Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fatia Maulidiyanti dikukuhkan menjadi Koordinator Kontras untuk tiga tahun ke depan.
Ia bertugas mengubah wajah Kontras yang sudah berusia 22 tahun.
Aktivitas Fatia dalam membela hak asasi manusia sempat membuat orang tuanya waswas.
RENCANA Fatia Maulidiyanti mengikuti demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa sore, 7 Juli lalu, pupus. Padahal semenjak pagi ia sudah berniat menyuarakan kekecewaannya karena DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Sampai matahari tenggelam, tugas barunya sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) masih menumpuk. “Pekerjaannya baru selesai malam,” katanya, Rabu, 8 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatia baru sepekan dikukuhkan menjadi Koordinator Kontras, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu hak asasi manusia. Ia mengemban tugas itu untuk periode 2020-2023. Fatia terpilih menggantikan Yati Andriyani, koordinator periode 2017-2020, dalam rapat umum anggota pada 29 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pemimpin baru, Fatia mesti mengurus banyak hal, seperti mengevaluasi kontrak, menilai staf, dan mempelajari alur keuangan. Ia juga merancang agenda kegiatan yang akan dilakukan organisasinya. Salah satunya rangkaian acara sebelum peringatan September Hitam—bulan terjadinya banyak pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dari peristiwa 1965, tragedi Tanjung Priok, tragedi Semanggi II, hingga kematian aktivis HAM, Munir Said Thalib. “Karena sedang pandemi, kami mesti merancang kegiatan yang tak membuat kerumunan,” ujarnya.
Fatia, 27 tahun, adalah salah seorang koordinator termuda sepanjang 22 tahun usia Kontras. Koordinator sebelumnya yang terpilih pada usia yang sama dengan Fatia adalah Usman Hamid, pada 2003. Menurut Yati, Fatia dipilih antara lain karena para anggota staf ingin menyegarkan wajah Kontras. Lembaga tersebut selama ini dikenal sebagai organisasi tua dan mengusung isu berat. “Kami sadar betul Kontras dalam persepsi publik seperti itu, sehingga kami membutuhkan sosok anak muda sebagai pemimpin,” ujar Yati.
Menurut Yati, dalam tiga tahun belakangan, isu hak asasi menarik minat anak muda. Sebanyak 70 persen pengikut media sosial Kontras berusia 18-25 tahun. Ketertarikan mereka terlihat dengan banyaknya pelajar dan mahasiswa yang mengikuti acara Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta. Aksi yang sudah digelar secara rutin selama 13 tahun itu semula hanya melibatkan para korban pelanggaran hak asasi dan keluarganya dengan pendampingan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Tapi kini aksi tersebut dimotori secara mandiri oleh para mahasiswa. Mereka bahkan mengadakan acara yang sama di hampir 20 kota di Indonesia.
Minat para anak muda terhadap pergerakan juga terlihat dalam aksi #ReformasiDikorupsi tahun lalu. Ribuan mahasiswa dan pelajar di berbagai daerah bergerak turun ke jalan. “Anak muda sekarang menjadi motor gerakan masyarakat,” ujar Yati.
Kontras, kata Fatia, mesti memanfaatkan momentum tersebut. Dari hasil obrolan mereka dengan kawan-kawan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, isu hak asasi manusia mulai ditinggalkan publik, sementara kebebasan masyarakat juga dipersempit. “Fokus kami adalah bagaimana bekerja sama dengan anak-anak itu agar terus menyuarakan isu HAM,” tutur Fatia.
Upaya itu sudah dilakukan sejak tahun lalu. Mereka berupaya membuat kampanye hak asasi manusia dengan lebih segar dan santai. Isu hak asasi tak melulu dibahas dalam diskusi dengan bahasa yang berat, tapi juga dibungkus dengan cara yang lebih ringan dan santai, misalnya melakukan diskusi perihal HAM lewat konser musik. Tema yang dibahas pun berhubungan dengan kehidupan sehari-hari agar lebih mudah dipahami.
Sebagian besar anggota Kontras juga berusia 20-an tahun. Wakil Koordinator Bidang Riset dan Mobilisasi Kontras, Rivanlee Anandar, melihat Fatia mampu merangkul generasi muda dan yang lebih senior. Sejak dulu, Fatia terbiasa mengajak para juniornya mengobrol tentang berbagai isu hak asasi dengan santai, juga soal keinginan mereka terhadap Kontras. “Dia cukup bisa merangkul dan mengenal permasalahan yang ada pada teman-teman,” kata Rivanlee.
•••
KETERTARIKAN Fatia pada isu hak asasi manusia bermula saat ia masih menjadi mahasiswa di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Saat itu, Fatia sebenarnya tak berminat kuliah di jurusan tersebut. Ia berkeinginan kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, tapi keinginan itu tak direstui ayahnya.
Fatia lalu berusaha mencari pelarian dengan mengikuti berbagai kegiatan kampus. Dari situ, ia sering berdiskusi dengan para aktivis mahasiswa. “Saya banyak ngobrol dengan teman-teman pers mahasiswa, seperti tentang isu sosial dan politik,” ujar Fatia. Oleh kawan-kawannya, ia didorong menduduki jabatan sebagai pengurus Majelis Perwakilan Mahasiswa.
Dalam acara “Ngobrol-ngobrol sama Fatia, Koordinator Kontras 2020-2023” yang disiarkan secara live melalui akun Instagram Kontras, Jumat, 10 Juli lalu, Fatia juga menceritakan seorang anggota keluarganya yang menjadi korban penghilangan paksa 1997/1998. Kontras mencatat ada 23 orang yang diculik selama periode tersebut. Anggota keluarga Fatia itu salah seorang yang dilepaskan penculiknya.
Obrolan dan kejadian itulah yang membuat Fatia memilih isu hak asasi manusia dalam perang Israel-Palestina untuk topik skripsinya dan mendaftar ke Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa yang diadakan Kontras. Bermula dari situ, pada 2014, ia ditarik untuk magang di lembaga tersebut oleh Haris Azhar, Koordinator Kontras kala itu. Setelah magang selama tiga bulan, Fatia menjadi relawan di organisasi tersebut. Ia ditugasi di Divisi Advokasi Internasional.
Tapi keputusan tersebut ditentang orang tuanya. Mereka waswas Fatia ditangkap lantaran lantang menggugat pemerintah. Orang tuanya berharap ia menjadi diplomat. “Kamu ngapain kerja di Kontras? Dapat apa dari sana?” kata Fatia menirukan ucapan ayahnya.
Fatia berkukuh, terlebih setelah ia bertemu langsung dengan para korban pelanggaran hak asasi atau keluarganya. Ia mendapat banyak cerita tentang pengalaman mereka, misalnya kisah perjuangan Sumarsih yang sejak 2007 menuntut penyelesaian atas kematian putranya, Bernardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I. “Cerita dari para korban itu yang bikin aku berpikir aku harus tetap di sini,” ujarnya.
Sikap orang tuanya melunak setelah Fatia beberapa kali mewakili Kontras dalam konferensi internasional, antara lain dalam Universal Periodic Review yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2017 di Jenewa, Swiss. Ia mempresentasikan ihwal berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dalam salah satu rangkaian acara tersebut. Ayahnya melihat Fatia bisa mengaplikasikan ilmu yang didapatnya semasa kuliah dalam pekerjaannya.
Ayahnya kemudian justru menjadi partner diskusinya tentang isu kekinian. Ketika Fatia bercerita bahwa ia terpilih menjadi Koordinator Kontras, ayahnya malah terkekeh. “Dia ketawa-ketawa aja. Paling cuma bilang, ‘Hati-hati, ya, kalau ngomong jangan terlalu tajem, nanti ditangkap’,” kata Fatia, diikuti derai tawa.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo