Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Suara Asing di Negeri Bising

Sebuah buku baru yang semakin menunjukan Nurcholish Madjid adalah seorang yang memiliki visi. Sederhana dan menolak ditokohkan.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cita-cita Politik Islam Era Reformasi
Penulis:Nurcholish Madjid
Penerbit:Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1999, lxv + 280 halaman.

Ulang tahun ke-60 Nurcholish Madjid tahun ini, 17 Maret lalu, sedianya berlangsung meriah: ada peluncuran otobiografi, ada seminar tentang civil society. Tapi semuanya urung, atas permintaannya sendiri. Ia khawatir momen itu dianggap kampanye diri untuk posisi presiden RI keempat—dan ia tidak menghendakinya.

Saya kira, dalam hal terakhir itu, ia berkata jujur. Bukan karena ia tidak bisa baris-berbaris. Juga bukan karena ia merasa tidak enak terhadap orang-orang yang belakangan ini sudah dan masih akan menyingsingkan lengan baju untuk menduduki posisi itu. Nurcholish tak hendak menjadi presiden karena ia sadar bahwa kelebihan-kelebihannya tidak terletak di sana dan kontribusi terbaiknya harus disalurkan bukan lewat jalur itu. Ia adalah tipe orang yang lebih dekat kepada sosok Iqbal ketimbang Jinnah. Ia adalah seorang yang memiliki visi bukan technician. Bayangan menjadi orang nomor satu mungkin saja sebuah tantangan baginya. Tetapi, kecuali jika keadaannya tak tertolak, saya duga ia akan dapat segera menghalaunya.

Barangkali dugaan saya itu keliru. Tapi bacalah buku ini. Dalam buku ini kita memang menemukan sekumpulan renungan yang cemerlang dan optimistis tentang garis besar cita-cita politik. Tetapi, setelah itu, kita tidak terlalu yakin akan dua hal yang semestinya merupakan kelanjutan niscaya sebuah cita-cita. Pertama, Nurcholish bukanlah agency dengan prasarana mental yang cukup untuk menopang cita-cita itu. Ia bukanlah technician politik yang sewaktu-waktu harus rela menggadaikan prinsip dan tunduk di bawah pertimbangan realpolitik. Dan kedua, ranah Ibu Pertiwi sekarang ini benar-benar terlalu tandus bagi tumbuhnya cita-cita itu. Ranah itu terlalu bising dengan suara banyak politisi, menjadikan suaranya asing di negeri sendiri.

Membaca Nurcholish pertama-tama adalah membaca seorang teolog muslim yang sangat menaruh perhatian kepada agamanya. Tapi sisi ini bukan hanya tidak menjadikannya seseorang yang sektarian atau eksklusif, melainkan bahkan mengharuskannya tampil sebagai seorang pluralis dengan kesediaan menerima kebenaran dari pihak lain seluas-luasnya dan selapang-lapangnya. Dalam semangat ini, ia menghayati kebaikan pluralisme bukan saja sebagai prosedur untuk menyiasati (asal katanya "siasat", jadi tidak otentik untuk mengatasi) konflik, melainkan sebagai suatu sarana yang niscaya untuk menggapai puncak-puncak kebaikan. Ada optimisme tentang manusia di situ, dan karenanya ada kesiapan untuk memberi dan menerima.

Dengan paham keislaman yang demikian itu, nation-state Indonesia bukan saja aman dari rongrongan sektarianisme dan eksklusivisme Islam, melainkan malah mendapat justifikasi teologis yang sangat kuat dari wakil terbesar masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya, bukan basa-basi kalau Nurcholish berkali-kali mengatakan bahwa masa depan Indonesia sangat bergantung pada upliftment kaum muslim di sini. Dalam suatu kesempatan, ia merumuskan upliftment itu adalah menjadi "santri yang canggih". Semata-mata karena alasan statistik, marginalisasi mereka, atau sekadar pengabaian mereka, oleh pihak mana pun, hanya akan merugikan bangsa ini secara keseluruhan.

Lalu, yang membuat kita memperoleh berkah karena ada Nurcholish di sekitar kita adalah kenyataan bahwa ia juga cukup akrab dengan literatur ilmu sosial dan politik modern. Dari situlah kita memperoleh banyak rumusannya tentang kaitan Islam dengan demokrasi modern, hak asasi manusia, dan lainnya. Berkat kontribusinya itu, kita jadi tidak merasa asing dengan isu-isu itu. Kita menjadi terbebas dari perasaan sedang dikangkangi oleh pihak-pihak asing. Kita malah merasa bahwa isu-isu itu adalah bagian integral dari keberagamaan kita. Tapi Nurcholish juga adalah seseorang yang berpikiran dalam hitungan waktu berskala peradaban. Kata ini, "peradaban", memang sering dibicarakan olehnya, dan kemudian dikaitkan hampir identik dengannya, belakangan ini. Dalam buku ini, kata itu juga bertebaran. Kata ini ia kaitkan dengan Kota Madinah, tempat ideal-ideal Islam bisa tumbuh untuk kemudian mati secara prematur. Dari situlah ia "mencuri" wacana dan menerjemahkan civil society sebagai "masyarakat madani".

Perspektif peradaban seperti ini mensyaratkan kesabaran kita untuk melihat ups and downs segala sesuatu dalam jangka waktu yang amat panjang—bukan puluhan tahun, tetapi abad. Maka tidak mengherankan jika, misalnya, Nurcholish oke-oke saja dengan beberapa perilaku Abdurrahman Wahid yang oleh banyak orang dianggap melecehkan akal sehat. Baginya, perbedaan mereka berdua hanya pada soal mikro, bukan makro. Sejajar dengan itu, sangat wajar jika adekuasi empiris kurang penting dalam tulisan-tulisan Nurcholish. Yang lebih penting dari pernyataan tentang suatu fakta, atau dipilihnya suatu fakta dan bukan fakta lain yang mungkin lebih mewakili keseluruhan, adalah implikasinya bagi pembentukan wacana. Maka tidak aneh kalau ia, misalnya, senang mengemukakan fakta betapa kosakata politik Islam, seperti "musyawarah" dan "mufakat", sudah menjadi ucapan sehari-hari para pejabat. Seakan ia lupa bahwa peminjaman kata adalah satu hal dan pemaknaannya pada tingkat praktis adalah hal lain lagi.

Apa pun alasannya, kita membutuhkan seorang visioner seperti Nurcholish. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya—yang lebih terkait dengan kapasitas dan bakatnya sebagai manusia, bukan integritasnya. Yang harus adalah memperlakukannya secara adil. Kata Hujwiri, seorang sufi, itu artinya "menempatkan sesuatu pada tempatnya." Tak lebih atau kurang.

Ihsan Ali-Fauzi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus