Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Ombudsman Republik Indonesia Amzulian Rifai mengatakan pemerintah harus bertindak untuk mengatasi maraknya praktik rangkap jabatan oleh ratusan pejabat negara di BUMN.
Ombudsman mencatat ada 397 orang penyelenggara negara yang terindikasi merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN pada 2019.
Dengan wewenang sebatas mengeluarkan rekomendasi, Ombudsman lebih banyak menyelesaikan persoalan yang diadukan masyarakat melalui jalur mediasi.
POLEMIK mengenai rangkap jabatan komisaris badan usaha milik negara kembali mencuat. Ombudsman Republik Indonesia menemukan jumlah komisaris perusahaan pelat merah yang terindikasi merangkap jabatan bertambah. Dalam temuan terbarunya, Ombudsman mencatat ada 397 penyelenggara negara yang terindikasi merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN pada 2019. Jumlah itu meningkat ketimbang dua tahun sebelumnya, yang sebanyak 222 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian Ombudsman menemukan para komisaris yang merupakan pejabat aktif di berbagai kementerian dan instansi non-kementerian, seperti Tentara Nasional Indonesia serta Kepolisian RI, hingga akademikus itu terindikasi memperoleh penghasilan ganda. “Pemerintah seharusnya cepat mengambil tindakan supaya tidak terjadi rangkap jabatan,” kata Ketua Ombudsman Amzulian Rifai dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 7 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amzulian, 55 tahun, mengatakan pemerintah semestinya segera mengevaluasi praktik rangkap jabatan karena hal itu melanggar sejumlah undang-undang. Praktik tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, merecoki tata kelola perusahaan, hingga mengganggu pelayanan publik oleh perusahaan negara. Apalagi tren rangkap jabatan di kalangan pejabat publik di tingkat pusat diperkirakan masih terjadi pada tahun ini. "Implikasinya tentu luas, bisa menjadi contoh sampai ke daerah," ucapnya.
Amzulian menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, di kantornya. Ia menceritakan temuan Ombudsman tentang rangkap jabatan komisaris BUMN, pengaduan soal bantuan sosial selama pandemic Covid-19, sampai anggapan bahwa lembaganya tidak bertaji. Wawancara dilengkapi jawaban Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih, yang memimpin penyelidikan tentang indikasi rangkap jabatan komisaris BUMN, Rabu, 8 Juli lalu.
Bagaimana Anda memandang praktik rangkap jabatan komisaris BUMN yang masih marak terjadi?
Kita ini kan mau menciptakan good governance. Ini yang selalu didengungkan pemerintah. Kita mesti punya good corporate governance, yang pada akhirnya BUMN diharapkan bisa berkontribusi kepada negara. Namanya saja badan usaha, berarti bicara profit. Apa mungkin profit itu ada atau bagus kalau digandoli urusan birokrasi yang sebenarnya masih bisa dibenahi? Salah satunya soal rangkap jabatan. Kami tidak menyoal siapanya, bukan orang per orang, jadi jangan tersinggung.
Apa yang menjadi persoalan dalam praktik rangkap jabatan?
Juru bicara Kementerian BUMN (Arya Sinulingga) berulang-ulang ngomong pemerintah harus hadir (di BUMN). Tidak apa-apa ada orang pemerintah, namanya saja badan usaha milik negara. Yang jadi soal rangkap jabatannya saja. Tentu di dalam good governance ada syarat dan prinsip-prinsip universalnya. Bagaimana rekrutmennya dan kapasitas orangnya. Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik dinyatakan pemberi pelayanan tidak boleh merangkap, termasuk menjadi komisaris. Pemberi layanan ya pemerintah. Kalau kita lihat di Undang-Undang BUMN, tidak boleh ada konflik kepentingan. Kan, sudah klop ini.
Apakah rangkap jabatan itu otomatis rangkap penghasilan?
Kajian Pak Alamsyah, kan, itu. Ya, otomatislah.
Ombudsman telah mengungkap praktik rangkap jabatan ini sejak 2017 dan telah menyampaikannya ke Kantor Staf Presiden. Apa tindak lanjutnya saat itu?
Amzulian: Pemerintah seharusnya cepat mengambil tindakan supaya tidak terjadi rangkap jabatan. Saya yakin bukan hanya Ombudsman yang memberi masukan. Pemerintah semestinya mendengarkan berbagai masukan.
Alamsyah: Sejak 2017 kami sudah mengecek sampel dari beberapa BUMN untuk melihat jumlah proporsi yang rangkap jabatan. Saat itu diperoleh 222 orang. Kami sampaikan secara terbuka ke publik sambil menunggu reaksi pemerintah. Memang terjadi kontroversi soal aturan, tafsirnya berbeda-beda. Tapi waktu itu ada respons dari Kantor Staf Presiden yang menyatakan akan membikin dua opsi. Salah satunya menyangkut sistem penggajian tunggal. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi juga menyoroti soal itu dan mengusulkan sebaiknya jangan ada penghasilan ganda. Tapi, setelah kami tunggu, kok, tampaknya tidak ada perkembangan. Akhirnya kami memutuskan mendalami dan tahun lalu ditetapkan menjadi salah satu prioritas Ombudsman.
Dalam temuan terbaru, Ombudsman mencatat ada 397 komisaris BUMN yang terindikasi merangkap jabatan….
Data itu dari Kementerian BUMN sendiri, lho. Kami tidak mencari-cari. Kami mengundang Kementerian BUMN dan keluar angka itu. Dalam kasus apa pun, kami undang pelapor dan terlapor untuk klarifikasi.
Apa solusi yang ditawarkan Ombudsman?
Amzulian: Yang jelas faktanya sekarang ada rangkap jabatan. Itu yang dipersoalkan. Solusinya ada di tangan pemerintah. Yang pasti ini ada problem. Terbayang tidak, ada pejabat level direktur jenderal atau inspektur jenderal menjadi komisaris yang bidangnya terkadang tidak berkaitan dengan BUMN-nya.
Alamsyah: Soal benturan regulasi harus diselesaikan dengan peraturan presiden (perpres). Dalam Undang-Undang TNI, misalnya, ditafsirkan ini bagian dari operasi militer nonperang atau penempatan spesifik. Walaupun dikatakan dia seharusnya nonaktif. Polri juga sama, dinyatakan harus nonaktif kalau mau ditempatkan di jabatan di luar lingkungan Polri. Tapi ada klausul yang menyatakan boleh dilakukan untuk tugas-tugas kepolisian yang lain, kemudian ditafsirkan ini (menjadi komisaris BUMN) bagian dari itu. Lalu buat apa lagi kata-kata “tidak aktif”.
Undang-Undang Pelayanan Publik dengan jelas melarang pejabat merangkap sebagai komisaris di BUMN ataupun badan usaha milik daerah. Mengapa rangkap jabatan di lingkup pemerintahan masih terjadi?
Amzulian: Pemerintah tidak serius melihat Ombudsman. Tetap ada saja kementerian dan lembaga yang membangkang. Paling-paling dianggap, "Apalah rekomendasi Ombudsman, tidak dijalankan tidak akan masuk penjara." Padahal patuh-tidaknya lembaga negara kepada Ombudsman merefleksikan tingkat keberadaban birokrasi. Apa harus menunggu konsekuensi masuk penjara dulu baru patuh?
Alamsyah: Rangkap jabatan ini dilarang kecuali pada area-area tertentu. Nah, area tertentunya ini yang terus ditafsirkan meluas. Kalau tafsirnya diserahkan kepada institusi masing-masing, ya bisa terjadi seperti ini. Maka harus dibatasi, tapi jangan sampai kontradiktif. Kalau sudah dilarang, buat apa perlu diatur dengan perpres?
Apa yang semestinya dilakukan pemerintah?
Ombudsman akan memberikan masukan tertulis dan resmi kepada Presiden Joko Widodo. Dalam hal tertentu, karena ini lintas kementerian, persoalan ini harus diselesaikan Presiden.
Seperti apa dampak praktik rangkap jabatan terhadap tata kelola dan pelayanan publik oleh BUMN dan anak perusahaannya?
Kita bicara tentang maladministrasi. Implikasinya tentu luas, bisa menjadi contoh sampai ke daerah. Bagaimana kalau rangkap jabatan di BUMN yang utangnya triliunan, dimasukkan komisaris yang tidak bisa berkontribusi besar. Berapa lama dia bisa berkontribusi dengan jabatannya? Misalnya seorang direktur jenderal, dia tentu sangat sibuk. Kapan dia ngantornya? Berapa kali dalam satu minggu si komisaris itu rapat? Terlebih jika perusahaannya di sebuah kabupaten di Sumatera. Bagaimana dia melakukan pengawasan? Belum lagi soal jumlah komisaris yang banyak. Ada yang menyatakan komisaris cukup tiga atau empat orang saja.
Bagaimana dengan calon komisaris yang merupakan titipan partai politik?
Amzulian: Bagi saya, terserah mau tim sukses atau apa pun, selama dia kompeten. Yang menjadi persoalan adalah kompetensi ini tidak teruji.
Alamsyah: Tidak ada masalah merekrut kalangan tertentu yang dianggap profesional tapi representasi politik, karena ada politik misi. Presiden terpilih tentu punya misi yang harus dikawal programnya, antara lain lewat BUMN. Tapi jangan menghilangkan kompetensi. Karena ini korporasi, harus hati-hati. Karena itu, dalam proses rekrutmen sudah diatur sumbernya, yaitu mantan anggota direksi atau komisaris BUMN lain, mantan pejabat struktural atau fungsional di instansi pemerintahan, atau sumber-sumber lain. Nah, sumber lain itu kalangan profesional atau bisa juga yang dianggap relawan.
Bagaimana proses seleksi calon komisaris BUMN seharusnya dilakukan?
Amzulian: Dalam good governance harus ada unsur transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Kalau seleksi terbuka, dengan sendirinya publik yang menilai. Jika rekrutmen transparan, kandidat yang tidak disukai publik bisa dibicarakan. Dengan begitu, kita tidak perlu ribut menilai setelah itu.
Alamsyah: Proses rekrutmen, seperti diatur dalam peraturan Menteri BUMN, sudah dinyatakan tidak boleh diikuti pengurus partai. Seharusnya diatur lebih konkret lagi untuk memastikan kandidat yang masih pengurus partai tidak akan lulus. Jangan diluluskan baru mundur. Pengurus partai tidak boleh mengikuti seleksi.
Sejauh mana kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan masalah pelayanan publik?
Seperti rata-rata lembaga pengawas di republik ini saja. Komisi Yudisial, misalnya, hanya memberikan rekomendasi ke Mahkamah Agung. Kalau Mahkamah Agung enggak mau menjalankan, dia mau ngapain? Komisi Nasional Hak Asasi Nasional dan Komisi Informasi Pusat sama. Lembaga-lembaga ini sebenarnya dibentuk untuk negara-negara yang birokrasinya sudah mapan. Inilah mengapa ombudsman kuat di Eropa. Terdapat sekitar 174 ombudsman dari 97 negara di dunia. Ada negara-negara yang memiliki ombudsman lebih dari satu, misalnya banking ombudsman, insurance ombudsman. Tiap bidang.
Ombudsman negara mana yang memiliki kewenangan kuat?
Taiwan. Saya pernah diundang ke Taiwan untuk memberikan ceramah di depan sekitar 200 anggota ombudsman di sana, namanya Control Yuan. Itu kekuatan keempat setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Mereka bisa memberhentikan kepala negara atau menteri. Paling kuat di dunia. Mereka pernah dua-tiga kali datang ke sini.
Apa yang Anda sampaikan saat itu?
Soal sistem kita. Saya kaget juga karena banyak pertanyaan mengenai hak asasi manusia. Mereka peduli terhadap hak-hak perempuan, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga. Karena itu, perlindungan terhadap asisten rumah tangga asal Indonesia di sana termasuk baik. Mereka juga peduli dan sensitif soal demokrasi.
Banyak pihak menilai Ombudsman tidak bertaji. Pembelaan Anda?
Sesuai dengan undang-undang, kami hanya diberi kewenangan sebatas rekomendasi. Supaya tidak jadi macan ompong, kami mengeluarkan rekomendasi secara selektif. Harus dengan kajian mendalam dari berbagai aspek. Kalau hobi mengeluarkan rekomendasi, nanti lembaganya tidak berwibawa. Kami juga membentuk tim resolusi dan monitoring. Banyak laporan masyarakat diselesaikan tidak pada tahap saran, tapi melalui mediasi. Sebenarnya Ombudsman adalah mediator. Tidak cocok juga kalau bisa memenjarakan. Mediator itu semestinya menyejukkan kedua belah pihak. Intinya, bagaimana kami menyelesaikan masalah.
Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Rabu (29/4/2020). Dokumentasi/Humas Ombudsman RI
Seperti apa contohnya?
Misalnya ada yang melapor di daerah soal sertifikat tanah yang sudah empat tahun tidak jadi. Kalau saya telepon ke kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional lalu sertifikat turun, artinya tidak perlu rekomendasi. Kepentingan masyarakat itu kan sertifikatnya turun. Banyak yang seperti itu.
Berapa banyak rekomendasi Ombudsman yang ditindaklanjuti?
Di atas 80 persen dipatuhi.
Bagaimana jika rekomendasi Ombudsman tidak dijalankan oleh pihak terlapor?
Jangankan rekomendasi Ombudsman, putusan pengadilan saja banyak yang enggak bisa dijalankan, kok. Berapa banyak orang yang melapor ke Ombudsman karena banyak putusan pengadilan yang tidak bisa dieksekusi. Pengadilan saja angkat tangan di republik ini, he-he-he….
Berapa jumlah laporan yang masuk ke Ombudsman?
Sekarang agak turun. Dua tahun terakhir di bawah 10 ribu. (Ombudsman mencatat, sepanjang 2016-2019, ada lebih dari 32 ribu laporan masuk. Pemerintah daerah menjadi kelompok instansi yang paling banyak dilaporkan.)
Persoalan apa saja yang bisa dilaporkan masyarakat ke Ombudsman?
Segala sesuatu yang terkait dengan pelayanan oleh kementerian dan lembaga. Semua pasti ada problemnya. Tidak ada kementerian yang lempeng, he-he-he…. Memang, sesuai dengan syarat dalam Pasal 36 Undang-Undang Ombudsman, masyarakat baru bisa melapor ke Ombudsman setelah ada upaya terhadap organisasi terlapor. Misalnya ada problem dengan polisi di daerah, harus ada bukti dia sudah ke inspektorat pengawasan daerah. Kalau menurut Ombudsman dia tidak melapor karena takut, baru kami ambil alih.
Pernah ada rekomendasi yang tidak dijalankan?
Misalnya soal plagiarisme oleh rektor (Universitas Halu Oleo, Kendari, Muhammad Zamrun Firihu) pada 2018. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tidak menjalankan rekomendasi kami. Padahal plagiat adalah problem di republik ini.
Bagaimana respons Kementerian saat itu?
Tidak ada. Malah orang yang melaporkan rektor itu hendak dipenjara. Kemudian Ombudsman juga mau dituntut. Untungnya, anggota Ombudsman punya hak imunitas. KPK saja enggak punya. Di Pasal 10 Undang-Undang Ombudsman disebutkan, dalam rangka menjalankan tugasnya, Ombudsman tidak bisa diperiksa, diinterogasi, dan dituntut di muka pengadilan.
Anda pernah diperkarakan ke polisi?
Saya sudah beberapa kali tidak menggubris pemanggilan polisi waktu awal bertugas. Saya bilang ke polisi, tolong baca Pasal 10. Kami tidak mau bersaksi di pengadilan. Ubah dulu Pasal 10 kalau mau memanggil saya.
Diperkarakan karena apa?
Macam-macam. Misalnya kami dilaporkan karena Ombudsman dituduh berpihak. Kemudian pencemaran nama. Itu langganan, pasal karet. Semuanya ditarik ke pencemaran nama. Berapa kali orang mencoba mengkriminalisasi saya tapi tidak bisa.
Mengapa anggota Ombudsman tidak mau bersaksi di pengadilan?
Kami sudah berkomitmen tidak mau. Nanti kami sibuk mengurus ke pengadilan terus. Kami berpegang pada Pasal 10 tadi. Implikasinya luas kalau kami ikut (ke pengadilan). Laporan ke Ombudsman bisa hampir 10 ribu per tahun. Kalau misalnya 10 persen saja minta keterangan ahli, kami bisa gawat.
Selama masa pandemi Covid-19, Ombudsman juga menerima pengaduan dari masyarakat. Apa saja persoalan yang banyak dilaporkan?
Paling banyak bantuan sosial. Jumlah laporannya di atas 80 persen. Kami membuka posko di 34 provinsi. Umumnya persoalan karena data. Covid ini menguji kesiapan birokrasi kita. Kita lihat keinginan Presiden untuk mengatasi ini kan luar biasa, dilihat dari anggarannya. Tapi semua itu tidak akan berjalan jika Presiden tidak didukung sampai ke bawah. Bisa mati berdiri pemimpin tertinggi kita.
Apa yang dilakukan Ombudsman untuk mengatasi pengaduan soal bansos?
Perwakilan kami bergerak. Ada yang sebelummya tidak dapat bansos, setelah lapor Ombudsman dapat. Ini sebenarnya soal menindaklanjuti laporan. Ada juga aparat pemerintah daerah yang mengintimidasi warga karena melapor ke Ombudsman, meski kemudian diurus juga rakyatnya.
Sebagian masyarakat masih kurang familiar dengan Ombudsman dan fungsinya. Tanggapan Anda?
Kalau soal dikenal, Australia sama problemnya. Tak semua orang mengetahui Ombudsman. Pernah Pak Alvin (Lie, Komisioner Ombudsman) datang ke Istana Presiden, anggota Pasukan Pengamanan Presiden tidak mengetahui Ombudsman itu apa. Pak Alvin baru diperbolehkan masuk setelah anggota itu bertanya ke komandannya, he-he-he…. Bukan masalah. Bahkan banyak yang meminta nama Ombudsman diganti supaya lebih mudah disebut.
AMZULIAN RIFAI | Tempat dan tanggal lahir: Musi Rawas, Sumatera Selatan, 2 Desember 1964 | Pendidikan: Sarjana Hukum di Universitas Sriwijaya, Palembang (1988); Magister Hukum di Melbourne University, Australia (1995); PhD Ilmu Hukum di Monash University, Australia (2002) | Karier: Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (2009-2016), Pendiri ARF-Indonesia Consulting Group (sejak 2011), Konsultan PT Semen Baturaja (2010-2014), Komisaris PT Pupuk Sriwijaya Palembang (2009-2016), Ketua Umum Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (2018-2023), Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sriwijaya (sejak 2005), Ketua Ombudsman Republik Indonesia (2016-2021) | Penghargaan: Dosen Teladan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (1993), Publication Award dari Melbourne University
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo