Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sorotan Mata Kucing Popo Iskandar

Pameran tunggal karya popo iskandar untuk memperingati 40 th profesinya sebagai pelukis. menampilkan 70 lukisan bertahun 1943 hingga 1983. (sr)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEEKOR macan termangu, dikerubuti kunang-kunang. Itulah tema lukisan Popo Iskandar yang baru. Mengapa macan? "Mungkin itu cuma variasi dari tema kucing," kata pelukis yang memperingati 40 tahun kerja melukisnya dengan sebuah pameran tunggal. Sebanyak 70 lukisan bertahun 1943 hingga 1983 dipamerkannya di Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki, 17-27 Mei ini. Orang kelahiran Garut, Jawa Barat, 1927 ini, di tahun 1950-an menarik perhatian pengamat seni rupa kita. Ketika hampir semua pelukis dari Seni Rupa ITB menampilkan gaya kubistis analistis, Popo tampil dengan karya-karya yang intuitif. Tapi memang sebelum masuk Seni Rupa ITB ia telah belajar dengan sistem sanggar kepada Hendra Gunawan, 1943. Dan rupanya pelajaran pertama ini sangat membekas pada pribadi Popo hingga sekarang. Berikut wawancara TEMPO dengan pelukis yang juga suka menulis kritik seni, yang sejak 1971 menjadi anggota Akademi Jakarta. Dalam 40 tahun bergumul dengan seni lukis, apa yang paling berkesan bagi anda kini? Semangat pada awal saya melukis. Waktu itu boleh dikata melukis tanpa pamrih apa pun. Semata didorong oleh sesuatu yang saya sendiri tak bisa mengatakan apa. Mungkin karena itu, hal-hal yang saya terima waktu itu sangat berkesan. Dari Hendra saya mendapat ajaran melukis berdasarkan sentuhan kehidupan. Maka melukis berhadapan dengan obyek langsung, untuk memperoleh sentuhan itu, menjadi penting. Tapi kini keadaan sudah jauh berbeda dengan padatnya lalu-lintas dan penduduk. Untuk melukis di luar, langsung berhadapan dengan obyek, bagi saya menjadi sulit. Tapi mungkin juga karena kini saya lebih mengutamakan perenungan. Tapi tetap saja lukisan saya lahir berdasarkan sentuhan kehidupan itu. Tema kucing yang saya mulai pada 1975, misalnya, muncul karena di rumah saya banyak kucing. Yang menyentuh saya sorotan mata kucing yang hijau menembus kegelapan itu. Ada sesuatu yang misterius di situ. Apakah semua lukisan Anda lahir dengan dasar sentuhan kehidupan itu? Dan apakah obyek-obyek itu merupakan simbol-simbol? Ya. Tapi kucing, ayam jago, ombak, buket-buket, macan bukanlah simbol-simbol. Itu cuma media. Semuanya lahir dari penghayatan saya terhadap lingkungan saya, dan apa-apa yang saya alami. Lukisan ombak, misalnya, lahir ketika saya pulang dari Medan ke Jakarta naik kapal. Tapi ombak dalam lukisan saya, seperti juga obyek yang lain-lain, bukanlah ombak yang saya lihat. Itu cuma sesuatu yang imajinatif. Ini jelas pada lukisan buket-buket. Di situ tak jelas bunga apa yang saya gambar, apakah mawar, apakah gladiol. Barangkali ada yang lain yang Anda catat selama 40 tahun melukis? O, ya. Kini dari lukisan memungkinkan orang untuk hidup. Tahun 1940-an pada umumnya pelukis tak mengharapkan menghasilkan uang dari lukisan. Lalu 1950-1960 pembeli lukisan hanyalah orang asing. Baru sejak awal 1970-an banyak pula orang Indonesia membeli lukisan. Ya, jelas ini ada hubungannya dengan keadaan ekonomi kita. Tapi hal itu pun membawa dampak yang lain. Kalau dulu umumnya pelukis cukup puas dengan media seadanya, bahkan menumbuk lagi cat yang kering agar bisa digunakan melukis, kini tidak. Seperti ada perhitungan juga, kalau medianya itu bagus harganya juga bagus. Apa ini merupakan dampak yang baik bagi perkembangan kreativitas, mungkin tergantung senimannya itu sendiri. Bagaimanapun dampak dunia modern memang ada. Kini. seniman pun tak bisa melepaskan masalah-masalah materiil: ingin punya rumah, kendaraan, dan lain-lain. Tapi adakah perbedaan peran antaraseniman di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia ini? Pada dasarnya seniman itu mengungkapkan pemikiran dan perasaannya bersumber dari lingkungannya. Lingkungan inilah yang berbeda. Di Eropa, di negara maju, tidak ada perbedaan menyolok antara kota dan desa. Saya pernah beberapa lama di Negeri Belanda, di sana cara hidup antara seorang dan yang lain tak jauh berbeda. Di sini, di negara berkembang, terdapat perbedaan taraf hidup yang menyolok, Juga dalam lingkungan seniman. Ada seniman yang hidup mewah sekali, tapi ada yang terpojok hingga untuk melukis pun tak berdaya lagi. Nah, menurut saya peran seniman kemudian ditentukan oleh kebesarannya sendiri. Ialah, apa yang dihayati dan apa yang dikemukakan dalam karyanya, seberapa erat berhubungan dengan lingkungannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus