Charles, 5 tahun, tertatih-tatih menuruni panggung dituntun seorang biarawati. Bocah asal Medan yang buta semenjak lahir itu tampak bingung dan mendekap erat kaki sang suster. Sebuah karangan bunga ia sorongkan ke Megawati.
Itulah akhir pertunjukan Children of The World Choir Indonesia di Jakarta Convention Centre, pekan lalu. Sebuah perhelatan akbar yang penting bila kita simak rangkaian proses di belakangnya. Di situ lebih dari 1.000 anak dari seluruh penjuru Indonesia bernyanyi bersama. Tidak pandang bulu. Anak-anak telantar dari Medan, anak-anak pedesaan di Kupang, dari barak-barak pengungsi Sampit, sampai bocah-bocah daerah konflik Ambon yang terbiasa dengan desing peluru bergabung bersama anak kelas menengah Jakarta dan para murid ekspatriat sekolah internasional.
Adalah Aida Swenson Simajuntak yang punya gagasan ini. Musikolog ini selama sepuluh tahun terakhir menjelajah ke sudut-sudut Nusantara, menemui para pelatih seni suara di gereja-gereja, di desa-desa, di sekolah-sekolah, mencari bakat-bakat terpendam. Dan lulusan Westminster Choir College, Universitas Princeton, Amerika, ini tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Banyak anak yang tinggal di daerah terpencil punya suara emas, lebih bagus dari anak-anak kota," katanya.
Terutama anak-anak Indonesia Timur, kekayaan timbre (warna) suaranya unik. "Suara mereka lebih menggaung dibandingkan dengan anak mana pun," ujar Aida. Itu disebabkan oleh tulang rahang anak Indonesia bagian timur, yang umumnya besar. Bagi Aida, bukan tidak mungkin, apabila betul-betul dilatih, mereka jadi paduan suara terbaik di dunia. "Bayangkan, tiga anak NTT bisa mengimbangi bunyi 10 anak dari Paduan Suara Anak Indonesia (PSAI—kelompok kor di Jakarta yang diasuh Aida)," tuturnya.
Untuk acara ini, Aida lantas mengontak para pengasuh paduan suara di NTT, Ambon, Medan, Flores, dan Sampit, yang sebelumnya telah menjalin kontak dengan dirinya. Charles, murid TK nol kecil di atas, misalnya, adalah salah seorang dari rombongan paduan suara Medan. Bersama dua puluhan anak, enam di antaranya buta, ia menyanyikan dengan semangat Diding-Diding dan Sengko-Sengko, lagu daerah asal Batak Toba. Bocah-bocah tunanetra ini adalah "temuan" Edward van Ness, musikolog asal Belanda yang 30 tahun lebih mengabdikan diri untuk pendidikan musik Indonesia. Pak Ed—begitu ia biasa dipanggil—yang staf pengajar Universitas Nomensen, Medan (sebelumnya 13 tahun di Akademi Seni Musik Indonesia, Yogya), itu mendatangi satu per satu berbagai panti asuhan di Medan, termasuk panti asuhan tunanetra.
Ia meminta pengurus panti asuhan mengumpulkan anak-anak yang bisa menyanyi. "Terus terang saya terkejut dengan bakat anak-anak buta ini," kata Edward. Kepekaan pendengaran membuat mereka lebih cepat belajar dibanding yang melek. Ia melihat, menyanyi adalah suatu terapi juga. Itu diakui oleh Teti, 12 tahun, tunanetra yatim-piatu anak kelas 6 SD dari panti asuhan tunanetra Karya Murni, Medan. "Bebas. Rasanya sekarang saya lebih lepas bersuara setelah ikut kor Pak Ed," katanya. Menurut Edward, meski sudah merosot, dahulu Sumatera Utara adalah gudangnya penyanyi kor. Itulah sebabnya ia hunting. "Bakat saja tanpa sentuhan teknik akan terancam punah," ujarnya. Ia terutama melatih anak mengenali karakter suara mereka sendiri, agar warna suara mereka tetap warna anak-anak. Ini penting karena, seperti yang terlihat di televisi, karena industrialisasi, banyak anak yang dipacu supaya meniru cengkok tren penyanyi dewasa. Akibatnya, kekuatan ornamentasi suara lokal hilang.
Menginap di Hotel Hilton, rata-rata anak daerah itu pertama kali datang ke Jakarta. "Seperti jatuh ke jurang," tutur Charles ketika turun ke bawah dengan lift. Banyak yang mulanya sakit karena tak tahan AC. Muhammad Ilham, 10 tahun, murid Taman Pendidikan Al-Quran di kampung nelayan Panampu, Kecamatan Tallo, Makassar, misalnya, telinganya sakit (budek sebelah kiri) akibat naik pesawat. Selama ini paling jauh juara mengaji ini pergi ke rumah neneknya di Kabupaten Mamujo, 200 kilometer dari rumahnya. Akibatnya, ia dirawat dokter THT di Hilton dan sempat tak ikut latihan pertama. Begitu juga Anne Melina Rambu, 15 tahun, pelajar SMU So'e Nunumeue, 110 kilometer dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang di desanya untuk latihan harus berjalan kaki sekitar 5 km, mengaku mulanya kagok di Hilton. "Saya terpeleset naik eskalator," katanya sembari tertawa.
Tapi, begitu berkumpul bersama, mereka percaya diri. Hasil kerja keras Eko Supriyanto, koreografer; Garin Nugroho, sutradara; dan Sari Madjid, manajer panggung—yang hanya seminggu "menjahit" gerak anak-anak yang sudah dilatih di daerah masing-masing ini—menjadi satu kesatuan gerak yang terangkai utuh, tampak lumayan, dan bisa membuat para anak itu sendiri bahagia, senang, tak malu mengekspresikan kekanakannya saat tampil. "Ini pengalaman baru bagi saya," kata Eko, yang sampai naik ke kursi, berteriak-teriak memberi aba-aba kepada seribu anak itu saat latihan.
Dan mengalunlah Let There Be Peace karya Jill Jackson & Sy Miller, Hymn to Freedom karya Oscar Peterson & Hariette Hamilton, dan Unite oh Children of the World karya Alfred Simanjuntak (pencipta lagu Bangun Pemudi-Pemuda, kini 82 tahun). Pada tiga karya ini, semua anak—setelah sebelumnya menyanyi lagu daerahnya sendiri-sendiri—melakukan kor bersama-sama. "Kalau mendengar lagu Let There Be Peace dinyanyikan anak-anak, saya selalu menangis karena selama ini kita tercabik-cabik di kampung sendiri," tutur Jack Ospara, dosen filsafat Universitas Kristen Ambon, yang bersama Pendeta Elly Toisuta melatih anak-anak pengungsian Ambon. Mendengar lagu itu, memang kita seolah mendengar mereka semua, bersama "Charles-Charles" lain, Muhammad-Muhammad lain, Anne-Anne lain, nun di pelosok sana mengajak siapa saja, terutama Presiden ataupun pejabat yang hadir seperti Jusuf Kalla, Wakil Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, agar bening hati dan pikirannya. Damai, damai, Tuan-Tuan….
Mungkin itulah yang membuat pertunjukan berarti, meski penonton yang pernah terkesima menyaksikan berbagai paduan suara anak mancanegara merasa pertunjukan ini agak di luar harapan. Sebab, beberapa lagu malam itu dilapisi rekaman.
Toh, itu bisa dimengerti. Bagaimanapun, ini sebuah kerja panjang dan masih belum selesai. Bila Aida berencana acara paduan suara 1.000 anak ini bakal diselenggarakan periodik setiap dua tahun sekali, ini adalah sebuah awal yang cukup menjanjikan. Sebab, di kala politik runtuh, di kala kita kehilangan orientasi, kata seorang bijak, lihatlah pada anak-anak. Suara anak-anak, suara Tuhan….
Seno Joko Suyono, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini