BENDA "aneh" itu meluncur di lapangan rumput dekat Aula Barat ITB, Bandung, pekan lalu. Berbentuk segi delapan panjang, lebar 2,75 meter, panjang 4 meter, dan tinggi 30 cm, dua baling-balingnya terpacak di atas badan. "Kendaraan ini bisa dipakai di laut tenang, perairan dangkal, pantai berlumpur, rawa, jalan yang biasa dilalui mobil, bahkan medan perang yang ditaburi ranjau," ujar Sigit Wiriatmo ketua klub Aerokreasi ITB. Sigit, dibantu Sunjoyo, Rahman, Dede dan Hardi, konon bercita-cita memecahkan problem angkutan di daerah berawa dangkal. Misalnya di lokasi transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Demi cita-cita itulah mereka menawarkan hovercraft (HC), yang dikenal sejak 1950-an, dan mulai digunakan mengangkut penumpang di Inggris pada 1960-an. Di sini, HC memang belum pernah dicoba. Aerokreasi, yang didirikan 1976 dan kini beranggotakan 25 mahasiswa berbagai jurusan di ITB, merancang HC sejak 1977. Hasilnya ialah sebuah perahu kecil yang bisa mengapung di atas permukaan air. Untuk menggerakkan perahu berukuran lebar 2 meter, panjang 3 meter, dan tinggi 20 cm itu, digunakan dua mesin gergaji berkekuatan masing-masing 9 TK (tenaga kuda). Dengan dua baling-baling, HC untuk satu penumpang itu bisa meluncur di atas permukaan air dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam. Setahun kemudian, klub yang semula bernama Aeromodelling ITB itu merancang HC kedua. Ukurannya sama dengan yang pertama. Hanya badannya, yang dulu menggunakan multipleks, kini terbuat dari serat kaca. Barulah pada 1981, Sigit cs membuat HC berukuran lebih besar. Masih menggunakan serat kaca, tenaga penggeraknya kini mesin VW Mitra 1.600 cc, 45 TK. Kantung udara dibuat dari kulit sintetis, dengan dua baling-baling bergaris tengah 60 cm dan 110 cm, dari kayu Kalimantan dan jamuju. Pada lubang bergaris tengah 60 cm, i bagian atas perahu dan di bawah mesin, dipasang baling-baling empat daun yang dihubungkan dengan roda penggerak melalui tiga roda putar. Di sisi lubang baling-baling ini, dibuat dua lubang bergaris tengah 15 cm. Lewat lubang ini, angin yang dihasilkan baling-baling disalurkan ke dalam kantung udara berkapasitas 3,3 m3. Selain mengisi kantung udara, baling-baling ini juga berfungsi menciptakan tekanan ke bawah. Begitu mesin dinyalakan, kantung udara menggelembung dan mengangkat badan perahu. Baling-baling kedua, dua daun 110 cm dihubungkan dengan poros penggerak, diletakkan tegak lurus di bagian belakang mesin. Di belakang kipas, juga tegak lurus dengan badan perahu, dipasang rudder - bilah yang berfungsi sebagai kemudi - berukuran tinggi 110 cm dan lebar 40 cm. Bilah ini terbuat dari tripleks. Baling-baling inilah yang mendorong perahu ke depan. Kawat baja menghubungkan rudder dengan tuas di ruang pengemudi. Ada juga dashboard yang menunjukkan tingkat kecepatan, putaran mesin, dan amper Baterei 12 volt 32 amper digunakan untuk menyalakan mesin. "Tangki bensin sementara ini hanya jeriken plastik ukuran lima liter," ujar Sigit, 23. Pada akhir 1981 HC yang digarap tiga bulan itu dicoba di waduk Jatiluhur-Purwakarta. Kemudian di perairan Laut Jawa, menyusur pantai Cilamaya- Eretan. Lalu di Waduk Gajah mungkur, Jawa Tengah. Terakhir di lapangan ITB tadi, dalam pameran Lustrum ke-5 perguruan tinggi itu. HC ini mencapai kecepatan 60 km sampai 70 km per jam, dengan menggunaan bensin lima liter untuk setiap 30 km. Beratnya 250 kg, biaya pembuatannya Rp 2 juta, "hasil patungan, upah membuat peralatan elektronik dan pesanan foto udara," ujar Sigit. Di jalan aspal, kendaraan ini melayang sekitar satu cm di atas permukaan jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini