Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sapardi Djoko Damono*
Kamus umumnya tidak hanya menjelaskan arti kata, tapi juga menyertakan asal-usul kata dan gambar kalau perlu. Kamus yang baik malah juga menyebut sejak kapan kata itu dipergunakan-disertai kutipan frasa atau kalimat yang dianggap pertama kali atau sesuai penggunaannya.
Dalam New Oxford American Dictionary, kata "bambu" (disertai dengan cara mengucapkannya) dijelaskan sebagai "rumput raksasa yang terutama tumbuh di wilayah tropis" (saya terjemahkan dari bahasa Inggris) disertai gambar bambu. Di bawah penjelasan itu disebut asal-usulnya, dari bahasa Belanda, bamboes, berasal dari bahasa Melayu "mambu" (sic!). Dalam Merriam-Webster Dictionary, bamboo (disertai dengan cara mengucapkannya) dijelaskan sebagai "tanaman tinggi berkulit keras berlubang di tengahnya yang dipergunakan untuk membuat rumah dan berbagai macam alat rumah tangga". Dijelaskan juga bahwa kata itu berasal dari bahasa Melayu, "bambu"; pertama kali masuk ke bahasa Inggris pada 1586. Kata lain, text, yang dikatakan memiliki lima makna, dijelaskan (makna pertama) sebagai "buku atau barang cetak lain", berasal dari bahasa middle English yang diambil dari bahasa Prancis, texte, dari bahasa Latin, textus, atau gaya bahasa (dalam bahasa Latin pertengahan Gospel), dari text- (ditenun), dari verba texere.
Sekarang ini bahasa Inggris memiliki lema yang paling banyak dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain karena, antara lain, bahasa itu memungut kata dari bahasa apa saja yang bersinggungan dengannya. Boleh dikatakan tidak ada satu pun kata yang tidak ada penjelasan asal-usulnya, artinya sebenarnya tidak ada kata dalam bahasa Inggris yang murni, yang tidak berasal dari bahasa lain.
Memang bahasa yang tumbuh adalah yang dengan rakus mencaplok kata-kata dari bahasa lain, baik yang berupa benda maupun konsep. Beberapa di antaranya, seperti bamboo, hanya diubah ejaannya agar sesuai dengan tata bunyi bahasa Inggris-meskipun kata "mambu" yang disebut-sebut sebagai asal-usul kata itu (bahasa Melayu) tidak kita kenal lagi sekarang, atau memang keliru penulisannya dalam kamus. Etimologi ternyata sangat diperhatikan dalam menjelaskan makna kata, yang kalau memang perlu dideretkan sampai ke akarnya yang masih bisa dilacak. Berpegang pada keyakinan itu, tentu bahasa yang mengharamkan peminjaman kata dari bahasa lain akan semakin mendekati kematian.
Proses itu pun berlaku dalam bahasa Indonesia. Konon, sembilan dari sepuluh kata dalam Indonesia berasal dari bahasa lain. Bedanya adalah dalam kamus tidak selalu ada penjelasan etimologi setiap kata. Di samping itu, mungkin karena begitu besar semangat kita dalam mengambil kata dari bahasa lain dan mengubahnya menjadi kata yang tidak begitu "berbau" Indonesia, kita memperkaya bahasa kita dengan kata baru. Akhir-akhir ini sering kita dengar kata "destinasi" yang erat kaitannya dengan pariwisata meskipun kata "tujuan" memiliki makna yang persis sama. "Tujuan wisata" boleh diganti dengan "destinasi wisata", tapi "tujuan pendidikan" tidak boleh diganti dengan "destinasi pendidikan", juga jadi aneh kalau diganti dengan "destinasi edukasi" meskipun sekarang kata "edukasi" menjadi pilihan untuk kata "pendidikan". Tidak ada salah memasalahkan mengapa tiba-tiba muncul kata "edukasi", yang bisa saja dikira-kira sebagai bagian dari keinginan untuk terasa lain-atau demi istilah yang dianggap lebih tepat. Seandainya alasan yang terakhir itu benar, tentu kita akan disalahkan kalau menyebut lembaga yang mengurus pendidikan disebut Kementerian Edukasi dan Kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, ada kata "bakat" yang sudah sangat lama kita pergunakan, yang beberapa waktu lalu kita kenal juga sebagai "talenta"-tentu terjemahan dari kata talent. Kita tentu juga tahu bahwa kata "talenta" memiliki makna yang sama sekali berbeda, yakni "ukuran timbangan di Timur Tengah pada zaman Alkitab". Mungkin "talenta" dipakai agar terdengar lebih keren dibanding sekadar "bakat".
Salah satu alat komunikasi yang sekarang menguasai kehidupan sehari-hari kita adalah handphone. Kata itu memiliki nama yang berbagai-bagai dalam bahasa kita. Mula-mula kita sebut "HP" saja. Kemudian kita terjemahkan menjadi "telepon genggam", tapi mungkin karena sadar bahwa biasanya telepon memang digenggam, kita menggantinya menjadi "ponsel", "telepon seluler". Nama itu kedengarannya pas untuk telinga, tapi rupanya kita belum puas dan menggantinya menjadi "seluler" saja, atau bahkan ejaannya dibiarkan sama dengan aslinya, cellular, dan bisa juga disebut mobile phone-yang tidak pernah kita ubah menjadi, misalnya, "telepon mobil" atau "telmob" atau "telbil" atau "ponbil". Berkaitan dengan "seluler", sekarang bukan lagi citizen ’warga negara’, melainkan netizen, yang kita sebut juga sebagai "warga net". Dan download tidak menjadi "donlot", tapi menjadi "unduh", upload tidak menjadi "aplot", tapi "unggah".
Demikianlah perangai bahasa, atau perangai manusia yang menciptakan bahasa. Di samping ada yang berniat dengan sungguh-sungguh mencari padanan kata (download menjadi "unduh" dan upload menjadi "unggah"), ada juga yang dengan sungguh-sungguh memilih kata asing yang disesuaikan dengan ejaan Indonesia (education menjadi "edukasi", talent menjadi "talenta"). Berpegang pada prinsip bahwa bahasa akan hidup lebih lama kalau mengambil sebanyak mungkin kata asing, tampaknya bahasa kita perlu diberi acungan jempol. Moga-moga saja keheranan dan kebingungan kita dalam menangkap makna kata-kata baru itu akan lama-lama hilang dengan sendirinya, sejalan dengan mengendapnya semangat yang berlebihan dalam mengganti-ganti kata pinjaman. l
Guru, sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo