Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jagoan Perempuan Disney Berkeris

Film animasi Disney tentang putri pejuang yang bercaping dan bersenjata keris. Banyak meminjam tradisi Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

13 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Raya and The Last Dragon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA punya satu lagi jagoan perempuan. Kali ini, dia bertopi caping seperti ibu-ibu petani Kendeng, Jawa Tengah, bersenjatakan pedang yang melekuk-lekuk seperti sebuah keris panjang, dan lihai melumpuhkan musuh dengan gerakan bela diri yang amat mirip dengan langkah-langkah dalam silat. Pahlawan kita menyelamatkan negeri Kumandra yang karut-marut karena serangan Druun, kekuatan gelap yang mengubah manusia menjadi batu. Namanya Raya. Dia seorang putri Disney.|

Memang sudah lama Disney meninggalkan konsep putri-putrian bergaun lebar dan ongkang-ongkang kaki menanti pangeran datang. Seiring dengan makin tumbuhnya kesadaran akan gender yang dikonstruksi, Disney pun mempersembahkan tokoh-tokoh putri yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Elsa dalam Frozen, Merida dalam Brave, Moana, lalu kali ini Raya adalah para putri tangguh penyelamat dunia yang kacau-balau. Dalam kisah-kisah putri Disney belakangan, tokoh laki-laki—kalaupun ada—hanya pelengkap. Biasanya, tokoh laki-laki itu kalau tak jadi ayah yang banyak memberi nasihat, ya jadi sumber lelucon pemancing tawa. Sementara itu, para putri dengan kepala tegak, rambut berkibar-kibar, dan keahlian mengendalikan es, memanah, berlayar, atau bersilat maju lebih dulu untuk mengalahkan lawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raya and The Last Dragon

Raya makin istimewa karena dia putri Disney pertama yang dihidupkan dari komunitas Asia Tenggara. Kulitnya cokelat, hidungnya melengkung ke dalam, matanya yang lebar meruncing di sudut-sudutnya, dan sebelum masuk ruangan dia melepas sepatu. Hal-hal yang melekat pada Raya pun diambil dari berbagai tradisi negara-negara Asia Tengggara. Selain caping, keris, dan silat, Raya ditemani seekor hewan lucu bernama Tuk Tuk, seperti sebutan untuk alat transportasi di Thailand. Tuk Tuk adalah campuran armadilo dan kumbang yang dapat menggelungkan tubuh seperti roda lalu dikendarai Raya seperti sebuah sepeda motor gede. Rupa-rupa makanan yang dihadirkan pun amat familier, dari nangka, rebung, penganan berbungkus daun pisang, hingga durian. Belum lagi munculnya adegan membatik dan bermain wayang yang dapat membuat jiwa cinta tanah air langsung menggebu-gebu.

Mendahului penyusunan skenario, dua penulis Adele Lim (asal Malaysia) dan Qui Nguyen (berdarah Vietnam) mengunjungi hampir semua negara di Asia Tenggara untuk riset. Di Indonesia, secara khusus mereka mempelajari seni bela diri dan instrumen gamelan. Dari negara-negara Asia Tenggara lain, muncul pula ciri khas seperti bela diri muay Thai, Arnis, pasar apung, dan kuil. Namun, dalam cerita, tak ada pembedaan kentara tentang tradisi mana dan milik siapa. Lanskap, makanan, gaya berpakaian, dan tradisi lainnya melebur saja sebagai kebudayaan yang dihidupkan bersama oleh bangsa Kumandra. Rasanya pilihan penggambaran ini dapat menjadi salah satu pesan moral bagi masyarakat Asia Tenggara yang sering kali mengklaim tradisi satu sama lain, padahal toh memang rumpunnya sama.

Raya and The Last Dragon

Dari sisi cerita, Raya masih tertib pada formula standar film animasi petualangan. Dimulai dari dunia damai, ada konflik, tokoh utama mengembara mencari solusi, lalu dunia selamat. Bedanya dengan film putri Disney sebelumnya, Raya tak pernah sekali pun tiba-tiba menyanyi dan menari di tengah jalan. Musik cukup jadi latar.

Alkisah, Raya yang disuarakan oleh Kelly Marie Tran (The Last Jedi) dan ayahnya adalah penjaga kristal naga yang menjadi penyelamat lima bangsa di Kumandra. Ketika bangsa Taring berusaha merebut benda sakti itu, kelima bangsa berseteru. Kristal naga pecah dalam perebutan dan Druun pun bangkit kembali. Raya kemudian memulai perjalanan mencari pecahan kristal di lima penjuru untuk mengembalikan orang-orang yang membatu (betul, agak mirip Avengers dan Thanos). Penjegal langkah Raya adalah Namaari dari bangsa Taring, yang juga seorang putri jagoan keren.

Dalam perjalanan, Raya mendapatkan teman di sana-sini, lalu mereka bersama-sama melawan kelompok Taring. Tiap karakter pendamping Raya amat berbeda dan membuat petualangan itu lebih kaya. Yang paling unik: seorang bayi pencuri yang dikawal tiga monyet lincah. Namun hal paling segar dalam film ini adalah kemunculan naga bernama Sisu yang disuarakan oleh Awkwafina (Farewell). Setelah tertidur lima abad, Sisu bangun sebagai seekor naga ceria dengan kearifan nenek tua sekaligus kepolosan seorang bocah yang baru melihat dunia. Tubuhnya yang sewarna es krim pelangi kontras dengan visual bernuansa kebumian yang dominan sepanjang film.

Raya and The Last Dragon

Sisu menjadi karakter menarik karena menjadi satu lagi konsep umum yang dipatahkan lewat Raya and The Last Dragon, yakni terkait dengan mitologi naga. Barangkali bila kebanyakan menonton Game of Thrones, Eragon, hingga Harry Potter, gambaran naga yang langsung muncul di kepala adalah campuran reptil dan kuda bersayap lebar yang garang dan mampu menghancurkan apa pun dengan napas apinya. Film-film itu merekonstruksi naga berdasarkan mitologi Eropa. Sementara Sisu diciptakan berdasarkan mitologi naga dalam kepercayaan bangsa-bangsa Asia Tenggara, malahan kalau boleh ge-er, Jawa.

Sisu dan saudara-saudara naganya dalam film ini digambarkan sebagai pembawa harapan pada manusia. Sumber kekuatannya adalah air dan harmoni. Tak sekali pun Sisu menyemburkan api. Dari penggambaran pun, Sisu terlihat berbeda dari naga yang biasa ditampilkan film Hollywood dan Eropa. Tubuhnya lebih panjang, ramping, dan tanpa sayap. Dia lebih menyerupai ular bersurai ketimbang persilangan reptil dan hewan berkaki empat seperti yang umum muncul di film lain. Ini pas dengan penggambaran naga dalam tradisi Jawa kuno. Dalam bahasa Sanskerta, naga berarti dewa ular, dan budaya Jawa kuno mempercayainya sebagai lambang air dan kesuburan.

Salah satu riwayat naga Nusantara tergambar dalam relief Avadana Borobudur, pembuka kisah Pangeran Sudhana dan Bidadari Manohara. Relief itu menceritakan kedatangan seekor naga ke Kerajaan Pancala yang kemudian membuat ladang-ladang di sana teraliri air dengan lancar.

Naga dalam Raya juga tak digambarkan sebagai hewan tunggangan yang tunduk pada manusia seperti anak-anak Daenerys Stormborn si Khaleesi. Meski terkenal sebagai makhluk seram dan ganas, banyak narasi populer yang memperlihatkan manusia dapat menaklukkan dan menunggangi punggung naga. Sementara itu, dalam film ini, hanya ada satu adegan yang memperlihatkan Sisu membawa Raya terbang, itu pun dengan cara membopong gadis itu menggunakan cakarnya.

Film ini diputar terbatas di bioskop dengan protokol kesehatan ketat. Dapat diperkirakan, tak lama lagi fim ini juga dapat ditonton lewat Disney+ Hotstar. Raya and The Last Dragon patut dipuji atas upaya menghadirkan alternatif narasi dari kawasan yang jarang muncul dalam radar Disney. Disajikan pula dengan indah, tak neko-neko, dan pesan yang gampang sekali dicerna. Hanya, bagi kita, orang dewasa yang sudah kelewat tak murni ini, pesan yang disampaikan mungkin terasa agak memuakkan. Kira-kira pesannya adalah teruslah percaya pada manusia, kendati dia sudah berkali-kali mengkhianatimu. Aduh, yang benar saja

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

Raya and The Last Dragon

Raya and The Last Dragon

Sutradara:
Don Hall dan Carlos López Estrada

Skenario:
Qui Nguyen dan Adele Lim

Pengisi Suara:
Kelly Marie Tran, Awkwafina, Gemma Chan, Daniel Dae Kim

Produksi:
Walt Disney Pictures & Walt Disney Animation Studios

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus