RUMAH mewah bercat putih berpagar tinggi di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, itu lengang. Rumput di halaman meranggas tinggi. Di teras tinggal dua kursi anyaman rotan yang sudah jebol sandarannya, sebuah meja murahan, ada guci hijau semeter yang lehernya dirantai besi dan diikatkan ke kusen jendela. ''Barang-barang berharga di dalam juga sudah enggak ada, paling tinggal meja dan kursi saja," kata Sudiman, satpam dengan emblem Bank Mashill. Karta Widjaja, pemegang saham di Bank Mashill Utama, adalah pemilik rumah yang tak terawat itu.
Menurut cerita Sudiman, Karta Widjaja dan seluruh keluarganya sudah pergi ke luar negeri sebelum Bank Mashill diumumkan sebagai bank beku kegiatan usaha (BBKU) pada 13 Maret 1999. Rumah besar nan mewah itu akhirnya hanya dihuni oleh empat orang pembantu, satpam, dan seorang anggota Brimob yang diminta berjaga sejak dua minggu lalu. Misi tentara menjaga rumah Karta: agar rumah mewah tersebut tidak diserbu oleh karyawan Bank Mashill yang baru saja kehilangan pekerjaan mereka dan menuntut pesangon lebih baik. ''Tiga pembantu sudah pulang kampung karena tidak ada yang menggaji," kata Pak Satpam, yang akan habis masa tugasnya Mei mendatang.
Karta Widjaja hanyalah salah satu dari 172 bankir dari 38 bank beku kegiatan usaha yang dicegah bepergian ke luar negeri oleh pemerintah sejak 1 April 1999. Dalam daftar yang berhasil diperoleh TEMPO, masih ada 171 bankir yang masuk daftar harus dihambat itu. Mereka adalah pemegang saham, mantan pemegang saham, dan direksi atau pengurus bank. Sayangnya, sebagian bankir sudah malang-melintang di mancanegara tanpa diketahui rimbanya, seperti Karta Widjaja.
Ketika TEMPO melacak rumah-rumah para ''cekalwan" itu, yang bisa dilihat cuma rumah-rumah besar yang kesepian, plus sisa-sisa kemewahan: garasi yang luas dengan mobil-mobil mahal diparkir di dalamnya. Ada yang masih berada di Indonesia, hanya saja sedang ''mengungsi" dan jarang menginjak rumah, begitu cerita-cerita dari satpam atau pembantu rumah?yang sekarang bisa asyik menonton televisi layar lebar sambil menikmati sejuknya AC di dalam rumah.
Masuk daftar cegah jelas tak menyenangkan. Sebab, itulah daftar mereka yang berutang kepada negara. Tapi belum tentu mereka bersalah. Jika utang bisa diselesaikan, misalnya mereka memiliki aset yang lebih besar untuk membayar kewajiban kepada pemerintah, mereka akan ''lepas" dari daftar ini. Maksud pencegahan yang berlaku enam bulan itu adalah untuk menghindari pelarian aset bank yang masuk kategori beku kegiatan usaha. Artinya, angka 172 bankir itu belum final, malah bisa bertambah sejalan dengan pembenahan bank. ''Ada kemungkinan dilakukan cegah tahap kedua," kata Hadiyanto, Ketua Tim Harian Koordinasi dan Evaluasi Perjalanan ke Luar Negeri, Departemen Kehakiman.
Maka, inilah masa paling sulit untuk para bankir. Kaum terpandang berjas-dasi itu sekarang harus berurusan dengan banyak daftar ''tak terpuji". Sebelum daftar cegah, sebulan lalu ada daftar orang tercela (DOT) yang dibuat Bank Indonesia untuk kalangan sangat terbatas, misalnya untuk diketahui pemodal yang akan membuka bank. Dalam DOT itu ada sederet bankir yang dianggap melakukan berbagai praktek manipulasi. Semisal menjalankan praktek ''bank dalam bank" atau memberikan kredit melebihi batas untuk grup usaha sendiri. Mereka inilah yang disebut-sebut sebagai ''bankir busuk" karena melakukan perbuatan kriminal dalam memutar fulus rakyat. Jadi, pastilah bankir yang masuk DOT itu akan masuk daftar cegah?jika hukum benar ditegakkan. Sebaliknya, bankir yang dicegah belum tentu masuk DOT. ''Cekal dan DOT berbeda, bedanya sangat prinsipiil," ujar Menteri Keuangan Subianto, singkat.
Pemerintah melansir berbagai daftar itu jelas untuk menyelamatkan asetnya di perbankan. Namun, sejak likuidasi bank pada 1 November 1997, kentara betul pemerintah kurang mengalkulasi dampak pengumuman tindakan untuk 16 bank itu. Para bankir punya banyak waktu untuk ringkes-ringkes aset mereka, sebagian lari ke luar negeri, dan negara dirugikan Rp 12,7 triliun. Subarjo Joyosumarto, Direktur BI sendiri, mengakui, ''Aset-aset tersebut menguap begitu saja dalam dua bulan setelah likuidasi 1 November."
Entah apa alasan pemerintah, soal pemeriksaan dan penanganan bankir ini juga amburadul dalam empat kali gelombang pembenahan perbankan. Seperti diketahui, empat kali pembenahan itu menghasilkan 16 bank likuidasi, 10 bank beku operasi (BBO), 38 BBKU, 14 bank take-over (BTO), serta sembilan bank rekapitalisasi. Banyak pengamat menilai, pemerintah tidak tegas dalam meminta tanggung jawab pemilik dan pengurus bank yang ambruk. Misalnya saja, perintah cegah tangkal (cekal) atas tujuh bankir yang bank mereka di-BBO-kan pada April 1998 tiba-tiba saja dibatalkan tanpa alasan jelas.
Sumber TEMPO mengungkapkan, pergulatan menetapkan bankir yang masuk daftar cegah juga seru. Mulanya, ada sekitar 300 bankir yang diteliti punya utang kepada negara. Sesudah melalui banyak ''pertimbangan", jumlah bankir tersebut diperas lagi oleh tim dari BI dan Departemen Keuangan. Kriteria pokok adalah beban tanggung jawab mereka berdasar posisi di bank-bank tersebut. Daftar pun susut menjadi 210 bankir. Sumber ini yakin, ukuran yang dipakai sudah adil dan, ''Benar-benar berdasar pertimbangan profesional." Nah, akhir Maret 1999, daftar bankir itu sebenarnya sudah final dan tinggal dikirim ke Departemen Kehakiman dan seterusnya ke Imigrasi.
Tapi bisnis penuh negosiasi, lobi-melobi, juga praktek patgulipat. Penggodokan daftar cegah juga tak luput dari lobi, kata sumber TEMPO. Sejumlah nama bankir dengan gencarnya melobi ''orang-orang penting" agar bisa lolos dari daftar, terutama sejak pengumuman likuidasi bank pada 13 Maret 1999 lalu. Menurut cerita sumber TEMPO, banyak pengusaha yang hilir mudik ke kantor BI dan Departemen
Keuangan untuk meminta bocoran, apakah nama-nama mereka masuk dalam daftar cegah. ''Tapi permintaan mereka ditampik oleh orang-orang BI dan Depkeu," kata sumber ini.
Bankir-bankir itu menyerah? Ada yang pasrah karena tak punya ''tangan" untuk menjangkau kekuasaan, tapi ada yang menyiapkan lobi tingkat tinggi itu. Sekitar akhir Maret, para bankir itu mulai membawa perunding atau broker politik?demikian istilah sumber TEMPO. Para calo politik itu adalah orang-orang yang dekat dengan pusat kekuasaan, dekat dengan Presiden Habibie, dekat Keluarga Cendana. Kegiatan itu dilakukan dengan sedikit sembunyi-sembunyi?maklum, zaman reformasi. ''Mereka ini
hanya melobi lewat telepon saja ke BI dan Depkeu, tapi cukup membuat pusing tujuh keliling," kata sumber tadi sambil menyebut beberapa nama broker tersebut.
Alhasil, draft daftar cegah kembali direvisi oleh para pejabat di BI dan Depkeu. Dari 210 nama, jumlah setelah direvisi tinggal 172 nama. Dan, simsalabim?, abrakadabra: nama seperti Bambang Trihatmodjo, Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Hariadi, dan Fadel Muhammad langsung raib dari daftar. Tak seorang pun Keluarga Cendana ada di daftar. Hampir semua yang di daftar kali ini adalah bankir dari kalangan nonpri.
Jadi, apa sebenarnya dosa 172 bankir yang dicegah ini? Jawaban umum: mereka punya utang ke pemerintah. Tapi, kasus demi kasus jelas berbeda.
Ternyata, setelah daftar cegah diteliti, hanya 29 bank yang beku kegiatan usaha yang bankirnya dicegah. Berarti, tidak semua bank yang ditutup pada 13 Maret 1999 lalu telah melakukan kesalahan yang masuk kategori perbuatan pidana.
Contohnya: Bank Dana Asia, Sembada Arta Nugroho (Sanho), Indotrade, Sino, Bepeka Indonesia, Sewu, Arya, dan Bank Ciputra yang dibekukan kegiatan usahanya karena didera krisis ekonomi. Mereka merugi karena negative spread?pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Bahkan, menurut hitungan TEMPO, kecuali Bank Arya dan Ciputra, kekayaan bank-bank tadi lebih besar ketimbang utangnya. Kredit macet pun hanya 0,1 persen sehingga kekayaan bisa segera dicairkan untuk membayar kewajiban kepada pemerintah. Makanya, baik pengurus maupun pemilik bank-bank tersebut lolos dari daftar cegah.
Kasus Bank Arya dan Ciputra agak aneh. Keduanya punya kredit macet di atas 30 persen. Seorang analis bilang, harta kedua bank jika dicairkan paling banter hanya sebesar 60 persen dari total aset, sehingga tidak semua kewajiban bisa dibayar. Mestinya, pemilik dan pengurus ikut masuk daftar cegah.
Yang mengganggu rasa keadilan orang banyak?karena tak ada penjelasan dari otoritas moneter di sini?adalah molosnya anak-anak mantan presiden Soeharto. Dalam hal Bank Alfa, misalnya, semua direksi dan komisarisnya terkena cegah, kecuali dua komisaris yang bernama Bambang Trihatmodjo dan Siti Hediati Hariyadi. Yang tercantum di daftar hanyalah Juanda P. Sjarfuan.
Bambang Trihatmodjo sebelum ini punya Bank Andromeda, yang dilikuidasi pemerintah pada November 1997. Sampai di sini, Bambang sebenarnya tak boleh lagi masuk di bisnis bank?karena Andromeda dianggap melanggar BMPK. Bambang yang marah besar kemudian menggugat Menteri Keuangan Mari'e Muhammad ke pengadilan, atas keputusan likuidasi. Tapi, bapak Bambang Trihatmodjo, Presiden Soeharto, yang masih sangat powerful saat itu, memerintahkan Bank Andromeda diganti papan namanya saja menjadi Bank Alfa. Semua aset Andromeda jadi aset Bank Alfa, begitu juga karyawannya yang tak mengalami PHK. Beres, kan? Bahkan, Bambang, yang sempat dicekal, dibebaskan lagi atas permintaan Menteri Keuangan.
Kasus Bank Yama mirip. Siti Hardijanti Rukmana sebagai pemilik Bank Yama pernah selamat dari babatan likuidasi November 1997. Lantaran dapat bocoran berita, buru-buru Tutut meminta suntikan dana dari BCA, milik Liem Sioe Liong, kroni Soeharto. Sialnya, ketika pengumuman pada 13 Maret 1999 lalu, BCA sudah menjadi BTO alias diambil alih pemerintah sehingga BCA tidak bisa cawe-cawe lagi membantu Yama yang dilikuidasi. Toh pemerintah tak memasukkan Tutut di daftar cegah.
Kejadian serupa terjadi di Bank Pesona Kriyadana. Tommy, Sigit Harjojudanto, dan Mamiek Soeharto, yang pemilik saham di bank itu, entah mengapa bisa selamat tak ikut masuk daftar cegah. Cuma Harry Sapto Supoyo, pengurus organisasi balap sepeda nasional yang ikut memegang saham, masuk daftar.
Politik pilih kasih dijalankan pemerintah Habibie? Bisa jadi. Walau bisa juga dugaan itu keliru. Contoh kasus Thomas Suyatno, bekas ketua Perbanas dan kini anggota DPR RI, menunjukkan bahwa tak selalu komisaris itu masuk daftar cegah. Nama Thomas hanya ''ditempelkan" sebagai Komisaris Bank Asia Pasific, dan karena itu dia bebas. Tapi, menyangkut Keluarga Cendana, sejarah mereka di bisnis perbankan memang harus dikaji.
Ada kasus yang menggelitik: mengapa ada orang yang lebih layak dicegah malah selamat dari daftar? Nasib sial menimpa Al Njoo atau Njoo Kok Kiong, yang dikenal sebagai tangan kanan Hashim Djojohadikusumo dan arsitek keuangan Grup Tirtamas. Pria kelahiran Surabaya itu masuk daftar cegah sebagai mantan komisaris dan pemilik Bank Papan Sejahtera. Sementara itu, Hashim, yang pemilik Bank Pelita dan Bank Kredit Asia (kedua-duanya BBO pada April 1998) dan punya utang kepada pemerintah sebesar Rp 3,1 triliun, malah bisa jalan-jalan ke Jenewa sebagai utusan khusus Presiden RI untuk urusan penanaman modal.
Nah, masalahnya sekarang: efektifkah daftar cegah itu? Menurut Menteri Kehakiman Muladi, daftar tersebut memang sudah dikirim ke 83 pintu imigrasi. Tapi, diakui Muladi, daftar itu sendiri turunnya terlalu lambat. Kasus Karta Widjaja yang berada di luar negeri adalah contohnya. Pemerintah pun sampai kini tak punya data berapa bankir yang masuk daftar cegah yang sudah di luar RI. Bomer Pasaribu, Ketua Serikat Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi, menaksir ada 30 nama yang berada di luar negeri.
Termasuk Sofjan Wanandi, komisaris utama dan pemilik Bank Danahutama, yang kini pasti berada di Boston, Amerika Serikat. Menurut Todung Mulya Lubis, pengacaranya, Sofjan sudah lama berada di luar negeri untuk berobat di Mayo Clinic, dan baru tiga atau empat bulan lagi ada keputusan dokter tentang boleh atau tidak kembali ke Indonesia. Mulya menambahkan bahwa Sofjan tidak merasa telah merugikan keuangan negara. ''Pak Sofjan tidak mengerti mengapa dia dicekal," kata Mulya. Melihat aktivitas politiknya, kata sumber TEMPO, bukan tak mungkin nama Sofjan dimasukkan sebagai ''titipan" penguasa politik.
Daftar cegah sudah diedarkan, sekian bankir masih di luar negeri, lalu bagaimana menyelamatkan uang negara di saku mereka? Jika daftar cegah dilansir, toh orang tahu daftar itu ''tak punya gigi" untuk menahan orang pergi, lalu bagaimana menyelamatkan ''muka" pemerintah? Jangan sampai daftar cegah hanya jadi semacam buku tamu di pesta-pesta pernikahan.
Bina Bektiati, Agus Riyanto, Wenseslaus M, Arief Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini