Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tamara Haramain duduk takzim mendengarkan sosok laki-laki berkemeja putih yang tengah bicara di depan kelas. Sejumlah siswi lainnya, semuanya berkerudung, juga asyik menyimak. Pria itu, Hanung Bramantyo, sutradara terkenal yang baru saja sukses mengangkat novel Ayat-ayat Cinta ke layar perak. Ia tengah menerangkan bagaimana membuat film dengan peralatan seadanya. ”Bikin film juga bisa pakai handycam lo, tidak mesti pakai kamera canggih kayak cameraman,” kata Hanung.
Siswi-siswi berkerudung itu manggut-manggut. ”Asyik sekali ikut kelas ini,” kata Tamara. ”Jadi tahu bagaimana proses bikin film.”
Ketika sesi tanya-jawab tiba, suasana di ruang kelas berubah riuh. Semua berebut hendak bertanya. Ada pula yang berkomentar tentang betapa cantiknya Rianti Cartwright, salah satu pemeran utama film itu, ketika ia berkerudung.
Suasana cair dan penuh tawa itu tidak terjadi di kelas seni atau diskusi film. Murid-murid belia berkerudung itu adalah santri putri Pondok Pesantren Darul Quran Internasional, Tangerang. Hari itu kelas sinematografi mereka menghadirkan Hanung dan sejumlah pekerja film lainnya. Mereka menjelaskan proses pembuatan film dan bagaimana menjadi pembuat film amatir dengan berbekal handycam.
Barangkali inilah satu-satunya kelas sinematografi yang ada di pondok pesantren di Tanah Air. ”Ekstrakurikuler sinematografi ini memang khusus kami buat di pondok pesantren ini,” kata Direktur Sekolah Darul Quran Internasional M. Gozali.
Sejak awal, pendiri dan pengasuh pesantren ini, ustad kondang Yusuf Mansur, mempunyai gagasan memberikan ekstrakurikuler sinematografi. Dari mana belajarnya? ”Selain mendatangkan sutradara dan produser film, kami menganjurkan para santri belajar dari buku ataupun download Internet,” ujarnya.
Dengan belajar sinematografi, sekarang para santri mulai membuat film. Ada yang memegang kamera. Ada yang menjadi pembawa acara dalam bahasa Inggris atau Arab. Mereka melakukannya secara bergilir setiap hari. Ada saja kegiatan yang mereka bidik. Mulai tausiyah ustad, salat subuh berjemaah, saat gotong-royong, hingga aktivitas belajar lainnya.
Aktivitas belajar santri pondok pesantren yang berlokasi di Ketapang, Cipondoh, Tangerang, ini memang lain dari kebanyakan pondok pesantren. Setidaknya itu tampak dari bangunan mentereng dan ruang serba berpenyejuk udara di area seluas 20 hektare ini. Di sini, sekitar 120 santri dari berbagai daerah di Indonesia belajar berbagai disiplin ilmu, dengan target utama hafal Quran (hafiz). ”Tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan daripada melihat anak didik tumbuh menjadi sosok yang mengutamakan Allah dan mampu bersaing di dunia global,” kata Yusuf Mansur mengenai konsepnya membangun pesantren ini.
Yusuf memang menekankan konsep internasional pada pesantren yang ia bangun. Semua demi membuat para santrinya mampu bersaing kelak. ”Saya membayangkan lulusan pesantren ini akan menjadi seorang CEO yang selalu memberi break 10-15 menit pada rapat paginya agar karyawannya bisa salat duha,” kata pengusung program Wisata Hati yang dikenal dengan konsep pemberdayaan sedekah ini.
Gozali mengatakan konsep pendidikan yang diusung merupakan penyempurnaan model pendidikan di pondok pesantren dan sekolah Islam yang ada di Indonesia. ”Selama ini kan yang ada boarding school yang lebih banyak menekankan pelajaran umum dan memberi porsi sedikit pada hafalan Quran,” ujarnya. Sementara itu, pondok pesantren umumnya juga tak memberi porsi memadai bagi pelajaran umum dan materi internasional.
Karena mengusung program hafiz itu pula, para santri digembleng agar mampu hafal 30 juz Quran dalam waktu tiga tahun. Setiap pagi, santri yang duduk di kelas VII (kelas I sekolah menengah pertama) hingga X (kelas I sekolah menengah atas) wajib mendaras Quran sebelum pelajaran umum dimulai. ”Semua materi pelajaran selalu dimulai dengan hafalan tiga ayat,” kata Gozali. Hafalan dilanjutkan pada malam hari sebanyak tiga ayat lagi.
Karena proses belajar yang menuntut disiplin yang tinggi itu, para santri diwajibkan bisa mengatur waktu mereka. Sepuluh menit sebelum azan, para santri sudah harus siap untuk salat berjemaah. Mereka yang terlambat diwajibkan menambah hafalan ayat, bukan hukuman fisik yang masih banyak diterapkan pesantren dan sekolah umumnya.
Tamara, siswi kelas VII berusia 12 tahun, yang di rumahnya terbiasa dimanja orang tua dan para kakak laki-lakinya, menjadi terbiasa bangun malam dan siap belajar sejak pukul 4 pagi. ”Tadinya stres juga, tapi lama-lama bisa menikmati,” katanya seraya tertawa.
Materi umum yang diberikan di pesantren ini sama dengan sekolah pada umumnya. Hanya, yang unik, satu hari tak diisi dengan banyak mata pelajaran sebagaimana yang berlaku di sekolah umum. ”Kami hanya menerapkan dua mata pelajaran setiap hari dari Senin sampai Kamis,” kata Gozali.
Ini dilakukan agar anak tak terbebani karena mereka masih harus belajar ilmu agama pada sore harinya. Pelajarannya pun lebih ditekankan pada matematika, sains, dan bahasa Inggris. Bagaimana dengan pelajaran lain? Mereka bebas memilih di luar jam pelajaran yang berlangsung pada pukul 07.30-11.30.
Khusus untuk materi umum ini, sekolah ini menerapkan sistem Cambridge, yang dipakai banyak sekolah internasional di Asia. ”Ada uji mutu dari pihak Cambridge untuk memastikan program yang kami laksanakan tak asal-asalan,” kata Ahmad Jameel, Sekretaris Yayasan Darul Quran Indonesia, yang menaungi pesantren ini. Untuk menunjang program internasional itu pula, sejumlah guru yang mengajar adalah warga ekspatriat dari Eropa, Amerika, dan Timur Tengah.
Tiap Jumat, semua santri khusus belajar tentang kajian Islam. Santri bebas memilih kelas yang hendak ia masuki. Kelas-kelas itu dibagi dalam bentuk gerai, yang terdiri atas beragam pilihan materi, bisa hadis, fikih, dan sebagainya.
Fasilitas yang ada di pesantren ini boleh dibilang serba kelas satu. Ruang kelas dan kamar serba berpenyejuk udara, ruang belajar dengan fasilitas hotspot yang dilengkapi proyektor dan satu laptop untuk satu murid. ”Kami memang menyiapkan fasilitas khusus agar santri betah belajar,” ujar Gozali.
Sekolah ini juga punya tiga lapangan futsal, lapangan basket, lapangan tenis, dan berencana membangun kolam renang. Mereka membangun area outbound untuk para santri dan saung serta taman dengan pepohonan rindang agar santri bisa belajar di luar ruangan. ”Tahun depan, seluruh lokasi taman ini akan jadi area hotspot,” kata Gozali.
Fasilitas kelas satu juga tampak pada pilihan menu makanan para santri. Sementara umumnya pesantren mengharuskan santrinya hidup prihatin dengan makan seadanya, sekolah ini justru melimpahi santrinya makanan penuh gizi. Nasi lengkap dengan pilihan lauk-pauk, sayuran dan buah, serta roti dan susu di pagi hari. Makan pun tak perlu berebut karena meja-meja panjang disusun berjejer di taman di depan asrama.
Untuk semua fasilitas ini, tentu saja para santri harus merogoh kocek cukup dalam. Pada ajaran 2008/2009, pesantren ini mematok biaya sekitar Rp 20 juta bagi anak didiknya. Ini belum termasuk biaya bulanan Rp 2 juta. Tahun depan, biaya pendidikan diperkirakan naik menjadi sekitar Rp 30 juta. ”Tentu saja dengan peningkatan kualitas,” kata Yusuf Mansur.
Dengan biaya yang jauh di atas kebanyakan pondok pesantren itu, tak mengherankan jika mayoritas santri yang belajar di sini adalah kalangan berduit. Latar belakang para santri itu, diakui Gozali, merupakan tantangan tersendiri yang harus diselesaikan pihaknya. ”Maklumlah, mereka terbiasa dilayani dan serba berkecukupan,” ucapnya.
Karena itu, tak aneh jika pada bulan-bulan awal, para guru di pesantren ini disibukkan oleh persoalan murid yang ngambek, bertengkar dengan teman sekamar, minta pulang, menu yang tak cocok, dan sebagainya. Tapi, setelah masa penyesuaian berakhir, para santri umumnya mulai terbiasa dengan kehidupan di pondok pesantren.
Suasana belajar serba berkecukupan tapi penuh disiplin ini, diakui Reni Martinawati, warga Depok yang mengirim anaknya belajar ke pesantren ini, mampu membentuk karakter sang anak. ”Salatnya tidak bolong-bolong, tidak terlambat, dan disiplinnya juga mulai terlihat,” katanya.
Melihat animo yang baik dari orang tua murid, Gozali yakin program hafiz Quran yang dibalut pendidikan berbasis internasional ini akan makin diminati para orang tua. ”Sementara tahun pertama ini baru 100-an murid yang terdaftar, kami berharap tahun depan jumlahnya meningkat,” ujarnya.
Angela Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo