri sketsa potehi muncul dari tradisi. "Sketsa potehi datang dari persinggungan GM yang melihat langsung pertunjukan wayang potehi."
Lalu Goenawan membangun cerita, suasana, atau pemadatan waktu lewat teks, goresan, dan obyek yang lebih kecil. Menurut Ugo, Goenawan membuat sketsa berdasarkan pada ingatan atau pikiran yang muncul, bukan pada pancaindra yang tercekam obyek. "GM cenderung hati-hati dan dingin," kata Ugo.
Menurut Ugo, garis dan bentuk dalam sketsa Goenawan bukan muncul tiba-tiba. Ia mengolah sambil jalan tentang arti sebatang garis hingga membentuk sketsanya. Garis-garis pada sketsa Goenawan tidak meledak-ledak, tak emosional ataupun membakar, tapi halus, luwes. "Itu cocok dengan gaya menulis GM pada sajak-sajak lirisnya," ujarnya.
Sketsa-sketsa Goenawan, kata Ugo, ada yang hampir penuh dengan sapuan hitam, beberapa berupa garis tebal-tipis, dan obyek kecil yang tampak seperti di kejauhan. Semua obyeknya hampir ditaruh di tengah. Ihwal visualisasi sketsa Goenawan dengan sentuhan beragam warna, Ugo menyebut "itu sebagai bagian dari perjalanan proses dia berkarya".
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo