Tanggal 13 Mei 1968, di tengah "Revolusi Kebudayaan", mereka menangkap Zhou dan membunuhnya. Seseorang memotong kepalanya dan kakinya. Seseorang lain kemudian menggantungkan kedua bagian tubuh itu di sebuah pohon, di jalan depan pasar Kota Wuxuan. Di kepala itu matanya masih terbuka dan di kaki itu daging bagian bawah betis belum direnggutkan dari tulang. Beribu-ribu orang menonton. Janda Zhou pun diseret ke sana untuk melihat. Perempuan itu disuruh berlutut.
"Ini suamimu?" sang pemenang menunjuk ke kepala yang tergantung belum kering itu.
"Ya," jawab janda Zhou.
"Jahat dia?"
"Ya," suaranya ketakutan.
Perempuan yang sedang hamil tujuh bulan itu pun diperintahkan membuka baju. Ia menolak. Tapi seseorang menyentakkan pakaian itu dengan paksa dari belakang. Seseorang lain menghunus pisau. Tapi tak jadi dihunjamkan. "Terlalu kurus. Tak layak dimakan," ia berkata.
Dimakan. Seperti halnya "diganyang" dan "dikremus", kata itu mengandung kekerasan, sebuah kiasan yang mencoba menggambarkan pengertian "dihabisi". Itukah yang dimaksud orang berpisau itu?
Tahap akhir "Revolusi Kebudayaan" yang mengguncangkan Cina di paruh kedua tahun 1960-an itu memang ganas: keganasan fisik dan keganasan kata. Tetapi tak ada yang menyangka bahwa kata jadi aksi, dan metafor berubah jadi sesuatu yang harfiah. Akhirnya permusuhan antara "kita" dan "mereka", antara "kaum revolusioner" dan "kaum kontrarevolusioner", mirip ekspresi jiwa yang sakit: musuh itu bukan saja diganyang, tetapi juga disantap.
Tentu saja siapa "musuh" tak pernah jelas lagi—indikasi berkecamuknya sebuah wabah kebringasan. Tahun 1966-1976, RRC praktis berada dalam sebuah perang saudara. Yang membedakannya dengan perang saudara lain ialah bahwa suasana totaliter telah melecut konflik berdarah itu jadi aksi massa. Di tengahnya, pekik dan perbuatan hanya berarti militansi.
Lebih dari 20 tahun setelah masa yang gemuruh dan berdarah itu, seorang penulis Cina yang pernah dengan tulus melihat segi yang baik dari "Revolusi Kebudayaan" datang ke daerah Guangxi Zhuang, sebuah wilayah otonomi di tenggara. Ia pernah mendengar cerita kebuasan yang terjadi di sana ketika "revolusi" yang kacau itu berlangsung. Ia ingin membuktikannya. Ia menemui para pejabat dan membaca dokumentasi resmi, ia menemui korban dan juga pelaku, dan ia terkejut, dengan perut mual: di Guangxi, kanibalisme bukan hanya sebuah fantasi.
Dengan nada marah Zheng Yi kemudian menulis Hung se chi nien pei, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Scarlet Memorial: Tales of Cannibalism in Modern China. Buku itu terbit di tahun 1996.
Zheng Yi beruntung sebab bahkan di tengah wabah kebringasan itu ada orang yang menyaksikan dan mencatat dengan teliti peristiwa yang terjadi. Di dalam dokumen yang dikutip Zheng Yi bisa kita dapatkan kejadian yang seperti ini:
"10 Juni 1968, sebuah rapat umum diselenggarakan di depan balai kota Shangjiang di Distrik Sanli. Rapat pengganyangan itu diarahkan kepada sejumlah orang yang tertuduh: Liao Tianglong, Liao Jinfu, Zhong Zhenquan, dan Zhing Shaoting. Segera massa memukuli keempat orang itu sampai mati. Daging tubuh mereka pun diteteli, dan dibawa ke depan kantor brigade, untuk dimasak dalam dua kuali besar. Dua puluh sampai 30 orang ikut serta dalam kanibalisme itu."
"18 Juni 1968, juga di Distrik Sanli, ada parade di Jalan Huangmao. Tujuan orang ramai hari itu adalah 'mengkritik' Zhang Boxun, guru sekolah dasar di Desa Duzhai. Ketakutan, Zhang lari dan meloncat ke dalam sungai. Tapi seorang anggota milisia menariknya dari air. Zhang beramai-ramai dipukuli. Sebuah pisau kemudian mengakhiri hidupnya. Jantung dan hatinya dikerat keluar, dan dibagi-bagi. Ada yang berseru, 'Lihat jeroan Zhang Boxun! Gemuk sekali!' Orang yang menghunjamkan pisau ke tubuh Zhang kemudian membawa jeroan itu pulang untuk dimasak dan dimakan."
Dari catatan yang dihimpun, ada 524 orang dibunuh di Kabupaten Wuxuan dan lebih dari 100 dijadikan sasaran kanibalisme. Setelah "Revolusi Kebudayaan" dinyatakan berakhir, dan Mao wafat dan Deng Xiao-p'ing berkuasa, catatan itu berguna karena pemerintah pusat bermaksud menyelidiki dan menghukum kebuasan di masa lampau di wilayah Guangxi itu. Tapi Scarlet Memorial mencatat hukuman itu tak pernah jatuh dengan jelas. Kebuasan itu seakan-akan tak terjangkau oleh argumentasi apa saja.
Zheng Yi mencoba melihat sumbernya dalam sejarah Guangxi, yang konon pernah kenal kanibalisme di masa silam. Namun ada sesuatu yang lain di sini. Jika pun dulu ada kanibalisme, maka yang tewas—bagian dari alam roh—dihadapi dengan rasa gentar dan hormat. Itulah yang tak ada dalam "Revolusi Kebudayan" di Guangxi. Kanibalisme itu kebencian -- yakni kebencian yang ditebarkan dan dituai jadi ekspresi kroyokan. Totalitarianisme modern mampu menenggelamkan individu—pikirannya, kebimbangannya, dan rasa takutnya—ke dalam sebuah arus kolektif, arus yang dimasukkan ke sebuah medan laga yang terus-menerus: ia bringas menghadapi musuh di luar dan sikap lalai dari dalam. Orang tak sekadar dilecut untuk berlomba-lomba membenci. Orang dipacu untuk jadi paling murni dalam membenci.
Kanibalisme abad ke-20 menegaskan kebencian yang paling murni. Dinistanya tubuh yang kalah dari lawan yang dihabisi. Di Guangxi ataupun di Sambas, dalam pengganyangan yang harfiah ataupun yang kiasan, ekspresi itulah yang berteriak. Apa yang tak akan dilakukan oleh kebencian, selain menang tanpa batas? Penggalan kepala yang dicemooh itu dan juga jeroan yang dikremus itu adalah sisa-sisa lawan yang dibikin tak bermartabat atau lumat selumat-lumatnya. Destruksi itu berkesinambungan. Salah satu sindrom patologis di abad ini ialah hasrat orang untuk mencapai yang komplet -- sempurna dalam kemenangan dan kekalahan -- tatkala sejarah berkata "tidak, tak mungkin".
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini