TRADISI topeng ternyata ada di mana-mana. Topeng Madura, tradisi istana yang kini merakyat, memang tampil belakangan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta - setelah Topeng Betawi, Topeng Cirebon Topeng Klaten, Topeng Krantil, dan Topeng Losari. Tapi dar segi bobot dan keunikan, Topeng Madura tidak berada di nomor buntut. Dua malam, pekan lalu, di Taman Ismail Marzuki, Lembaga Kesenian Sumenep membuktikannya. Dengan lakon Gatutkaca Rabi (Perkawinan Gatutkaca), dengan dalang M. Sabidin yang telah berusia 74 tahun, Topeng Madura adalah wakil seni panggung Jawa timur yang bukan kitsch. Dan mungkin karena tradisi topeng muncul dari satu sumber, dalam Topeng Madura pun bisa ditemukan kaitan kuat dengan Topeng Jawa Tengah. Dalam gaya gerak misalnya, pun ada tandang alos (gerak halus), baranyak (gerak sedang), galak (gerak kasar), dan putri (gerak penari perempuan). Iringan gamelan pun mengikuti gerak sang penari. Tapi, tetap, Topeng Madura punya ciri sangat khas. Dipakainya gongseng (giring-gir-ng) di pergelangan kaki kanan penan bukan sekadar hiasan. Bunyi giring-giring yang selalu terdengar blla kaki penari bergerak menjadi alat pembantu ekspresi, dan juga untuk media komunikasi para penari yang sepatah pun tak boleh berdialog itu (dialog dilakukan sang dalang, selain untuk tokoh Semar). Malam itu, misalnya, seorang penari berdiri menggantung kaki kanan yang digetarkan. Maka, gemerincingnya gongseng memberikan suasana sendiri bagi arena pertunjukan. Seolah-olah getaran gongseng menyebar ke seluruh arena membentuk suasana yang diperlukan: sedih, gembira, tegang. Lalu, terkadang sang penari menghentak-hentakkan kaki pula. Walhasil, sepenuh pertunjukan tak sepi dari suara gongseng, yang bila disimak memang suara satu dan lainnya memberikan ekspresi sendiri. Topeng dalam Topeng Madura pun unik. Dua jenis topeng - satu berukuran seluas telapak tangan, satu lebih besar sedikit - tak sepenuhnya bisa menutup wajah penari, terutama dagu. Maka, gerak dagu tak tersembunyikan, dan ini memberikan nilai sendiri. Tentu saja, suluk dan dialog dalam topeng satu ini berjalan dengan bahasa Madura halus. Dan salah satu bukti bahwa dulunya topeng muncul dari satu sumber, suluk pembukaan ternyata disuarakan dengan bahasa Jawa kuno. Bahasa Indonesia, apa boleh buat, terselip juga di sana-sini dalam dialog - tapi tak merusakkan citra kemaduraan kesenian ini. Konsep karakter tokoh wayang orang Madura ternyata agak berbeda dengan konsep Jawa Tengah. Malam itu, patih Astina, Sengkuni, adalah patih yang gagah perkasa. Di Jawa Tengah, Sengkuni adalah patih yang licik, dan secara fisik ia tampak agak bungkuk dan sakit-sakitan. Masih dalam lingkungan Astina, Suyudana sang Raja, ternyata oleh orang Madura dicitrakan sebagai raja yang lemah lembut. Bahkan topeng Suyudana bukan merah garang, tapi hijau syahdu. Bagi masyarakat Jawa Tengah, terutama Yogya dan Solo, Suyudana adalah raja yang citranya Iebih menyerupai raja seberang: keras, cenderung kasar. Dan entah mengapa sang raja satu ini dalam Topeng Madura selalu menari dengan tangan kiri tersembunyi di punggung. Satu lagi, tokoh Bima - yang malam itu dengan seru menghajar Gatutkaca yang dikira kurang ajar, berani memacari Pergiwa, anak Arjuna - bukan tokoh tinggi besar yang geraknya bagaikan gajah. Bima dari Madura lincah sekali, selincah wayang kulit Bali. Tapi tokoh utama yang menggerakkan semua pemeran sebenarnya adalah ki dalang. Untuk rombongan ini, dalang itu, M. Sabidin, yang memimpin orkestrasi gamelan, menyajikan suluk, dan mengucapkan dialog. Inilah tokoh yang pertunjukannya pada 1982 di Festival Tari di Toulon, Prancis, banyak mendapat pujian dari para pengamat kesenian rakyat. Boleh dibilang, tahun 1950-an nama Sabidin identik dengan Topeng Madura. Dia begitu laris, ditanggap di sana-sini bila ada orang mengadakan pesta kawin atau khitanan atau ruwatan. "Dulu, bila saya mendalang di alun-alun atau di tengah ladang bekas sawah, orang akan turun gunung mendengarkan suara saya," tuturnya bangga. Pantas bila sang dalang dulu bisa memiliki dua mobil dan empat sepeda motor. Sehabis mendalang pun, konon, gadis-gadis mengerubunginya, mengelu-elukannya. Ia sempat menikah enam kali. Malam itu, Sabidin tetap seperti Sabidin yang dulu. Orang tua itu memang tampak kurang bersemangat, ketika mulai duduk di arena antara para penabuh gamelan - sementara di luar hujan mengguyur Jakarta. Tapi begitu gamelan berlaras slendro dipukul, wajahnya berseri-seri, duduknya tampak tegap, dan Sabidin siap memimpin pertunjukan dua jam. Kadang suaranya lembut, kadang menghentak keras, memimpin penari-penari yang bergerak di balik topeng. Seingat Sabidin, ia telah mendalang lebih dari 30 tahun. Untuk memelihara kelantangan suara, katanya, ia selalu makan cabai rawit. Ketika di Eropa dua bulan, konon dua kilo cabai dia habiskan sendiri. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini